Rabu, 12 Maret 2014

JK: Solusi untuk Kelistrikan Kita



Solusi untuk Kelistrikan Kita
Oleh: M Jusuf Kalla

SAAT pulang ke rumah di sore hari, apa yang dilakukan? Umumnya, menghidupkan lampu, menonton televisi, dan mengisi baterai ponsel. Semua itu butuh listrik. Di kantor begitu juga. Apalagi perindustrian, semua mesin dan faktor produksi beroperasi dengan listrik, karena ekonomi baru bisa tumbuh dengan tersedianya tenaga listrik.

Kalau penduduk Sumatera Utara marah dan memprotes kekurangan listrik, hal itu tentu dapat dipahami karena kehidupan sehari-hari dan ekonomi mereka terganggu. Itulah, karena dari sisi mana pun listrik sudah menjadi kebutuhan pokok kita. Hal ini tentu diketahui dan disadari pemerintah, tetapi tak diatasi dengan baik. Bahkan, daripada bekerja menyelesaikan masalah, menteri lebih memilih menyalahkan padamnya listrik kepada pemerintah terdahulu. Mereka lupa bahwa pemerintah terdahulu presidennya SBY juga.

Pada 2005, pemerintah menghadapi situasi sangat sulit. Akibat kenaikan harga minyak, subsidi energi melebihi Rp 200 triliun, subsidi listrik Rp 50 triliun. Adapun pada waktu itu kapasitas PLN hanya 25.000 MW, sebanyak 6.000 MW di antaranya menggunakan diesel yang mahal biaya operasinya. Kebijakan yang ditempuh harus drastis agar negara keluar dari masalah besar, dengan cara mengurangi subsidi atau menaikkan harga BBM; mengurangi pemakaian listrik dengan penghematan besar-besaran, seperti lampu reklame dan jam buka mal dikurangi, pembatasan siaran televisi hanya sampai pukul 12 malam, AC kantor hanya boleh 25 derajat celsius sehingga karyawan tidak nyaman lagi memakai jas, lalu beralih ke batik yang menjadi tren sampai sekarang.

Dengan upaya itu, ekonomi kita selamat dan bertumbuh baik. Langkah berikutnya, konversi minyak tanah ke elpiji untuk mengurangi subsidi BBM dan hasilnya menghemat subsidi Rp 50 triliun per tahun. Dari sisi pembangkit listrik harus ditambah daya dengan proyek 10.000 MW yang harus dibangun cepat, yakni membangun PLTU batubara yang biaya listriknya sekitar 7 sen dollar AS per KwH, menggantikan pembangkit bertenaga diesel yang biaya operasionalnya lima kali lebih mahal, 35 sen dollar AS per KwH.

Waktu itu, beberapa anggota direksi PLN meminta pembangunan pembangkit baru hanya 3.000 MW. Namun, saya tegas menerapkan 10.000 MW, yang tahap awalnya (tahap I) dimulai 2007. Jika kita mau konsisten membangun ekonomi dan memenuhi kebutuhan masyarakat, kita seharusnya membangun pembangkit dalam jumlah yang sama setiap tiga tahun. Dengan perhitungan, kebutuhan listrik setiap tahun naik 15 persen karena pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi, gaya hidup, penyusutan, dan penghapusan diesel. Di samping untuk ketahanan pasokan listrik, harus tersedia cadangan daya 30 persen. Karena saat ini cadangan listrik kita hanya sekitar 15 persen, sulit melakukan perawatan pembangkit. Bandingkan dengan Singapura yang punya cadangan hampir 100 persen.

Mengapa tiga tahun? Karena pembangunan pembangkit listrik membutuhkan waktu pengerjaan konstruksi paling cepat tiga tahun. Ketika pembangunan pembangkit listrik tahap I tahun 2007 dimulai, dana APBN dan PLN tak ada, maka harus pinjam dan crash program. Saya sampaikan kepada Presiden SBY waktu itu, ”Kalau pembangunan pembangkit listrik tidak dipercepat, pada akhir masa jabatan 2009 akan terjadi krisis listrik.”Beliau pun langsung setuju.

Mengapa buatan China?

Pengadaan dilakukan melalui tender terbuka dan hanya China yang mampu mengerjakan dengan cepat serta dukungan kredit berikut harga yang lebih murah. Mengingat pembangkit China memang tidak sebaik Siemens atau GE, pada saat pemesanan PLN secara khusus menyewa konsultan dari Eropa untuk menjaga kualitas pembangkit. Kredit, yang semula semua berasal dari China, oleh menteri keuangan diubah sebagian ke bank asing dan domestik dengan jaminan pemerintah. Di China kapasitas listriknya sekitar 600.000 MW dan sebagian besar dengan mesin mereka sendiri, yang faktanya beroperasi dengan baik. Pembangkit di China seluruhnya berkapasitas besar di atas 600 MW mengingat kebutuhan industri yang besar dan mereka umumnya di mulut tambang dan memiliki National Grid.

Kita negara kepulauan yang kebutuhannya berbeda-beda dan tentu tak tersedia jaringan transmisi nasional. Sejarah pembangkit listrik buatan China di Indonesia, pertama kali digunakan sejak tahun 2000 oleh perusahaan listrik Dahlan Iskan di Kalimantan dan pabrik semen Tonasa yang tetap beroperasi baik hingga kini.

Nasib listrik 10.000 MW

Rencana proyek 10.000 MW itu seharusnya selesai tahun 2010/2011, tetapi karena perhatian pemerintah dan PLN dalam mengatasi masalah seperti lahan dan teknisnya serta progres kontraktornya tidak maksimal, maka sampai tahun 2014 yang rampung hanya sekitar 8.000 MW. Padahal, dalam kurun waktu sama, pembangunan PLTU Bosowa di Sulawesi Selatan dapat diselesaikan hanya dalam tempo 2,5 tahun karena perhatian yang baik.

Tanpa crash program yang telah dilaksanakan pemerintah sebelumnya, seluruh Indonesia akan kesulitan listrik saat ini. Sayangnya, kini pemerintah dan PLN kelihatan kurang serius dengan penyelesaian sisa proyek dan justru memilih menyewa ratusan mesin diesel yang mahal. Akibatnya, subsidi listrik yang tahun 2009 sudah dihemat hingga hanya Rp 50 triliun sekarang naik menjadi Rp 100 triliun per tahun. Suatu ironi yang luar biasa sebab artinya terjadi penambahan subsidi Rp 250 triliun selama kurun waktu lima tahun. Dana ini sekiranya digunakan untuk membangun pembangkit listrik, negeri ini dapat menambah pasokan listrik sebesar 20.000 MW dan masalah pun selesai. Namun, apa yang terjadi saat ini, uang habis dan negara tetap kekurangan listrik sehingga pemadaman bergilir pun tetap terjadi di beberapa daerah.

Setelah proyek tahap I tahun 2007 berjalan, tahun 2008 dirancang proyek tahap II, juga 10.000 MW yang seharusnya dimulai tahun 2010 dengan menggunakan teknologi ramah lingkungan, seperti geotermal, hidro dan gas, agar terjadi bauran energi yang baik. Tetapi belum banyak diketahui proyek ini dijalankan atau tidak karena pertumbuhan kapasitas PLN dari tahun 2006 ke 2013 sebesar 8.000 MW sebagian besar masih merupakan peninggalan proyek 10.000 MW tahap pertama.

Peran swasta

Di samping pembangunan PLN, dibuka kesempatan kepada swasta membangun pembangkit yang produksinya dijual ke PLN. Swasta dipermudah dengan kebijakan harga yang saling menguntungkan. Kebijakan ini akan menghasilkan investasi swasta yang baik. Apalagi harga listrik swasta masih jauh lebih murah dibandingkan dengan pembelian listrik PLN dari Malaysia. Dewasa ini, dengan kebijakan tak jelas dan rumit, minat swasta bisa menurun, diperparah lagi dengan pembebasan lahan yang sulit. Tanpa upaya keras pemerintah, target akan sulit dicapai. Lihatlah proyek listrik 2.000 MW di Batang yang mangkrak. Menurut Bupati Batang Yoyok, pembebasan lahan dapat dibereskan apabila pejabat pusat membantu.

Menyangkut hambatan seperti ini, saya teringat kerap keliling dengan helikopter ke daerah meninjau pembangunan pembangkit listrik untuk membantu mengatasi apabila terjadi kesulitan. Selain hambatan lahan seperti di Batang, negosiasi panjang tanpa akhir akibat ketakutan pengambilan kebijakan juga jadi kendala serius. Dampaknya akan terjadi lagi krisis listrik dalam dua tahun ke depan.

Untuk mengatasi krisis listrik di Sumatera dapat dilakukan dengan cara seluruh daya 600 MW proyek Inalum yang baru diambil pemerintah sebaiknya dipakai untuk PLN. Adapun pabrik Inalum untuk sementara dihentikan sambil dilakukan perbaikan mesin mengingat teknologi Inalum sudah uzur dengan usia 30 tahun. Sewa listrik 600 MW selama tiga tahun dapat digunakan pemerintah untuk membayar lunas harga Inalum berikut biaya modernisasi mesinnya.

Kasus penahanan pegawai PLN Sumatera Utara yang merawat pembangkit dan pengusaha pemasok peralatan tanpa alasan yang kuat akan menjadikan kekhawatiran tersendiri, dan akan menurunkan semangat staf PLN merawat mesin yang bisa berakibat fatal untuk operasi. Belum lagi keterlambatan pembangunan transmisi di beberapa tempat sehingga pembangkit selesai, tetapi tidak bisa dimanfaatkan. Pada saat yang sama sewa diesel terus berjalan yang memperbesar angka subsidi. Karena itu, ketidakseriusan dan rasa takut mengambil keputusan/kebijakan serta membiarkan negara membayar mahal subsidi listrik jadi penghambat kemajuan ekonomi dan menghalangi pemenuhan kebutuhan listrik rakyat. Sekadar rapat, mengeluarkan surat keputusan dan berwacana tidak akan menyelesaikan masalah. Pada akhirnya, hanya kerja nyata dengan program yang jelaslah yang dapat menjadi solusi atas masalah yang dihadapi bangsa ini. []

KOMPAS, 03 Maret 2014
M Jusuf Kalla ; Wakil Presiden RI Periode 2004-2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar