Jumat, 11 Juli 2014

Satrawi: Rekonsiliasi (Samawi) Palestina-Israel



Rekonsiliasi (Samawi) Palestina-Israel
Oleh: Hasibullah Satrawi

HUBUNGAN Israel-Palestina kembali membara. Dalam dua hari terakhir (1–2/7), Israel diberitakan telah menggempur sedikitnya 34 sasaran di Jalur Gaza. Israel mengklaim, operasi tersebut dilakukan sebagai upaya mencari warga Palestina yang dituduh membunuh tiga pemuda Israel setelah disandera sejak 12 Juni lalu. Israel juga menuduh Hamas terlibat dalam penculikan tersebut (al-jazeera.net, 2/7).

Bila Palestina terpancing dengan serangan Israel, khususnya Hamas, bisa dipastikan ketegangan itu akan meningkat seperti telah kerap terjadi selama ini. Apalagi, Hamas selama ini kerap menggunakan politik perlawanan (al-muqawamah) untuk menghadapi kesewenang-wenangan Israel. Bila hal itu terjadi, dipastikan akan semakin banyak korban yang jatuh di kedua pihak.

Mediasi Perdamaian

Di sinilah pentingnya mediasi perdamaian bagi Palestina dan Israel. Tidak semata-mata karena mereka bertetangga, tapi lebih daripada itu karena sesungguhnya ada hubungan kekerabatan dan persadauraan di antara elemen-elemen yang terdapat di kedua negara. Setidaknya itu bila ditinjau dari perspektif agama-agama samawi yang dipedomani warga Israel dan Palestina, yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi.

Hakikat tiga agama samawi di atas bersaudara. Sebab, tiga agama tersebut sama-sama berbapak kepada Nabi Ibrahim AS. Bahkan, ketiganya sama-sama bertuhan kepada Allah (walaupun bahasa dan pendekatan teologinya acap berbeda-beda). Itu sebabnya, dalam studi agama-agama, Islam, Kristen, dan Yahudi dikenal dengan istilah agama-agama samawi.

Ironisnya, tiga agama bersaudara itu justru acap terlibat dalam pelbagai macam konflik yang berdarah-darah. Baik karena latar belakang politik yang ’’diagamakan’’ maupun adanya ajaran bernuansa ’’eksklusif’’ dalam ketiganya. Akibatnya, antara satu agama dan agama yang lain acap menafikan sembari meneguhkan kebenaran dan keselamatan versi masing-masing. Tidak mengherankan bila terbentuk kecurigaan sangat dalam di kalangan pemeluk agama samawi terhadap pemeluk agama samawi yang lain.

Pada awalnya, eksklusivisme bermula dari sebuah keyakinan bahwa mereka adalah umat pilihan Tuhan, umat terbaik, umat yang pasti selamat, dan klaim-klaim eksklusif yang lain. Dalam perkembangan selanjutnya, ekslusivisme membentuk pola pikir yang bersemangat saling curiga, bahkan membentuk kehidupan umat beragama yang terkotak-kotak. Umat bergama A, contohnya, di kotak tertentu, sedangkan umat agama B berada di kotak yang berbeda.

Pengalaman konflik berkepanjangan antarkeluarga samawi telah membentuk satu pepatah yang sangat masyhur di kalangan masyarakat Timur Tengah bahwa konflik senantiasa terjadi di internal keluarga. Sebab, sesama orang asing yang tidak saling mengenal tidak mungkin berkonflik.

Titik Balik; Rekonsiliasi

Di sinilah urgensi mediasi perdamaian seperti pernah dilakukan Paus Fransiskus beberapa waktu lalu (8/6) dalam bentuk pertemuan dialog dan doa di antara tiga agama samawi. Acara yang diadakan di Vatikan itu juga dihadiri langsung oleh presiden Palestina dan presiden Israel (Mahmoud Abbas dan Shimon Perez).

Apa yang dilakukan Paus Fransiskus itu dapat disebut sebagai upaya titik balik; dari konflik akibat keluarga dekat menjadi rekonsiliasi karena adanya ikatan keluarga dekat. Konflik di internal keluarga yang berdekatan jauh lebih mudah jika dibandingkan dengan konflik dengan pihak lain, apalagi berjauhan. Bahkan, konflik di internal keluarga bisa berlangsung secara lebih mengerikan atau bahkan sampai pada tahap habis-habisan.

Hal itu terjadi karena masing-masing pihak dalam satu keluarga dengan mudah bisa mengetahui kelemahan, keistimewaan, atau hal-hal yang lain. Sementara itu, pihak luar, apalagi berjauhan, tidak mempunyai kemudahan seperti itu untuk mengetahui kelemahan, keistimewaan, atau hal-hal lain yang dimiliki sang lawan.

Berdasar pengetahuan atas apa yang dimiliki ’’lawan’’, konflik di internal keluarga bisa berlangsung lebih mengerikan daripada konflik di antar sesama orang asing. Itulah yang kurang lebih terjadi selama berabad-abad di internal keluarga besar agama-agama samawi. Bahkan, konflik di internal keluarga agama-agama samawi berlangsung hingga hari ini. Misalnya, konflik Palestina-Israel dan konflik Sunni-Syiah.

Oleh karena itu, persis dengan yang dikatakan Paus, upaya perdamaian dan titik balik seperti itu membutuhkan keberanian yang sangat besar; keberanian menggunakan semua hubungan dan kedekatan yang ada untuk membangun perdamaian dan kerukunan, daripada menggunakan hubungan dan kedekatan yang ada untuk peperangan dan konflik.

Hati Samawi

Ibarat manusia, konflik Palestina-Israel dapat disebut sebagai hati bagi agama-agama samawi. Hal itu tak lain karena di area tersebut terdapat tempat-tempat bersejarah dan disucikan oleh tiga agama samawi. Keberadaan situs-situs suci di wilayah itu sedikit banyak menambah kompleks konflik yang ada. Oleh karena itu, penyelesaian atas konflik Palestina-Israel akan sangat berpengaruh terhadap penurunan konflik di dunia, khususnya konflik terkait dengan tiga agama samawi tersebut.

Sejatinya wilayah Palestina dan Israel bisa dijadikan contoh oleh semua pihak untuk membangun kehidupan umat beragama yang penuh dengan kemajemukan (terutama bagi kalangan pemeluk agama samawi), tapi tetap saling menghormati di antara mereka. Mengingat, wilayah itu merupakan kota suci bagi agama-agama samawi. Dan di tempat tersebut terdapat umat pemeluk tiga agama samawi dengan rumah ibadah masing-masing.

Eksklusivisme dan kepentingan-kepentingan lain yang bersifat politis telah membuat Palestina dan Israel berubah menjadi cermin retak. Wilayah yang pada awalnya bisa dijadikan contoh kerukunan dan kemajemukan itu acap berubah menjadi ’’kota sengketa’’ dan ’’pemicu konflik’’ di hampir semua mata rantai sejarah umat manusia. Dimulai dari sejarah peradaban-perdaban kuno yang pernah memperebutkan kota itu (seperti Babilonia, Asyiria, Persia, dan Romawi), kekhilafan Turki Utsmani, hingga masa belakangan yang mewujud dalam konflik Palestina-Israel beserta seluruh konflik turunanannya di pelbagai macam belahan dunia.

Tentu itu adalah kesalahan dan perbuatan dosa yang dilakukan secara berjamaah oleh para perebut wilayah tersebut. Mengingat, kota suci itu pada awalnya dibangun tidak untuk menjadi petaka bagi kehidupan banyak manusia, tetapi untuk menjadi tempat bermunajat kepada Tuhan, tempat mempersatukan seluruh umat manusia (terutama umat pengikut tiga agama samawi), dan tempat semburan ajaran kasih yang senantiasa menyirami kehidupan umat manusia di mana pun berada.

Sebagaimana disabdakan Nabi Muhammad SAW dalam salah satu hadis: Baik atau buruknya sebuah hati akan berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Setelah kerap gagal sebelumnya di tangan banyak pihak, kini Paus mencoba menyembuhkan hati samawi itu. Konflik Palestina dan Israel memang bukan persoalan agama, tapi semangat rekonsiliasi samawi akan sangat berperan dalam upaya penyelesaian konflik tersebut. Semoga berhasil. []

JAWA POS, 04 Juli 2014
Hasibullah Satrawi ; Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir; Pengamat Politik Timur Tengah dan dunia Islam; Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA) Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar