Kamis, 20 Maret 2014

(Ngaji of the Day) Dlawabithul Masjid (Definisi Masjid)



Dlawabithul Masjid (Definisi Masjid)

Deskripsi Masalah

Secara etimologi, masjid berarti tempat sujud. Selain masjid, ada istilah lain; mushalla, langgar, surau, dan sebagainya, yang digunakan untuk arti yang sama: tempat untuk sholat yang identik dengan sujud.

Terminologi masjid inipun di daerah tertentu memiliki banyak sebutan, misalnya: Masjid biasa (la tuqamu fihil jumu’ah), Masjid Jami’ (tuqamu fihil jumu’ah), Masjid Raya, Masjid Agung, dll.

Meningkatnya ghirah umat Islam untuk menjalankan ibadah, melahirkan sebuah tempat yang asalnya aula, lapangan, atau tempat parkir menjadi tempat untuk sholat –bahkan juga untuk sholat jum’at–. Belum lagi banyaknya perkantoran, hotel, mall, stasiun, terminal yang mendirikan tempat ibadah yang difungsikan sebagai masjid, misalnya untuk jum’atan, i’tikaf, dsb.

Bahkan sekarang ini, dengan jumlah jama’ah yang makin banyak, jarak antara satu masjid dengan masjid yang lain terlalu dekat dan tidak memenuhi persyaratan jarak minimal di antara dua masjid sebagaimana dipersyaratkan imam sebagian mazhab.

Pertanyaan :
1.     Apa kriteria suatu tempat layak disebut masjid, sehingga tempat itu memiliki keistimewaan, misalnya, untuk i’tikaf, tahiyattul masjid, larangan orang ber-hadas besar berdiam di dalamnya?
2.     Apakah tahiyyatil masjid berlaku bagi musholla, langgar, dan surau ?.
3.     Bagaimana pandangan musyawirin terhadap persyaratan pendirian masjid dikaitkan dengan Peraturan Bersama Menag dan Mendagri No. 9 dan 8, tahun 2006, di mana persyaratan minimal untuk mendirikan tempat ibadah harus ada 90 orang jama’ah?

Jawaban :
1.     Masjid adalah sebuah tanah, bangunan, atau tempat yang diwakafkan sebagai masjid baik menggunakan kalimat sharih atau kinayah. Apabila tidak diketahui wakafnya, namun pada umumnya orang menganggap itu masjid, maka tempat itu adalah masjid. Sedangkan menurut suatu riwayat dari ad-Darimi, bahwa setiap tempat yang digunakan untuk shalat disebut masjid, meskipun tidak diwakafkan.
2.     Setiap tempat yang dijadikan tempat shalat disebut masjid. Karenanya, apapun nama atau istilahnya sepanjang digunakan untuk tempat shalat adalah masjid, sehingga dianjurkan (masyru’) untuk melakukan shalat tahiyyatil masjid di tempat tersebut. Sementara itu sebagian musyawirin berpendapat bahwa, mushala, langgar, dan surau tidak dianggap masjid. Sehingga tidak dianjurkan (ghairu masyru’) shalat tahiyyatil masjid.
3.     Peraturan tersebut dapat dibenarkan dan wajib ditaati apabila mengandung kemaslahatan, karena pemerintah memiliki kewenangan mengatur pembangunan masjid di wilayahnya sebagaimana juga pemerintah memiliki kewenangan mengatur pembangunan tempat ibadah agama lain. []

Sumber: LBMNU Cabang Jombang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar