Selasa, 25 Maret 2014

(Ngaji of the Day) Supremasi Wali Songo



Supremasi Wali Songo
Oleh: Fathoni

“Tokoh-tokoh ini, bukan tokoh-tokoh fiktif. Namun, benar-benar ada secara historis.” Itulah statement Agus Sunyoto, penulis buku Atlas Wali Songo dalam peristiwa penganugerahan sebagai buku terbaik 2014 versi Islamic Book Fair (IBF) dalam kategori Buku Nonfiksi Dewasa di Gedung Istora Gelora Bung Karno Sabtu 1 Maret 2014.

Ya, buku Atlas Wali Songo: Buku Pertama Yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah karya sejarawan NU ini meraih pengahargaan IBF Award dalam pameran buku-buku Islam ini. Melalui proses seleksi yang ketat, Atlas Wali Songo (Pustaka IIMaN) menyisihkan beberapa nominasi di antaranya adalah Cak Nur, Banyak Jalan Menuju Tuhan karya Budhy Munawar Rachman (Mizan), Hijama or Oxidant Drainage Therapy (ODT) karya Azib Susiyanto, Sy (Gema Insani), Kaidah Tafsir karya Quraish Shihab (Lentera Hati), The New World Order karya Jagad A.Purbawati (Pustaka Al-kautsar).

Tak sekadar itu, penulis melihat bahwa penghargaan ini juga sekaligus mematahkan persepsi sekelompok orang yang menganggap bahwa sejarah tokoh-tokoh Wali Songo tak lebih dari sekadar dongeng dan legenda. Dengan kata lain, sejarah yang menceritakan mereka adalah fiktif atau tidak ada.

Dari persepsi inilah yang menjadikan probabilitas terbesar akan sejarah Wali Songo dalam mengislamkan Nusantara secara kompromis dan smooth tidak tercantum dalam buku Ensiklopedi Islam terbitan Ikhtiar Baru Van Hoeve sebagai tokoh-tokoh penyebar Islam di Nusantara.

Tak hanya itu, menurut Agus Sunyoto dalam buku tersebut tidak terdapat satu kalimat pun menyebut Wali Songo, tokoh-tokoh penyebar Islam pada zaman Wali Songo, kazanah kekayaan budaya Islam pada zaman Wali Songo seperti karya sastra, seni musik, seni rupa, seni pertunjukan, seni suara, desain, arsitektur, filsafat, tasawuf, hukum, tata negara, etika, ilmu falak, sistem kalender, dan ilmu pengobatan yang lahir dan berkembang pada masa Wali Songo dan sesudahnya. Bagaimana mungkin?

Selain faktor berbeda paham, terkadang itulah kekeliruan bangsa Indonesia dalam memahami sejarahnya sendiri. Kita tidak bisa mengelak bahwa basis akademik kita belum sampai pada titik jenuh untuk selalu mengambil referensi paham arab (wahabi) dan keilmuan barat khususnya yang bersifat postivistik, dapat di nalar dan masuk logika akal atau rasionya dalam memahami sejarah Nusantara bahkan dalam membaca sejarah para tokoh Wali Songo yang menurut perspektif mereka penuh dengan mistifikasi dan klenik sehingga menurut mereka Wali Songo tak lebih dari sekadar dongeng.

Tentu kita tidak bisa memotong batu dengan menggunakan gunting. Sebab, simbol gunting akan kalah dengan simbol batu yang diperagakan oleh tangan dalam permainan suit-suitan anak kecil. Artinya, tentu saja dalam membaca sejarah Wali Songo yang konon penuh dengan dunia metafisik dan supranatural hendaknya tidak memakai pisau analisis barat dengan ilmuwan yang berpaham positivistik tadi atau paham Wahabi yang sangat tidak kompromistik.

Persoalan keajaiban, karomah, ilmu kanuragan, dan keramat para Wali Songo yang menyebabkan masyarakat pada waktu itu seakan mengunggulkan tak lebih dari sekadar keistimewaan yang diberikan Allah kepada hambanya yang begitu ikhlas, taat dan tunduk sebagai media dalam berdakwah yang penuh dengan tantangan yang tidak teramat ringan.

Respon masyarakat seperti itulah yang menjadikan kaum Islam fundamentalis Wahabi berasumsi bahwa cerita sejarah Wali Songo dapat menjurus pada kesesatan akidah dan penuh dengan tahayul sehingga semua ini adalah mitos, klenik, dongeng, dan lain-lain. Sedangkan paham ilmuwan barat menganggap ini bukan sebuah peristiwa sejarah sebab tidak bersifat postivistik.

Nalar postivistik berdampak pada materialisme berpikir. Paham materialisme selalu menempatkan segala sesuatu dapat dilihat bentuknya atau berwujud, sebab semua materi pada intinya berwujud. Dalam hal inilah Islam modernis yang merepresentasikan barat hanya mencenderungkan diri pada ilmu hushuli yaitu ilmu segala sesuatu yang tampak. Sebaliknya, tidak meyakini ilmu yang bersumber langsung dari Allah yang disebut ilmu hudhuri atau lebih populer dinamakan ilmu laduni yang menurut mereka jauh dari kata ilmiah. Ilmu ini hanya dimiliki oleh manusia yang benar-benar dekat dengan Allah, bahkan menjadi kekasihnya yang disebut Wali. Dalam hal ini, materialistiknya fundamentalis wahabi yaitu hanya menyandarkan diri pada al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan materialistiknya barat yaitu berwujud.

Sebetulnya, ilmu yang dimiliki oleh para Wali Songo tidak serta-merta karomah dari Allah tanpa kecerdasan mereka dalam berpikir. Jika para Wali dominan dengan ilham dan karomah, sesungguhnya dalam dunia keilmuan modern juga diakui. Sebut saja ilmu psikologi, dalam disiplin kelimuan ini ada yang disebut kecerdasan ilhami (intelegensi intuitif). Kecerdasan ini muncul atas keyakinan bahwa semua adalah petunjuk kebenaran dari Allah jika baik untuk kemaslahatan umat manusia.

Artinya dalam hal ini, dunia keilmuan barat pun sesungguhnya mengetahui akan keistimewaan dan karomah seorang jika benar-benar yakin akan Tuhannya. Sebab itulah, intelegensi intuitif dalam ilmu psikologi sesungguhnya adalah karomah atau keistimewaan yang lekat kepada para Wali Songo. Dengan demikian, apakah karomah yang memang di luar nalar manusia biasa itu adalah sebuah klenik yang tak rasional?

Sesunggunhya pemahman ini tidak akan muncul jika mereka memahami bahwa para wali membawa risalah Nabi. Nabi dan wali sama-sama kekasih Allah, perbedaannya bahwa Nabi SAW bersifat ma’shum sedangkan wali tidak demikian. Nabi menerima wahyu secara langsung, tetapi wali hanya menerima apa yang disebut ilham. Kemudian, keistimewaan Nabi disebut dengan mukjizat, sedangkan keistimewaan wali diistilahkan karomah. Kalimatus sawa’-nya sama, yaitu kekasih Allah.

Maka dengan demikian, mempersepsikan karomah seorang wali dengan sebuah klenik, tahayul, dan lain-lain sama saja menegasikan atau menafikan mukjizat Nabi bukan? Sebab, ilmu semua kiai, ulama, dan wali berasal dari Nabi SAW, merekalah pewaris para Nabi. Al-‘Ulama warotsatu al-Anbiya. Istilah warisan bersifat sambung-menyambung, tidak putus. Adanya seorang kiai, ulama, dan wali yaitu untuk memudahkan kita dalam mempelajari ilmu Allah dan Nabi yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadis. Sehingga jika tidak berpijak kepada mereka, dapat dipastikan mempersulit diri sendiri dalam memahami agama Allah.

Dari rasionalisasi inilah supremasi Wali Songo tegak dalam membungkam asumsi bahwa cerita mereka hanyalah dongeng belaka. Penghargaan prestisius IBF Award 2014 sebagai buku terbaik dari kategori Nonfiksi Dewasa pada buku Atlas Wali Songo ikut menguatkan bahwa sejarah wali songo sama sekali bukan fiktif, namun nyata secara historis dalam mengislamkan Nusantara dengan segala mistifikasinya.

Jika yang diinginkan oleh kaum-kaum modernis berpaham postivistik-materilaistik bahwa sejarah itu mesti dapat tangkap nalar dan berwujud, atau kaum fundamentalis yang menganggap bahwa sejarah Wali Songo hanya mitos, klenik dan menyesatkan, Agus Sunyoto dalam buku Atlas Wali Songo telah melakukan penelitian secara ilmiah dengan menyajikan bukti-bukti secara material berupa naskah-naskah kuno, artefak, dan berbagai situs-situs lain yang ikut berkelindan dalam perjalanan sejarah Wali Songo.

Tak hanya itu, dalam buku ini Agus Sunyoto juga menulis dengan sangat rasional untuk membuktikan secara ilmiah bahwa Wali Songo beserta cerita-cerita yang melingkupinya adalah sebuah fakta sejarah. Dengan demikian, layaklah jika Wali Songo mendapatkan supremasinya di pameran buku-buku Islam yang katanya terbesar di Indonesia itu, bukan? []

Fathoni, Mahasiswa Pascasarjana STAINU Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar