Rabu, 05 Maret 2014

Kang Sobary: Lawyer Tua tanpa Pesona



Lawyer Tua tanpa Pesona
Oleh: Mohamad Sobary

Perjuangan demokrasi, keadilan, dan penegakan hukum sudah dirintis sejak zaman Orde Baru. Di bawah pemerintahan otoriter dengan tentaranya yang bengis perjuangan itu tidak mudah.

Pada zaman itu siapa bicara demokrasi langsung dibungkam karena dianggap tidak sejalan dengan garis ketentuan pemerintah. Siapa menuntut keadilan disikat di tempat. Atau hilang dan tak pernah ditemukan kembali. Siapa bicara penegakan hukum dia diancam pistol yang siap meletus. Inilah pemerintahan paling efektif di dalam sepanjang sejarah politik kita. Tidak ada pemerintahan sebelum dan sesudahnya yang bisa seefektif itu.

Kita—maksudnya pemerintah— ibaratnya ”cekat-ceket”, gesit, cekatan, tidak banyak omong, ”rame ing gawe” bekerja dengan baik, utamakan kerja, lupakan upah, dan pamrihpamrih lain. Bekerja untuk bangsa tak boleh mengharapkan upah atau disertai pamrih. ”Untuk perintah?” ”Ya, kadang disebut untuk negara. Bahkan sering disebut untuk bangsa dan negara” ”Siapa pemerintah itu?” ”Pemerintah yapemerintah” ”Itu konsep dasarnya.

Di lapangan, orang sering bersikap korup, menggunakan nama pemerintah, padahal dia sengaja menyimpang. Apa yang disebut untuk ‘pemerintah’, demi ‘pemerintah’ sering pelaksanaannya untuk kepentingan swasta. Kata swasta di sini sangat sering hanya mewakili segelintir orang kaya yang dekat dengan siapa saja, kaum sipil, maupun militer yang berkuasa. Apa yang disebut untuk pemerintah itu ternyata bukan untuk pemerintah sama sekali. Arti segelintir orang di situ bisa anak pejabat tinggi. Boleh anak pejabat sipil.

Boleh anak pejabat militer dan boleh saja untuk sahabat para pejabat tinggi yang berkuasa tadi. Siapa berani tampil ke depan untuk melawan tingkah laku korup seperti ini pasti dimusuhi. Segenap langkahnya dipersulit. Gerak-geriknya diawasi ketat oleh intelijen negara. Apa yang diucapkannya dicatat dengan baik dan utuh untuk dilaporkan atasan. Siapa berani menyoroti tingkah laku itu dari segi demokrasi atau keadilan dia pasti dibabat. Risiko berat selalu menghadang para pejuang tadi.

Tokoh yang melawan di bidang hukum dan di pengadilan berani bersikap blak-blakan, apa adanya, dia dituduh melakukan suatu ”contempt of court” yaitu menghina pengadilan atau melecehkan tata tertib pengadilan. Padahal di pengadilan tidak ada barang disebut ”tata” dan tidak ada pula ”tertib” jika keduanya atau gabungan keduanya dihubungkan dengan keadilan. Pada zaman itu apa yang pernah adil?

Tapi, para tokoh hukum yang mentereng luar dalamnya seperti Yap Thiam Hien, Bismar Siregar, dan Baharuddin Lopa tak pernah mengenal takut. Kalau ketiganya masih ada sekarang, mereka akan tetap pemberani, mentereng, punya harga diri yang mengagumkan dan akan berdiri di panggung besar dunia hukum untuk berteriak pada para lawyer, para hakim dan para jaksa, agar tetap gigih dalam perjuangan menegakkan hukum, demokrasi, dan keadilan.

Tiga tokoh itu pasti akan menilai kita dengan cermat adakah kita masih tetap di garis perjuangan itu ataukah kita diamdiam melacur dan merusak kehidupan hukum, keadilan, dan demokrasi. Saya kira asyik kalau mereka masih ada dan muncul bersama-sama di suatu sidang pengadilan. Menangani suatu kasus berat dan besar. Misalnya kasus orang terpenting dan anak istrinya mereka pasti tak gentar. Pak Yap sebagai lawyer, Pak Bismar sebagai hakim, Pak Loppa sebagai jaksa. Dunia hukum dan keadilan pasti geger. Mereka itu ibaratnya seperti malaikat, tak doyan suap, tak butuh duit kotor seperti itu, dan tak butuh tampil bermewah-mewah.

Tampil seadanya, apa salahnya, asal tak punya jiwa pelacur dalam dirinya? Mereka tak butuh tabungan dalam jumlah besar karena hanya pencoleng yang bisa menumpuk duit, melalui kerja sungguhan, di bidang penegakan hukum, keadilan, dan demokrasi. Mereka bukan hanya memiliki etika, melainkan wujud etika itu sendiri. Tiga-tiganya pasti menangis jejeritan melihat sikap dan cara kerja generasi penerus mereka masing-masing yang begitu kacau balau. Pak Yap akan marah sekali melihat lawyer yang gigih membela semua koruptor besar.

Secara mencolok sekali, memang ada tokoh hukum, lawyer, yang tangkas, ”cekat-ceket”, cekatan, membela koruptor yang duitnya sangat besar. Tiap muncul koruptor besar dia muncul sebagai pembela. Posisi seniornya dipakai untuk mencap sana sini tidak benar dan seolah hanya dia yang membela koruptor besar itu yang paling benar. Sekarang ini kebenaran tidak ada. Di masyarakat orang tak tertarik sama sekali bicara kebenaran. Di dunia politik kebenaran dibalik-balik semau politisi.

Sekarang kaum rohaniwan pun jarang bicara kebenaran karena mungkin mereka malu pada diri sendiri. Kebenaran di dalam citarasa para lawyer? Mereka membela seorang yang diadili, bukankah hanya meyakinkan bahwa keadilan diterapkan pada kliennya secara tepat? Bukankah dia membela klien agar dia tak diperlakukan semena-mena dan dia telah mendapatkan perlakuan adil? Bukankah itu filosofi dasar perjuangan hukum, keadilan dan demokrasi para lawyer? Tapi, mengapa lawyer sering melebihi porsi itu? Mengapa mereka menggelapkan kebenaran, demokrasi, dan keadilan dengan membela matimatian orang yang salah agar tidak dianggap salah?

Dengan porsi pembelaan seperti itu, apakah pembela koruptor tak dengan sendirinya juga menjadi koruptor yang tanpa tedeng aling-aling diketahui publik, tapi tidak malu, bahkan kelihatan merasa bangga akan dirinya? Tidak ada dilema etis yang mengusik hati nuraninya? Pak Yap, jangan bertanya tentang etika, sesuatu yang tidak ada lagi di zaman ini, tak begitu lama sesudah Pak Yap pergi. Mereka ahli hukum yang tahu pasti etika tak punya kekuatan apa pun.

Dia bukan hukum. Melanggar etika tidak masalah, kecuali bagi orang yang memang punya keluhuran. Membela koruptor, menjadi sejenis koruptor pula, itu bukan penilaian hukum, dan dia tidak bisa dihukum dengan aturan hukum kita. Orang hanya akan berkata, ”ngrasani” mengejek, melecehkan, di belakang. Tak mungkin dia dituntut secara hukum. Jadi, tidurlah dia dengan nyenyak. Pejuang demokrasi tak harus hidup demokratis. Pejuang kebenaran apa salahnya melupakan kebenaran?

Pejuang keadilan tak harus adil. Dia bahkan boleh mengoyak-ngoyak keadilan itu asal honornya luar biasa besar. Jadi, Pak Yap, kelihatannya dia tak peduli sama sekali. Pak Yap boleh marah. Boleh menangis dengan air mata darah, tak peduli. Pak Yap boleh resah di kuburan sana, dia tak peduli. Bagaimana dia mau peduli pada Pak Yap kalau pada dirinya sendiri dia sudah tak peduli? Membela koruptor besar bukan suatu cela.

Dia tak peduli apa kata orang. Risiko apa pun dia tak peduli. Menjadi lawyer tua, tak dihormati orang, dan kehilangan pesona? Ya, sebagai lawyer tua, tanpa pesona, apa dia bisa terima? []

KORAN SINDO, 23 Februari 2014
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar