Rabu, 02 Juli 2014

Gus Sholah: Sulitnya Mencapai Kata Sepakat



Sulitnya Mencapai Kata Sepakat
Oleh: Salahuddin Wahid

WARGA NU adalah kelompok muslim terbesar di Indonesia. Menurut data sejumlah lembaga survei, 33–40 persen responden mengaku bahwa mereka adalah bagian dari komunitas NU. Tidak semuanya ikut dalam organisasi NU. Banyak di antara mereka adalah pengikut ulama pesantren terkenal dan murid kiai yang merupakan alumnus pesantren terkenal itu.

Karena jumlah warga yang banyak itu, ketika menjelang pilpres atau pilkada, para calon tentu bersilaturahmi ke pesantren-pesantren terkenal. Hal itu adalah keniscayaan bagi para calon kalau mereka ingin terpilih. Di sejumlah pesantren besar diselenggarakan silaturahmi antara sang calon dan banyak kiai. Tidak sedikit ulama dan persantren yang secara eksplisit menyatakan dukungan terhadap calon tertentu, tetapi ada juga ulama dan pesantren yang tidak menyatakan secara terbuka. Ada yang menyatakan netral.

Pengalaman Pilpres 2004

Dari pengalaman yang ada, warga dan tokoh NU serta ulama pesantren selalu terpecah dalam menentukan pilihan siapa calon yang akan didukung. Beberapa contoh bisa dikemukakan di sini. Yang paling awal ialah dalam pemilihan presiden 2004 saat Ketua Umum PB NU Hasyim Muzadi menjadi cawapres mendampingi Megawati dan Salahuddin Wahid menjadi cawapres mendampingi Wiranto.

Mengapa kok sampai muncul dua cawapres sebagai wakil dari komunitas NU? Itu terjadi karena tiga tokoh puncak NU tidak mampu mencapai kesepakatan terkait dengan bagaimana cara mencari tokoh yang bisa dan perlu diajukan sebagai calon untuk mewakili komunitas NU. Tiga tokoh itu ialah Rais Aam Syuriyah PB NU KH Sahal Mahfudz, Gus Dur, dan Ketua Umum Tanfidziyah PB NU Hasyim Muzadi.

Saya sudah memperkirakan bahwa suara warga NU akan diperebutkan oleh para capres. Karena itu, pada November 2003 saya sowan ke KH Safal Mahfudz di rumahnya di Kajen, Pati, untuk menyampaikan masalah itu. Saya bilang bahwa pada saat ini ada dua tokoh NU yang ingin maju menjadi capres, yaitu Gus Dur dan KH Hasyim Muzadi. Menurut saya, seharusnya calon presiden yang mewakili komunitas NU hanya satu dan itu harus dicalonkan oleh PKB. Tetapi, jangan langsung menentukan bahwa calonnya adalah Hasyim Muzadi kalau Gus Dur tidak memenuhi syarat kesehatan. Harus ada mekanisme dan proses tertentu untuk memilih sang calon. Menurut saya, yang bisa dan punya kewajiban untuk mempertemukan dua tokoh itu ke arah munculnya satu calon presiden mewakili komunitas NU hanya rais aam. Beliau punya kewenangan organisasi dan juga punya pengaruh. Gus Dur menghormati Kiai Sahal karena beliau adalah rais aam dan juga paman dari GD.

Ternyata, Kiai Sahal menolak usul saya. Beliau mengatakan bahwa masalah itu sudah masuk wilayah politik praktis dan NU tidak boleh masuk wilayah itu. Saya membantah hujjah beliau dengan menyatakan bahwa tindakan itu bisa dilakukan kalau hanya sampai tahap meyakinkan dua tokoh itu untuk duduk bersama dan mencapai kesepakatan hanya menampilkan satu capres dari NU. Itu belum memasuki wilayah politik praktis. Tetapi, beliau bersikukuh dengan pendapat di atas.

Saya mempunyai kliping berita tentang kunjungan Megawati ke Pesantren Al Hikam (yang diasuh Hasyim Muzadi) pada awal Desember 2003. Nuansa politik amat terasa. Tentu rais aam juga mengikuti perkembangan itu sehingga beliau bisa memahami kekhawatiran yang saya sampaikan di atas. Tetapi, tampaknya, beliau tetap istikamah dengan sikap bahwa usul saya itu sudah masuk wilayah politik praktis. Alih-alih mempunyai satu calon presiden, komunitas NU mempunyai dua calon wakil presiden, yaitu Hasyim Muzadi dan Salahuddin Wahid. Saya sama sekali tidak menduga bahwa saya akan menjadi cawapres karena saya sama sekali tidak pernah berkomunikasi langsung atau tidak langsung dengan Jenderal (pur) Wiranto tentang ihwal saya menjadi cawapres. Dalam pemilihan putaran kedua, SBY/JK mengalahkan Megawati/Hasyim Muzadi. Sukar untuk menjawab pertanyaan apakah kalau ada satu tokoh PB NU yang menjadi capres akan bisa menang terhadap SBY/JK. Yang jelas, pilpres 2004 menjadi contoh tidak baik tentang ketidakmampuan tokoh-tokoh NU untuk bersepakat dalam mengajukan satu calon. Lalu, contoh negatif itu diikuti sampai hari ini.

Pilgub Jawa Timur

Jumlah terbanyak warga NU berada di Jawa Timur. Sebuah survei pada 2009 mengungkap bahwa dua di antara tiga muslim di Jatim mengaku menjadi bagian dari komunitas NU, tetapi tidak semua menjadi anggota NU. Afiliasi politik mereka juga beragam. Belum pernah ada tokoh NU yang menjadi gubernur Jawa Timur.

Pemilihan gubernur Jatim pada 2008 menjadi contoh kedua tentang tidak mampunya tokoh-tokoh NU mencapai kesepakatan dalam mengajukan calon gubernur. Ada beberapa tokoh NU yang maju dalam pilgub Jatim 2008: Ahmadi (cagub PKB), Khofifah (cagub PPP), Saifullah Yusuf (cawagub), Ali Maschan Musa (cawagub). Yang menang adalah Sukarwo berpasangan dengan Saifullah Yusuf. Seandainya PKB mengajukan Khofifah sebagai cagub, tampaknya dia akan menjadi tokoh NU pertama yang menjadi gubernur.

Mengantisipasi munculnya dua tokoh NU sebagai calon dalam pilgub Jatim 2013, sejumlah kiai dan pengasuh pesantren melakukan silaturahmi dengan PW NU Jatim pada awal Januari 2013. Dalam kesempatan itu disampaikan bahwa ada dua tokoh yang ingin maju menjadi calon dalam pemilihan gubernur Jatim 2013, yaitu Khofifah dan Saifullah Yusuf.

Diusulkan supaya PW NU Jatim bisa mempertemukan dua tokoh itu dan memperoleh kesepakatan bahwa hanya ada satu tokoh NU yang maju dalam pemilihan gubernur Jatim 2013. Saya mengusulkan supaya dibuat suatu forum untuk memilih siapa yang akan diajukan sebagai calon dengan menyampaikan visi-misi dan juga mengadakan survei untuk mengetahui siapa yang punya tingkat keterpilihan lebih tinggi. Ada tokoh PW NU yang menolak survei karena sulit dipercaya. Yang bisa mempertemukan dua tokoh itu adalah ketua umum PB NU, tetapi dua tokoh itu ngotot ingin sama-sama maju. Upaya untuk menjadikan keduanya sebagai pasangan juga gagal. Akhirnya, Khofifah menjadi cagub dan Saifullah maju sebagai cawagubnya Sukarwo. Sejumlah kiai dari pesantren besar dan terkenal mendukung Saifullah karena faktor kedekatan dan alasan menolak pemimpin perempuan.

Belajar dari Tokoh Kabupaten

Usul saya yang ditolak oleh rais aam itu ternyata dijalankan oleh PC NU Banyuwangi menghadapi pilbup pada 2010. PC NU melakukan jajak pendapat terhadap struktur NU Banyuwangi, mulai tingkat kabupaten hingga kelurahan. Seluruh pengurus dari atas sampai bawah ditanya siapa tokoh NU yang layak dijadikan calon bupati Banyuwangi. Yang teratas ialah Abdullah Azwar Anas. Maka, nama itu diajukan kepada partai-partai. Akhirnya, Azwar Anas dicalonkan oleh PDIP, PKB, PG, PKNU, dan PKS, dengan pasangan Yusuf Widyatmoko. Azwar Anas-Yusuf menang dengan perolehan suara mendekati 50 persen. Azwar Anas ternyata menjadi bupati yang baik. Saya menghargai langkah PC NU Banyuwangi dan para ulama di sana yang belajar dari pengalaman masa lalu, yakni munculnya lebih dari satu tokoh NU dalam pilkada atau pilpres. Ternyata, tokoh NU tingkat kabupaten lebih mampu memahami masalah daripada tokoh NU tingkat nasional dan tingkat provinsi. KH Hisyam Syafaat menjelaskan dalam suatu pertemuan kiai di Pesantren Darul Ulum, Rejoso, Jombang, pada September 2012 bahwa kalau tidak ada tokoh yang didukung struktur NU, banyak kiai yang bisa membuka lapak sendiri-sendiri (istilah lapak itu datang dari Kiai Hisyam). Kalau struktur NU sudah memilih calon, kecil kemungkinan ada kiai yang mendukung calonnya sendiri. Walau sudah ada contoh soal yang berhasil di Banyuwangi, tidak mudah menerapkan di tempat lain. Contoh awal ialah usul kepada PW NU untuk bisa mempertemukan Khofifah dan Saifullah Yusuf dalam kaitan pilgub Jatim 2013.

Kita tidak perlu meratapi apa yang sudah terjadi, tetapi harus mau belajar untuk bisa berhasil mencapai kata sepakat dalam menghadapi pilkada dan pilpres pada masa mendatang. Dan juga untuk masalah lain. []

JAWA POS, 20 Juni 2014
Salahuddin Wahid ; Pengasuh Pesantren Tebuireng

Tidak ada komentar:

Posting Komentar