Selasa, 18 Maret 2014

(Ngaji of the Day) Merawat Keragaman



Merawat Keragaman
Oleh: Wasid Mansyur

“Bagi NU, NKRI adalah harga mati.” Itulah salah satu spanduk yang berkibar disepanjang jalan strategis menjelang pelaksanaan Konferwil NU Jawa Timur di Pesantren Bumi Shalawat Tanggulangin Sidoarjo beberapa bulan lalu. Bagi penulis, makna penting dari spanduk itu –selain pemberitahuan—adalah penegasan bahwa NKRI bagi NU adalah keniscayaan yang tidak perlu digugat kembali.

Pilihan itu sekaligus merupakan komitmen sejarah bangsa sehingga patut di jaga sekaligus dipertahankan, kapanpun. Bukan saja dalam rangka kepentingan NU dan pesantren, tapi juga kepentingan masyarakat luas yang beragam suku, agama dan etnis. Keragaman ini adalah aset bangsa yang harus dirajut secara terus menerus dalam bingkai keharmonian. Dengan cara ini NKRI akan terus berkibar dan jauh dari kekerasan.

Tapi, masih mudahnya letupan kekerasan yang mengatasnamakan agama di berbagai daerah, setidaknya menggambarkan bangsa ini rentan konflik. Meskipun, tidak semua kekerasan itu murni persoalan agama, tapi ada kepentingan politik, ekonomi dan penyakit sosial lainnya yang selalu menunggangi sekedar agar kepentingan pragmatisnya tercapai. Untuk itu, ada dua hal yang harus diperhatikan agar kekerasan itu mudah terjadi. Pertama, perlunya kedewasaan beragama. Kedewasaan beragama salah satunya –meminjam pandangan Kiai Mustofa Bisri (2009)—adalah perlunya umat beragama terus belajar, dan terus mendengarkan orang lain.

Belajar tanpa batas dan mendengarkan pandangan orang lain akan menuntut orang agar tidak pernah puas terhadap pengetahuan yang dikuasainya, alih-alih akan merasa dirinya paling benar (truth claim). Kepuasan atas keilmuan yang dikuasai adalah awal dari bencana, sebab akan memunculkan perasaan sempurna dan menumbuhkan ke’akuan’ yang tinggi, padahal keilmuan yang dikuasai itu masih bersifat parsial.

Gus Mus, mengibaratkam fenomena ini dengan hikayat “Meraba Gajah dalam Gelap”, yang setiap peraba akan mendefinisikan gajah berdasarkan apa yang dirabahnya, dari gajah seperti pohon kerena yang dirabah adalah kakinya, atau seperti kipas sebab yang dirabah adalah telinganya, atau seperti pecut sebab yang dirabah adalah ekornya, dan lain-lain. Oleh karenanya, pemahaman kita atas Islam itu –sebagaimana gajah-- perlu terus menerus didialogkan sesuai dengan dengan konteks sosial dan budaya masyarakatnya sehingga tidak ada makna yang tunggal, kecuali dalam rangka membumikan kemaslahatan holistik (al-mashlahah al-‘ammah) bagi kemanusiaan.

Bangsa Indonesia dengan keragaman suku, agama, dan etnis meniscayakan keragaman nilai, pemikiran serta paradigma. Itu artinya, sudah saatnya tidak perlu memaksakan pemahaman tertentu kepada orang lain yang berbeda, sekalipun setiap agama secara internal berkewajiban mendakwahkan agamanya kepada orang lain. Hanya saja, konteksnya berdakwah perlu menyampaikan dengan cara-cara yang lebih arif agar keberadaan agama (baca; Islam) tidak dipahami sebagai sumber kekerasan sebagaimana dipahami sepihak dan sinis oleh kalangan Barat. Jadi memaksakan kehendak dan mudah menyalahkan yang lain setidaknya bertentangan dengan spitit Islam yang mengajarkan bahwa Muslim –sejati—adalah orang Muslim yang tidak mudah bikin “onar” kepada orang lain baik melalui mulut ataupun tangannya (al-muslim man salima al-muslimun min lisanihi wayadihi).

Maka, pembumian Islam --yang pernah dilontarkan oleh Gus Dur-- harus perlu terus digencarkan, demi keragamaan ini tepat diterjaga dengan apik sebagai aset bangsa. Karenanya, NU dan ormas yang seirama seperti Muhammadiyah harus menempatkan posisinya secara strategis dan tepat, setidaknya berada dalam garda terdepan, dalam rangka menangkis berbagai upaya gerakan apapun yang menyulut konflik, bahkan memporak-porandakan keragaman bangsa yang dibalut dalam semboyan bhinneka tunggal ika. Sebagai ormas keagamaan, keseriusannya dalam mengawal hal ini akan lebih nyata manfaatnya bagi masyarakat daripada terseret jauh dalam momen-momen politik kekuasaan, baik pilkada, pilgub, pileg, maupun pilpres, yang berakibat pada munculnya faksi-faksi.

Sementara kedua, perlunya bersikap rendah hati. Rendah hati yang dimaksud adalah senantiasa menoleh dan menghargai kepada orang lain, sejelek apapun prilaku orang itu menurut persepsi kita. Artinya, dengan rendah hati diharapkan akan tumbuh dialog yang harmonis sebab dengan begitu ada keinginan orang kepada yang berbeda tidak saling menyalahkan. Contoh kasus, maraknya Salafi-Wahabi yang memporak-porandakan keislaman NU, termasuk menggiring ideologi bangsa ke ideologi Islam, di berbagai daerah harus disikapi dengan jernih pula, dan mengutamakan arus dialog. Perlunya dialog itu agar dapat ditemukan sisi kesamaan, bukan malah memperuncing perbedaan yang bersifat furuiyyah (cabang), misalnya dengan membid’ahkan tradisi tahlilan, tingkeban, muludan, dan sejenisnya.

Di luar itu, mestinya umat Islam secara umum, khususnya NU, harus memikirkan kondisi riil yang dihadapi masyarakat dan bangsa berkaitan dengan kehidupannya sehari-hari, misalnya isu-isu kemiskinan, putus sekolah, korupsi, penjualan anak, dan lain-lain. Bukan malah terjeka pada isu-isu formal, terlebih bila apa yang diperjuangkan hanya didasari pada semangat ideologisasi Islam, atau sekedar berusaha mendakwahkan ideologi Islam transnasional sesuai dengan keinginan para ideolognya di satu pihak dan sesuai dengan kucuran dana asing di pihak yang berbeda.

Oleh karenanya, kejujuran beragama itu penting, termasuk menempatkan keberislaman ini sesuai dengan porsinya. Kejujuran itu tidak bisa dilihat hanya dalam konteks formalitas semata, tapi perlu memahaminya lebih mendalam. Dengan sering membid’ahkan orang lain, sama artinya menjadikan madhabnya sebagai satu-satunya kebenaran apalagi akhirnya menggunakan pemaksaan pemahaman melalui penguasaan atas aset-aset peribadatan Muslim yang berbeda. Umat Islam, khususnya Salafi-Wahabi, harus belajar dari hubungan harmoni Imam Ahmad ibn Hanbal –yang menjadi spirit Salafi-Wahabi- dengan Imam Syafi’i, dimana keduanya sekalipun berbeda tetap dalam bingkai menghormati sehingga dalam coretan sejarah keduanya saling bersilaturrahim, bahkan sampai diantara keduanya meninggal, yakni imam Syafi’i selalu sempat berziarah kemakam imam Ahmad.

Dengan cara-cara yang jujur dan sikap arif dalam segala bidang, sangat dimungkinkan merawat keragaman bangsa ini akan tercipta secara alami, tidak cenderung dipaksakan. Kesadaran yang tumbuh dari diri sendiri itulah kedepan perlu dikembangkan. Bukan menunggu upaya “paksa” yang dilakukan oleh pemerintah sebab kita lahir dan hidup di bumi Indonesia ini. Karenanya, generasi yang terlanjur terlibat dalam aksi teror ataupun aksi-aksi radikal, baik prilaku maupun pemikiran sudah saatnya ber”taubat” dengan belajar kembali tentang Islam secara holistik di satu sisi dan memperhatikan betul nilai-nilai kebangsaan ini di sisi yang berbeda. Dengan cara ini diharapkan tidak muncul pemahaman parsial, yang bahkan diperparah bila yang parsial itu kemudian dijadikan satu nilai yang paling dianggap benar. []

Wasid Mansyur, Tim Pengembangan Pusat Ma’had al-Jami’ah UIN Sunan Ampel Surabaya, aktivis Lembaga Dakwah NU Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar