Senin, 24 Maret 2014

Kang Sobary: Pilihan Rakyat Bukan Pilihan Tuhan



Pilihan Rakyat Bukan Pilihan Tuhan
Oleh: Mohamad Sobary

Di dunia politik, dan melalui peristiwa-peristiwa politik, tercatat nama-nama tokoh, yang tiba-tiba mendapat dukungan dan simpati rakyat. Ada bahkan dukungan dan simpati yang pernah melahirkan presiden. Lain soal bahwa yang terpilih melalui suasana psikologi seperti itu akhirnya menodai kepercayaan rakyat dan membikin mereka kecewa.

Adagium demokrasi, yang menyatakan ”suara rakyat suara Tuhan” apa masih cukup tepat dipertahankan dalam konteks politik seperti ini? Dengan kata lain, ”suara rakyat” jenis ini masih pantas dianggap ”suara Tuhan”, apa ”suara rakyat” di sini hanyalah suara yang tersesat? Harus dicatat pula di sini bahwa otomatis ”pilihan rakyat” juga dianggap ”pilihan Tuhan”? Saya kira ”suara Tuhan” itu kehendak kerajaan langit, yang pasti tidak pernah salah. Tapi mengapa ”suara Tuhan” kok menghasilkan pemimpin yang sekadar apa adanya, tanggung jawabnya rendah, hasil prestasinya tak menentu, dan hanya merangsang gejolak perdebatan tanpa henti, dan hirukpikuk tanpa hasil nyata?

Saya tak begitu percaya pada adagium itu, meskipun tiap hari saya siap untuk berjuang dengan susah payah agar bisa menjalani hidup di dunia fana ini secara demokratis. Untuk sebuah bangsa yang cepat terharu, cepat menangis, cepat memihak dengan emosi yang tak tertahan, dan siapa saja yang kalah dalam percaturan politik dan hukum lalu disebut orang yang ”dizalimi”, apa—sekali lagi—suara rakyat seperti ini bisa dipertanggungjawabkan sebagai suara Tuhan? Apa kita menganggap Tuhan itu begitu mudah terharu terhadap perkara biasa yang mengharukan kita?

Apa kita bermaksud mengatakan Tuhan begitu cengeng, dan cepat menangis menghadapi suatu keadaan, seperti yang begitu sering terjadi di dalam masyarakat kita? Tuhan kita posisikan begitu emosionalnya sehingga Dia cepat terpengaruh, dan mau tak mau langsung menjadi bagian dari apa yang diberi sebutan dengan sikap yang begitu masokhis: yang dizalimi? Sebentar-sebentar kita menggunakan kata ”yang dizalimi” ini untuk merajuk, minta perhatian, menarik dukungan dan simpati.

Dengan cara ini, sebenarnya kita menindas pihak lain dengan menggunakan kelemahan kita.Apa kata ”dizalimi” di sini punya jaminan kuat, dan pasti merupakan tanda keimanan? Apakah ungkapan itu hanya bisa keluar dari dorongan jiwa seseorang yang imannya memang dalam, atau dari komunitas orang-orang beriman, yang begitu tulus dan mudah menentukan pemihakan politik berdasarkan sebuah kesalehan yang tak perlu dipersoalkan? Iman seperti apa, dan corak kesalehan macam apa yang begitu cepat mengubah gejala psikologi menjadi fenomena politik, yang tak bisa didebat, dan tiap saat hanya menjadi prinsip kaku dan mati: pokoknya suara rakyat tak bisa diganggu gugat?

Di dalam konteks politik dan hukum di negeri kita, ”suara rakyat”, yang dipaksakan harus merupakan ”suara Tuhan” itu kelihatannya lebih merupakan romantisme yang hidupnya jauh dari dunia yang becek, dan penuh bekas-bekas banjir ini. Melihat pengalaman ini, sebaiknya kita tak usah aneh-aneh. Sebaiknya kita lugas dan apa adanya saja. Suara rakyat ya suara rakyat. Tuhan, yang ”tak tahu-menahu” dan tidak ada urusan dengan persoalan ini, tidak pantas dibawa-bawa. Jadi, sebaiknya kita menganggap ”suara rakyat” ya ”suara rakyat”.

Lebih sosiologis. Kita tak usah berlebihan, justru supaya iman kita waras, dan sehat, dan kesalehan kita tak terluka. Iman yang sehat, dan kesalehan yang tulus, tak mungkin rela menganggap Tuhan mau diajak berjual-beli suara. Serangan fajar, yang dengan ambisi kotor membeli suara rakyat, yang siap, dan kemudian menjadi serakah menerima ”money politics” apa itu berarti Tuhan betul yang dibeli suaranya? Apa dikiranya Tuhan mau diajak menyimpang? Tuhan disamakan dengan warga negara, rakyat yang kabarnya berdaulat, tapi jiwanya compang-camping, dan mau mendukung calon-calon busuk, yang bakal menghancurkan kehidupan rakyat itu sendiri?

Orang baik-baik membuat citra serba baik tentang Tuhannya. Mereka yang doyan menyimpang sebaliknya. Ada orang yang melarang saya mengkritik SBY, karena dia percaya, dan saya harus juga percaya, SBY dipilih Tuhan, dan menjalankan mandat langit yang suci. Saya mau percaya bahwa presiden dipilih Tuhan. Tapi apa Tuhan itu murahan, dan begitu mudah dikecoh? Kalau betul Tuhan yang memilih presiden itu, kita harus tahu apa pesan Tuhan waktu itu. Saya tidak percaya bahwa Tuhan berbisik: jadilah presiden, dan berbuatlah sesukamu. Menangis juga boleh. Menyanyi pun tak dilarang. Tidak mungkin.

Pesan Tuhan pasti lain, penuh kasih, penuh tanggung jawab: jadilah presiden, dan jangan selingkuh terhadap hak-hak rakyat. Jangan nodai konstitusi. Menangis boleh, menyanyi pun boleh tapi kerjakan apa yang harus dan wajib dikerjakan seorang presiden. Kalau tidak mampu menangani begitu banyak persoalan: biarkan orang miskin yang menangis, dan serahkan urusan menyanyi dan berkidung-kidung pada seniman beneran.

Pendeknya, Tuhan tak bisa dibawa-bawa secara sepele dan penuh penghinaan seperti ini. Tuhan itu bisa saja menaruh perhatian pada politik Indonesia yang mengenaskan ini. Tapi saya kira Tuhan tak begitu tertarik membuang-buang waktu terlalu banyak pada perkara yang sudah dilimpahkan pada semua manusia, para khalifahnya di muka bumi ini. Bila memang Tuhan yang memilih presiden, dan yang dipilih selingkuh dari tanggung jawab kerakyatan, saya kira pada tempatnya kalau Tuhan juga mengirim tukang kritik, untuk menyampaikan berita gembira dan peringatan. Berita gembira dan peringatan?

Itu urusan rasul-rasul, dan nabi-nabi. Tukang kritik hanya menyampaikan bahwa yang tidak baik itu tidak baik, dan mengingatkan bahwa pemimpin tak boleh mencampuradukkan yang ”haq” dan yang ”bathil”. Ini proses kebudayaan, dan gambaran bekerjanya kebudayaan di wilayah politik. Bahasa teknis-akademisnya ”kebudayaan politik”. Jadi ”pemimpin” dan ”kepemimpinan” itu fenomena kebudayaan. Di dalam kebudayaan pemimpin lahir, atau dilahirkan, muncul, atau dimunculkan sebagai wujud aspirasi, dorongan ideologis, wawasan, sikap dan tingkah laku warga masyarakat pendukung kebudayaan tersebut.

Tiap saat pemimpin lahir, atau dilahirkan, dan muncul, atau dimunculkan, seperti disebut tadi tanpa memikirkan kualitasnya secara serius. Memiliki kompetensi teknis yang diperlukan, atau tidak, hebat betul atau tidak,, sering kita abaikan. Seolah kita selalu siap untuk kecewa, padahal tidak. Kemudian kita risau. Memilih pemimpin saja kita terbukti tidak mampu. Ketika baru memilih, optimisme kita melonjak-lonjak menyundul langit., untuk kemudian berakhir dengan kecewa.

Kita membawa-bawa Tuhan dalam politik, dan memanipulasi- Nya untuk kepentingan rakyat. Kita menganggap ”suara rakyat suara Tuhan”, dan apa yang merupakan ”pilihan rakyat” disebut ”pilihan Tuhan”, kelihatannya hanya untuk menunjukkan bahwa kita tak bertanggung jawab. Kita limpahkan kesalahan pada Tuhan? Ini sikap kebudayaan yang tak sehat. Kita harus tegas: ”pilihan rakyat bukan pilihan Tuhan”. []

KORAN SINDO, 10 Maret 2014
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar