Rabu, 02 Juli 2014

NU Penentu Utama dalam Pemilihan Gubernur BI Tahun 1956



NU Penentu Utama dalam Pemilihan Gubernur BI Tahun 1956

Setelah hasil pemilu yang dimenangkan secara spektakular oleh NU, sehingga masuk dalam empati besar PNI, Masyumi, NU dan PKI, maka tak ada partai yang bisa meremehkan NU. Bahkan Masyumi yang semlua meremehkan, ternyata sangat mengandalkan kekuatan NU. Kehadiran NU sebagai kekuatan ketiga dalam percaturan politik nasional, akan selalu menjadi penentu bagi tercapainya kesepakatan. Karena itu, PNI dan Masyumi selalu berusaha mengandeng NU.

Ketika Masyumi menghadapi suasana penting yaitu pemilihan Gubernur Bank Indonesia (BI). Gubernur yang ada yakni Syafruddin Prawiranegara dari Masyumi yang masa jabatannya habis 15 Juli 1956, tidak akan diperpanjang dan hendak diganti dengan MR Lukman Hakim dari PNI. Selama ini, NU sangat dekat dengan PNI dan Bung Karno. Karena itu, pihak Masyumi khawatir NU akan mendukung Mr. Lukman, sehingga segera berusaha mendekati NU agar posisi strategis partainya tidak digeser. Maka, didatangilah KH Wahab Chasbullah oleh Jusuf Wibisono, menteri keuangan dari Masyumi. Kiai Wahab dipilih karena kiai ini memang perannya sangat menentukan dalam NU, selain itu dikenal sebagai seorang saudagar besar yang tentunya selalu membutuhkan modal. Kepada Rois Aam NU itu, Jusuf menjanjikan akan memberikan berbagai fasilitas keuangan bagi para pengusaha NU seandainya membutuhkan. Di sela itu Jusuf memohon dukungan sang Kiai untuk pencalonan lagi Syafruddin sebagai Gubernur BI. Kiai wahab tidak mengiyakan tetapi akan membicarakan dengan pimpinan NU yang lain. Jusuf puas dengan jawaban ini sehingga ia mendapat sedikit kepastian akan pencalonannnya.

Penggantian Gubernur BI ini ternyata diundur karena ada beberapa peristiwa penting yang dilaksanakan Negara seperti persiapan sidang Konstituante. Setelah angota Konstituante dilantik 10 November 1956, maka sepuluh hari kemudian diadakan pemilihan ketua Konstiuante tepatnya pada 20 November 1956. Sebagai partai besar, Masyumi tidak mencalonkan anggotanya sendiri, malah mendukung calon dari NU yaitu Kiai Muhammad Dahlan. Dengan dukungan Masyumi ini, NU hanya kalah tipis dengan Wilopo, calon PNI yang didukung PKI dan partai lainnya. Namun demikian, NU cukup puas dengan dukungan Masyumi yang gigih itu.

NN ingin mebalas jasa Masyumi ini dengan memberikan dukungan pada partai ini dalam pencalonan Gubernur BI. Tetapi bagi NU ada masalah, sebab Syafruddin dinilai kurang nasionalis karena dinilai pernah menentang nasionalisiasi Javas Bank yang kemudian dinasionalisaai menjadi bank Indonesia. Kedua NU masih ingat bahwa tampilnya Syafruddin sebagai Gubernur BI adalah hasil kompromi dengan pihak Belanda. Belanda merasa aman kalau BI dipimpin Syafruddin yang cara berpikirnya sama dengan pihak Belanda. NU tidak suka dengan posisi Syafruddin itu dan ingain segera mengganti dengan Gubernur yang memang nasionalis. Ketiga, NU lebih senang bekerjasama dengan Masyumi faksi Soekiman –Jusuf yang dianggap demokrat dan toleran, ketimbang faksi Natsir yang dianggap puritan dan westernis, sekutu PSI Sjahrir, sementara Syafruddin adalah termasuk dalam faksi Natsir.

Melihat kesulitan NU ini, pimpinan NU yang sekaligus bapak film Indonesia H Djamaludin Malik menemui Mr Jusuf Wibisono pada Desember 1956, menanyakan “Apakah pak Jusuf sebagai Menteri Keuangan bisa bekerjasama dengan Syafruddin. Kalau memang bisa, NU akan mendukung pencalonan kembali Syafruddin, apabila tidak bisa maka NU akana mencalonkan Lukman dari PNI?”
.
Mendengar pertanyaan menguji dari H Djamaluddin Malik itu, Jusuf segera menjelaskan bahwa meskipun soal kebijakan ekonomi dirinya yang nasionalis banyak berbeda dengan faksi liberal Syafruddin, tetapi dalam banyak hal selalu bisa bekerja sama.

Menteri Perekonomian saat itu Mr Burhanuddin dari NU juga kurang senang dengan kebijakan moneter Syafruddin yang kurang populis sehingga banyak menyulitkan dirinya, termasuk Jusuf wibisono, terutama saat melakukan sidang Dewan Moneter Nasional. Karena itu, kepastian bisa kejasama itu menjadi syarat utama dukungan NU. Setelah ada jamainan dari Jusuf, maka Djamaluddin Malik segera memberikan jaminan bahwa NU akan memberikan dukungan bagi pencalonan Pak Syafruddin dengan jaminan dari Pak Yusuf. Dengan dukungan NU ini, Syafruddin Prawiragegara dengan suara mayoroitas terpilih kembali sebagai Gubernur BI, mengalahkan Mr Lukman dari PNI.

Akhirny, kekhawatiran NU terjadi dua tahun kemudia yakni pada Febuari 1958 di mana Masyumi faksi Natsir melakukan pemberontakan PRRI, Syafruddin sebagai Gubernur BI turut masuk hutan bahkan membobol beberapa aset BI untuk membiayai pemberontakan melawan pemerintah yang Sah itu. NU kecewa berat dengan Masyumi. Karena itu, NU segera mengutuk pemberontakan PRRI yang dinilai mencoreng politik Islam padahal langkah NU adalah untuk mencegah agar PKI tidak ambil tindakan sendiri, dan juga untuk memberikan opini pada dunia internasional bahwa Indonesia sudah dikuasasi PKI, sebagaimana dipropagandakan oleh PRRI. Dengan statemen NU itu, maka jelas kelompok Islam dan nasionalis masih cukup mendominasi kekuasaan di negeri ini. Kesalahan NU itu sedikit bisa ditebus ketika pimpinan NU Sumatera Barat berhasil menyelamatkan 18 KG emas yang diambil Syafruddin dari BI yang kemudian diserahkan pada Bung Karno, yang kemudian, emas itu diabadikan sebagai liah api yang ada di puncak Monumen Nasional Jakarta Raya. []

Disadur dari beberapa Sumber, Biografi Jusuf Wibisono, Syaifudin Zuhri, Wilopo dsb.

(Abdul Mun’im DZ)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar