Rabu, 12 Maret 2014

Orientalis Menyembunyikan Khazanah Pemikiran Politik NU



Orientalis Menyembunyikan Khazanah Pemikiran Politik NU

Dalam buku Indonesian Political Thinking himpunan Prof. Herbert Feith, sama sekali tidak mempertimbangkan adanya pemikiran politik dalam NU. Mereka hanya digolongkan sebagai sekelompok tradisional yang berpolitik hanya mengikuti arus, karena berpegang pada kitab kuning, maka tidak memiliki konsep politik. Pandangan itu akhirnya diikuti oleh yang lain termasuk karya lanjutan yang dihimpun Vedi R Hadiz. Karena itu ketika mengumpulkan pemikiran politik para tokoh selama masa perdebatan politik kenegaraan di konstituante, seolah NU yang sangat dominan itu tidak ada dalam gelanggang pemikiran politik nasional.

Memang para orientalis disamping menderita rabun kebudayaan pada umumnya juga sangat culas, pembalikan fakta di tengah teori ilmiah itu sangat lazim dilakukan. Celakanaya teori yang dihasilkan itu pun dipercaya orang seolah benar dan obyektif, padahal penuh reduksi bahkan manipulasi. Untuk memperoleh kebenaran ilmiah memang tidak mungkin menggunakan apalagi mempercayai teori sosial yang ada. Orang mesti bertindak jantan berani meneliti sendiri, berdasarkan arsip, dokumen dan prasasti atau kesaksian yang otentik.

Ketika diteliti lagi pemikiran poloitik NU, baik dalam BPUPKI maupun Konstituante, ternyata tidak seperti digambarkan para ilmuwan dan orientalis. Pemikiran politik Islam yang dilontarkan KH Masykur selama sidang BPUPKI itu argumennya sangat kokoh. Tidak ada anggota sidang yang berhasil melumpuhkan. Hanya pendekatan personal yang dilakukan Bung Karno yang bisa melunakkan pemikiran dan sikap kiai pesantren ini, sehingga terjadi kompromi secara elegan.

Tidak hanya itu, pada sidang konstituante (majelis pembuat Undang-Undang Dasar) pada 4 Mei 1959, KH Saifuddin Zuhri Sekjen PBNU yang menegaskan bahwa kembali ke UUD 1945 dan pelaksanaan demokrasi terpimpin memang tuntuan keadaan yang harus diwujudkan agar negara tidak terjerumus dalam kehancuran liberal. Demokrasi terpimpin harus ditekan pada demokrasinya, kepemimpinan hanya proses dan mekanismenya. Selanjutnya Kiai ini mengusulkan agar kembali ke UUD 45 itu ditetapkan secara musayawarah dalam Konstituante, biar prosesnya demokratis dan perosedural dan menghargai lembaga pilihan rakyat itu. Usul ini disetujui semua Fraksi dan pemetintah, sehingga penetapan UUD 1945 itu tidak semata berdasar Dekrit Presiden Juli 1959, tetapi sebelumnya telah disahkan dalam sidang Konsituante sebelum lembaga itu dinyatakan bubar.

Pikiran Kiai ini menjadi bahan perbincangan dan rujukan berbagai partai politik dalam sidang Konstutuante. Nyoto dari PKI memuji jalan pikiran politik Kiai NU ini. Demikian juga kalangan Partai Murba tidak kalah seriusnya mendukung pemikiran NU itu dikatakan oleh Sukarni 13 Mei 1945, bahwa kembali ke UUD 45 dengan Pancasila sebagai dasar Negara yang dinilai oleh KH saifuddin Zuhri sebagai sintesa antara Islam dan nasionalis, bukan kekalahan Islam, karena Pancasila memuat nilai-nilai Islam.

Pikiran Kiai Saifuddin ini berhasil memberikan jalan lempang menuju kesepakatan Konstituante, tanpa terbelah dalam kalah-menang. ”Ini perlu kita dukung,” kata Sukarni waktu itu. Beberapa minggu berikutnya partai politik yang lain termasuk Fraksi Pembela Proklamasi masih merujuk dan memperkuat pandangan kiai ini yang layak dijadikan sebagaia acuan bersama.

Selanjutnya dalam kesempatan yang sama Kiai Saifuddin Zuhri juga menandaskan bahwa dengan kembali ke UUD 1945 hendaklah Piagam Jakarta tidak hanya dijadikan landasan historis, tetapi harus dijadikan sumber hukum yang menjiwai seluruh produk hukum nasional. Semua negara di dunia mendasarkan konstutusi dan hukumnya pada piagam yang mereka rumuskan sebelumnya, karena piagam itulah yang menjadi spirit utama Undang-Undang Dasar.

Usulan ini mendapatkan dukungan sangat kuat baik dari Fraksi Perti, Fraksi Sarekat Islam. Bahkan Fraksi Masyumi yang selama ini sangat meremehkan peran NU malah memelopori dukungan pada pikiran NU ini. Salah seorang anggota Fraksi Masjumi Prof. Kahar Muzakkir, mengatakan pada sidang 11 Mei 1959 bahwa Fraksinya mendukung Pemikiran NU yang terang-terangan mendesak pemerintah agar Piagam Jakarta tidak hanya diterima secara histories, tetapi juga sebagai landasan hukum, sebab berbeda dengan agama lain, Islam meliputi masalah akidah, ibadah dan ideologi. Ia juga mendukung Statemen Fraksi NU agar Islam jangan hanya dijadikan sebagai alat pengaman, pemadam pemberontakan, tetapi harus diberi peran yang lebih positif.

Pemikiran brilian, solutif dan konklusif dari Fraksi NU yang mampu memberi inspirasi para anggota Konstituante itu dianggap tidak ada oleh para Orientalis, hanya karena satu hal, yaitu mereka hasil pendidikan pesantren. Sebrilian apapun orang tidak boleh diakui sebagai intelektual kalau hanya didikan pesantren dan Timur Tengah. Hanya orang berpendidikan Barat yang bisa disebut intelektual yang boleh diakui pemikirannya.

Kebiasan orientalis adalah bukan teori yang harus disesuaikan dengan kenyataan, tetapi kenyatan harus tunduk pada teori. Kalau ada perbedaan antara teori dengan kenyatan maka kenyataan harus diubah atau dihilangkan. Karena bila realitas dibiarkan bisa merusak teori mereka yang fiktif, peyoratif dan imperialistik yang mereka bangun.

Pemikiran dan kepeloporan NU dalam bidang politik dihilangkan akibat adanya sikap diskriminatif terhadap pendidikan. Hanya orang yang berpendidikan Barat yang dianggap terpelajar, sementara pendidikan pesantren bukan dianggap terpelajar, mereka dianggap klenik, irasional, semata hanya karena beda paradigma. Demikian juga ketika orang hanya mengenal huruf Arab, Jawa, Bugis, Batak atau lainnya masih dianggap buta huruf kalau belum mengenal hurum Latin atau Romawi. Diskriminasi ini masih berlanjut hingga saat ini, maka harus mulai disikapi secara kritis. []

(Mun’im DZ)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar