Kamis, 20 Maret 2014

Musdah: Ada Apa dengan KDRT?



Ada Apa dengan KDRT?
Oleh: Musdah Mulia

SETIAP 8 Maret, perempuan di seluruh dunia merayakan Hari Perempuan Sedunia (International Women’s Day). Di Indonesia, kelompok perempuan yang tergabung dalam Gerakan Solidaritas Korban Kekerasan terhadap Perempuan memilih tema sentral Akhiri kekerasan sekarang juga! Mengapa tema itu penting? Sebab, kekerasan terhadap perempuan terjadi setiap hari di berbagai belahan bumi. Korban dan pelakunya tidak mengenal suku bangsa, warna kulit, agama, dan kepercayaan. Kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang serius dan karenanya menuntut perhatian dan penanggulangan yang lebih saksama.

Untunglah, 20 Desember 1993 Resolusi Sidang Umum PBB menyepakati perlunya mengakhiri semua bentuk kekerasan terhadap perempuan. Masyarakat dunia sadar, kekerasan terhadap perempuan ialah bentuk nyata pelanggaran HAM karena dampaknya sangat buruk bagi kehidupan masyarakat, teruta ma bagi perempuan sebagai korban. Dalam konsiderans Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yang dirumuskan PBB disebutkan, “Kekerasan terhadap perempuan adalah perwujudan ketimpangan historis dari hubungan hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang telah mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan oleh laki-laki dan juga mengakibatkan hambatan bagi kemajuan mereka.”

Data kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia dari tahun ke tahun meningkat drastis. Jika pada 2012 ada lebih dari 600 kasus, pada 2013 tercatat 992 kasus dengan dominasi kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebanyak 372 kasus dan kasus kekerasan dalam pacaran berjumlah 59 kasus (Data 2013 LBH APIK Jakarta). Sebuah peningkatan jumlah yang signifikan dan mengerikan. Namun, bagaikan gunung es, kasus yang terdata hanya sedikit sekali. Itu pun bukan data dari lembaga negara, melainkan dari NGO yang konsen pada isu perempuan. Ketiadaan data membuktikan betapa negara masih abai dan belum serius menangani kasus seperti ini. Padahal, dalam berbagai dokumen PBB, kekerasan terhadap perempuan dinyatakan sebagai kejahatan HAM yang sistemis dan berdampak luas.

Sangat kompleks

Bentuk kekerasan terhadap perempuan secara umum dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu kekerasan di ranah domestik (di dalam rumah tangga) dan kekerasan di ranah publik (di luar rumah tangga). Tulisan ini fokus pada KDRT. KDRT dapat dibagi ke dalam empat jenis, yaitu a) penganiayaan fisik (seperti tamparan, pukulan, tendangan), b) penganiayaan psikis (seperti ancaman, hinaan, cemoohan), c) penganiayaan seksual dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual, baik dalam pernikahan maupun di luar pernikahan. Jenis keempat ialah pengabaian kewajiban memberi nafkah material kepada istri atau mengontrol uang belanja.

KDRT merupakan masalah yang sangat kompleks dan jumlah kasusnya amatlah besar. Namun, karena kejahatan itu terjadi di dalam rumah tangga, seringkali sulit dipantau dan kemudian terabaikan. Yang lebih menyedihkan, ada anggapan bahwa KDRT hanyalah urusan internal keluarga dan merupakan aib jika dibicarakan dengan orang luar. Akibatnya, KDRT menjadi sesuatu yang dipandang lumrah di masyarakat.

Dalam merespons anggapan sesat itu muncul semboyan the personal is political, persoalan pribadi sekalipun kalau membawa bahaya bagi orang banyak, harus dibawa ke ruang publik. Tujuannya, menghindarkan orang lain mengalami penderitaan serupa.

Lenore Walker, pakar psikologi, mengidentifikasi tiga tahap tindak kekerasan di dalam rumah yang dilakukan suami. Pertama, tahap `pembentukan ketegangan', kedua tahap `pemukulan berulang-ulang', dan ketiga tahap `tumbuhnya' (lagi) cinta, lemah lembut, dan penyesalan mendalam, dan keempat kembali muncul konflik dan ketegangan, demikian berulang dan berulang.

Tidak mengherankan, banyak istri teperdaya dan menganggap perilaku suami yang melakukan kekerasan sebagai suatu kekhilafan sesaat. Bahkan, mereka tetap percaya suami masih mencintai dirinya atau setidaknya ia sendiri masih mencintai suami. Sejumlah penelitian mengungkapkan penyebab utama KDRT adalah ketimpangan gender. Masih kuat anggapan di masyarakat bahwa suami memiliki kedudukan lebih tinggi dari istri, dan juga mempunyai kekuasaan penuh dalam rumah tangga. Dengan ungkapan lain, kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu mekanisme krusial untuk mengontrol perempuan dan menempatkannya pada posisi subordinat.

Tidak Memadai

Faktor penyebab lain, belum tersedianya perlindungan hukum yang memadai. Sistem hukum yang berlaku sekarang, baik dari segi substansi, struktur, maupun budaya hukumnya masih sangat lemah dan belum berpihak kepada korban. Aparat penegak hukum masih kurang responsif terhadap kepentingan perempuan, terutama dalam kasus-kasus KDRT. KUHP sudah tidak memadai lagi untuk menjangkau realitas kekerasan yang terjadi di masyarakat. Banyak bentuk kekerasan tidak tertampung dalam KUHP. Demikian pula sanksi hukumnya dinilai tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.

Malah sejumlah materi hukum, seperti UU Perkawinan, sangat jelas menempatkan istri dalam posisi subordinatif dan inferior, membuat istri tidak independen dan sangat tergantung secara ekonomis kepada suami. Akibat lebih jauh, akses perempuan terhadap sumber daya ekonomi, politik, dan sosial menjadi terbatas, yang pada gilirannya kekuasaan dan kedudukannya pun menjadi tidak seimbang di hadapan suami ataupun di hadapan masyarakat. Dalam kondisi ketergantungan seperti itu serta dukungan nilai-nilai patriarkat yang dianut masyarakat membuat kekerasan sangat mudah terjadi.

Faktor penyebab lainnya ialah dominasi kultur patriarkat. Istilah patriarkat mengacu bukan hanya kepada masyarakat primitif tempat para bapak berkuasa atas perempuan, anak-anak, dan budak, melainkan juga mencakup semua sistem sosial, ekonomi, dan politik yang otoriter dan menindas. Benih-benih pemukulan istri berakar pada posisi perempuan yang lebih rendah daripada laki-laki atau berada di bawah otoritas dan kendali laki-laki. Hubungan perempuan dan lakilaki yang timpang itu telah dilembagakan dalam struktur keluarga patriarkat dan didukung lembaga-lembaga ekonomi dan politik serta sistem keyakinan. Akibatnya, relasi timpang itu tampak alamiah, adil, bermoral, dan suci.

Faktor lain dan sangat penting ialah interpretasi agama yang bias nilai-nilai patriarkat, tidak humanistis, dan tidak mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan universal. Dewasa ini, di saat kesadaran akan kesetaraan dan keadilan gender menjadi isu sentral, adalah suatu keniscayaan untuk mempertimbangkan suara perempuan dalam interpretasi keagamaan. []

MEDIA INDONESIA, 08 Maret 2014
Musdah Mulia ; Direktur Eksekutif Megawati Institute

Tidak ada komentar:

Posting Komentar