Kamis, 13 Maret 2014

Kang Sobary: Kebudayaan Bukan Hanya Tari



Kebudayaan Bukan Hanya Tari
Oleh: Mohamad Sobary

Di luar negeri para staf kedutaan besar kita dan diplomat-diplomat kita sering menyebut ungkapan ”duta kebudayaan” yang berarti serombongan seniman yang didatangkan jauh dari negeri kita untuk menyelenggarakan suatu pentas kesenian.

Kita tahu yang datang itu bisa seorang dalang dengan rombongannya yang diundang untuk mementaskan suatu lakon khusus yang dipesan sang duta besar. Bisa juga serombongan penari atau seorang penari terkemuka yang namanya sudah mendunia. Kedatangannya sebagai ”duta kebudayaan” jelas bakal mengangkat nama dan gengsi bangsa kita di mata bangsa-bangsa asing. Kita tahu di negeri kita ada beratus-ratus jenis atau gaya tari daerah yang masing-masing memiliki pesona yang khas dan digemari bangsa-bangsa asing.

Sang duta bisa memilih kelompok seni tari mana saja yang diminta datang. Dunia sudah tahu tari Jawa, klasik maupun kontemporer, sering ditunjuk mewakili kelompok-kelompok kesenian lain. Sering pula dipilih tari Bali yang tampak atau terasa begitu dinamis, meriah, dan menghentak kesadaran para penonton. Tapi, kita tahu bahwa ”duta kebudayaan” tadi intinya tari. Orang Jawa menyebutnya ”joget”.

Jika diringkas apa adanya, kebudayaan itu sinonim dari tari. Tak bisa disangkal bahwa ada juga yang menyamakannya dengan seni. Kebudayaan itu seni. Tapi, pada akhirnya, seni di situ artinya tak lain dari apa yang sudah dibahas di atas; tari. Kebudayaan identik dengan tari.

Pemahaman seperti ini sudah lumrah. Orang menganggapnya tidak ada cacat celanya. Pejabat negara, orang yang pernah menempuh pendidikan tinggi, pun memahami makna kebudayaan sebagai persamaan kata dari tari. Di sini pejabat atau bukan tidak ada bedanya. Pegawai-pegawainya apalagi. Mereka tak mungkin memiliki pendapat dan cara pandang lain dari atasan mereka.

Kaum terpelajar swasta yang notabene bekerja di bidang yang disebut kebudayaan, wakil suatu lembaga kebudayaan, atau pemimpin tertinggi suatu lembaga yang omongan dan keputusannya ibaratnya mampu memindah sebuah gunung, atau mengeringkan lautan, pemahamannya tentang kebudayaan tidak akan pernah lain selain tari. Pejabat tinggi, di dalam pemerintahan atau swasta, yang salah pemahamannya atas suatu konsep kebijaksanaannya jelas akan salah.

Makna kebudayaan berubah menjadi tari ini secara umum, jika ada kesalahan di dalamnya, kesalahan itu dianggap hanya kecil dan sepele. Itu kesalahan yang tidak penting. Tidak penting? Kesalahan itu bukan sepele, tapi fatal. Kesalahan dalam formulasi kebijakannya fatal pula. Akibatakibat yang ditimbulkannya di lapangan pun tidak kalah fatal.

Sastrawan dan filosof kita, Sutan Takdir Ali Sjahbana, sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu menganggap kebudayaan kita berada dalam suatu krisis. Banyak penentang Takdir, yang tak mau menerima argumennya tentang krisis tadi. Bagi HB Jassin, kita tidak dalam krisis. Ceramah kebudayaan Takdir, di Taman Ismail Maruki, Cikini, Jakarta, sekitar tahun 1975-an, di mana sastrawan ini menegaskan kembali kondisi krisis kita dan kita pun krisis di bidang sastra, ditanggapi dengan serius, dengan berbagai langgam pemikiran yang berbeda.

”Kita ini rileks saja. Tak usah terlalu serius. Tak perlu krisis-krisis segala,” kata HB Jassin dalam perjalanan mobil dari Cikini ke Kampus UI Rawamangun, tempat di mana sore itu Jassin akan mengajar di Fakultas Sastra. Tapi, apakah hubungan antara pandangan Takdir dengan pemikiran umum yang berkesimpulan bahwa ketika kita mengalami krisis moneter dulu itu pada hakikatnya kita berada dalam krisis kebudayaan?

Mengapa gagasan Takdir mengenai krisis kebudayaan kita tolak kemudian seperti mendadak dan tiba-tiba saja kita mengakui bahwa kita berada dalam krisis kebudayaan ketika krisis moneter tersebut? Apakah kita melompat dari suatu logika ke logika lain yang sama sekali tak berhubungan satu dengan yang lain? Apakah logika Takdir tak ada hubungan dengan logika umum tentang krisis tersebut?

Diskusi demi diskusi, renungan demi renungan, dan obrolan demi obrolan mengenai krisis dulu itu membuat kita berkesimpulan bahwa yang sedang kita hadapi pada hakikatnya sebuah krisis kebudayaan. Sebab-sebabnya kita tak pernah menaruh peduli terhadap perkara kebudayaan. Kita biarkan kebudayaan telantar. Kita seperti sengaja membunuhnya melalui cara kita memandang persoalan, cara kita berpikir, cara kita bersikap, dan bertingkah laku dalam hidup sehari-hari.

Hal yang tak terlalu langsung berhubungan dengan tindakan sehari-hari seperti cara merumuskan kebijakan di dalam politik dan kebudayaan bahkan tampak jelas kita tak peduli sama sekali dengan kebudayaan. Takdir memandang bahwa kita berada dalam krisis karena bahasa kita, ungkapan kebahasaan kita, dan cara kita berpikir terlalu ruwet, melingkarlingkar, dan tidak tajam, ”to the point” sebagaimana ungkapan dalam bahasa Inggris yang rasional.

Mungkin bukan pada urusan ”rasional” dan ”irasional” itu pokok dan pusat persoalan kita yang membuat kita dirundung krisis. Persoalannya, kita terlalu menyepelekan makna kebudayaan. Ini menyangkut cara pandang, cara pemaknaan, dan kapasitas kita menelusur ke persoalan-persoalan lebih mendalam dan lebih kompleks mengenai kebudayaan tadi. Kita kembali ke persoalan semula, ketika kebudayaan, perkara yang sangat kompleks, serius, dan mendalam, yang hanya dimaknai sebagai tari tadi.

Kebudayaan, sekali lagi, dibikin identik dengan seni dan pengertian seni disamakan dengan tari. Apa yang serius dan berbahaya di sana? Kalau suatu perusahaan terancam kemunduran serius karena disiplin karyawan mengendur, tanggung jawab mudah diabaikan, dan kepedulian maupun sikap terhadap kehidupan bersama dibiarkan makin jauh dari aspirasi bersama.

Dapatkah persoalan kompleks dan serius di bidang kebudayaan itu kita sederhanakan hanya sebagai persoalan tari misalnya. Karyawan sudah lama tak melihat pertunjukan seni tari di kantor pada saat-saat senggang. Sementara manajemen, para pimpinan, tak menaruh peduli pada lunturnya seni pertunjukan di kantor? Persoalan-persoalan kebudayaan yang begitu kompleks di atas sumbernya ada di berbagai segi yang sudah disebutkan tadi dan tidak ada sama sekali hubungannya dengan tari.

Apa yang terjadi kalau kemudian semua pihak menyadari dan bertindak serentak untuk mengatasinya dengan menggalakkan kembali pertunjukan tari di kantor? Dapatkah kira-kira disiplin, tanggung jawab, kepedulian, dan sikap terhadap nilai-nilai kehidupan bersama kita abaikan, kemudian kita melakukan perbaikan tambal sulam seadanya dengan lebih peduli dan boleh jadi mengutamakan pertunjukan tari?

Dapatkah tari, seni tari, atau seni panggung itu mengatasi persoalan krisis yang begitu mendalam dan serius? Ini yang terjadi di masyarakat kita. Apa yang penting dan fundamental bagi kehidupan bangsa kita ini kita abaikan dan kita habis-habisan menata panggung tari di atas panggung, hi ha hi hi, dan kita merasa telah menata kehidupan. Kebudayaan tak bisa disederhanakan menjadi sekadar tari, hanya tari. []

KORAN SINDO, 03 Maret 2014
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar