Senin, 17 Maret 2014

BamSoet: Dua RUU Tak Layak Dibahas



Dua RUU Tak Layak Dibahas

Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI
(Opini Harian Koran Jakarta, 10. Maret 2014)

FOKUS dan konsentrasi bersama pada persiapan dan penyelenggaraan pemilihan umum 2014 yang bersih dan jujur bisa berantakan jika kontroversi seputar Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Hukum Pidana (KUHP) dan RUU Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) dibiarkan berlanjut. Kontroversi  ini harus diakhiri dulu agar semua elemen rakyat bisa berkonsentrasi pada Pemilu 2014. Lagi pula, pemerintah sendiri belum satu kata. Maka, idealnya, RUU itu ditarik lagi oleh pemerintah sendiri.

Pemungutan suara pemilihan anggota legislatif (Pileg) 2014 tinggal menghitung hari. Tetapi, konsentrasi bersama tiba-tiba buyar karena kontroversi yang dimunculkan oleh RUU KUHP dan RUU Kitab KUHAP itu.  Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan sejumlah elemen masyarakat mendesak DPR menunda pembahasan kedua RUU itu, bisa dipastikan bahwa kontroversi akan tereskalasi setelah beberapa institusi negara juga menyatakan keberatan terhadap muatan kedua RUU dimaksud. Situasi yang demikian ini sungguh tidak ideal untuk menyongsong agenda politik 2014 yang strategis itu.

Mahkamah Agung (MA), Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah menyatakan keberatan terhadap sejumlah ketentuan yang tercantum dalam dua RUU itu. Sebab, RUU KUHAP dapat mengurangi atau melemahkan kekuasaan penegak hukum menangkap koruptor, termasuk pelaku kejahatan narkotika dan terorisme. Bahkan ketentuan dalam RUU KUHAP berpotensi meringankan hukuman bagi terdakwa pelaku kejahatan korupsi, narkotika dan terorisme.

Muatan dua RUU itu terkesan eksperimental dengan dua target. Pertama, kalau lolos dan diundangkan, keduanya akan menyediakan jalan dan ruang aman bagi koruptor dan sel-sel sindikat kejahatan narkotika di dalam negeri. Tahun-tahun mendatang pasca perubahan rezim pemerintahan, komunitas koruptor dan Bandar narkoba tidak akan menghadapi sanksi hukum yang keras. Bahkan, mereka berpotensi lolos dari jerat hukum karena adanya peran Hakim Pemeriksa Pendahuluan seturut RUU KUHAP itu.

Kedua, kalau proses pembahasan di DPR tidak mulus, suasana akan hiruk pikuk. Kontroversi muatan RUU KUHP dan RUU KUHAP akan membelokan konsentrasi publik; dari persiapan pelaksanaan Pileg 2014 ke isu seputar silang pendapat atas dua RUU dimaksud. Artinya, ada yang ingin berperilaku tidak jujur atau curang dalam Pileg 2014. Nyatanya, rekayasa mengalihkan perhatian itu nyaris berhasil.

Kontroversi makin menjadi-jadi ketika publik menyimak pernyataan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana. "Dapat dipastikan bahwa, satu, tidak ada draf untuk melemahkan KPK. Kedua, kalau arahnya ke sana (melemahkan KPK), ya kita hentikan," kata Denny. Pembahasan RUU itu penting agar bisa dikritisi siapa pun. Dia pun yakin pembahasan Panitia Kerja (Panja) DPR itu tidak akan selesai oleh DPR periode 2009-2014.

Tak hanya memicu kontroversi, pernyataan Denny justru lebih mempertegas adanya semangat eksperimental dari pengajuan dua RUU itu. Karena eksperimintal, tidak heran jika MA, KPK, Polri, PPATK dan BNN menyatakan keberatan atas dua RUU itu. Oleh karena itu, dua RUU tersebut praktis tak layak dibahas DPR.

Kini, pemerintah harus menunjukan kemauan politiknya menarik dua RUU itu. Kalau ingin merevisi KUHP dan KUHAP, pemerintah sebaiknya mendengar aspirasi atau pandangan dari semua pemangku kepentingan. Penolakan MA, KPK, Polri, PPATK serta BNN menjadi bukti bahwa RUU itu abnormal, karena belum mengakomodasi kepentingan dari semua institusi penegakan hukum.

Bagaimana pun, muatan kedua RUU itu terbilang sensitif bagi rakyat Indonesia yang konsisten memerangi korupsi, kejahatan narkotika dan terorisme. Rakyat sudah menuntut perlakuan hukum ekstra keras terhadap pelaku tiga kejahatan luar biasa itu. Dalam argumen keberatannya, KPK menegaskan, RUU KUHAP dan KUHP itu mencerminkan pengingkaran pemerintah atas komitmen pemberantasan korupsi.

Serba Aneh

Ketika RUU KUHAP memreteli wewenang hakim agung dalam memutus perkara di tingkat kasasi, publik yang awam hukum sekalipun tentu akan mengaitkan ketetapan itu dengan kasus korupsi dan narkotika. Tentu menyayat rasa keadilan rakyat jika koruptor dan Bandar narkoba divonis ringan oleh pengadilan di bawah MA, karena hakim agung tak boleh mengoreksinya. Dengan ketetapan RUU seperti itu, posisi pemerintah dalam menyikapi kejahatan luar biasa menjadi sangat tidak jelas.

Apalagi ketika RUU KUHAP juga menetapkan penyadapan harus melalui penetapan hakim. Rakyat yang militan memerangi korupsi sudah pasti keberatan dengan ketetapan ini. Rakyat mencatat bahwa banyak kasus korupsi terungkap dari penyadapan oleh penegak hukum. Dengan begitu, efektivitas penyadapan akan hilang jika penegak hukum harus minta restu hakim. Masalahnya, tidak ada jaminan hakim bersih dalam konteks ini. Keharusan minta restu menyebabkan informasi penyadapan mudah diperdagangkan atau dibocorkan. Maka, peluang penegak hukum menangkap koruptor justru dipersulit.

Pasal-pasal aneh yang dipersoalkan berbagai elemen masyarakat telah banyak dibahas, termasuk Hakim Pemeriksa Pendahuluan serta beberapa pembatasan dalam penanganan kasus terorisme dan narkotika. Tentang peran Hakim Pemeriksa Pendahuluan misalnya, penyusun ketetapan ini sepertinya orang asing yang sama sekali tak paham geografi Indonesia.

Penyelundupan narkotika dan senjata akhir-akhir ini banyak terjadi di daerah-daerah terpencil. Menurut RUU KUHAP, tersangka penyelundup tidak bisa ditahan tanpa ketetapan Hakim Pemeriksa Pendahuluan yang posisinya mungkin di ibukota kabupaten. Dan, membatasi penyelidikan dan penyidikan kasus terorisme juga membuktikan bahwa penyusun RUU KUHAP sepertinya tidak tahu bagaimana geliat terorisme, sehingga mereka awam dengan mekanisme dan metode penanganan kasus terorisme.

Mempertimbangkan keberatan dari sejumlah institusi negara dan juga pendirian masyarakat, DPR hampir pasti tidak akan melanjutkan pembahasan kedua RUU itu. Dengan alasan tak layak dibahas, DPR bisa saja berinisiatif mengembalikan dua RUU itu ke pemerintah.

DPR berani memberi jaminan kepada segenap warga negara bahwa KPK tidak bisa dilemahkan siapa pun. DPR mendengar dan menghayati aspirasi rakyat tentang urgensi menguatkan peran KPK dari waktu ke waktu. Sehingga, jika ada pasal atau ketentuan RUU itu mengarah pada upaya melemahkan atau memreteli wewenang KPK, DPR pasti tak akan mau bersepakat menjadikan dua RUU itu menjadi undang-undang.

DPR sepenuhnya menyadari bahwa Indonesia darurat Korupsi, darurat narkotika dan juga bertekad mengikis sel-sel terorisme. Dalam menyikapi tiga kejahatan luar biasa itu, Indonesia memerlukan pendekatan hukum yang sangat spesial, ekstra keras dan tegas, tanpa kompromi untuk alasan apa pun. Posisi DPR sama dengan semua elemen rakyat.

Lalu, adakah jaminan DPR periode sekarang bisa efektif membahas dua RUU dimaksud? Patut diragukan, karena hampir semua anggota DPR periode sekarang kini lebih berkonsentrasi pada konsolidasi dan mempersiapkan kampanye guna memenangkan pemilihan anggota legislatif di daerah pemilihannya masing-masing. Bagi peserta Pileg, Maret dan April 2014 menjadi bulan pertarungan yang menuntut konsentrasi ekstra. Bukan hanya kegiatan kampanye, melainkan juga aktif mengikuti dan mengawasi perhitungan perolehan suara.

Artinya, terhitung sejak Maret dan bulan-bulan berikutnya, sebagian besar anggota DPR lebih disibukan oleh agenda dan kerja politik di luar jadual rapat atau sidang parlemen. Bahkan setelah Pileg, banyak anggota DPR masih harus berkontribusi waktu dan tenaga untuk mengamankan calon presiden atau wakil presiden yang diusung partainya masing-masing. Jadi, pasca Pileg 2014, praktis tidak ada periode waktu yang efektif bagi DPR untuk membahas dua RUU itu. []

Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar