Rabu, 19 Maret 2014

(Ngaji of the Day) Mengontrol Bisikan Hati Menuju Intuisi Ilahi



Mengontrol Bisikan Hati Menuju Intuisi Ilahi
Penulis: Achmad Muzakki Kholil

Diriwayatkan dari Wâbidhah bin Ma’bad, ia berkata: Saya datang kepada Rasulullah, lalu beliau bersabda, “Apakah kamu datang bertanya tentang kebajikan?” Saya menjawab, “Ya.” Nabi swt bersabda, “Bertanyalah pada hatimu. Kebaikan adalah sesuatu yang membuat hati dan jiwa menjadi tenang. Sedangkan dosa adalah sesuatu yang menggelisahkan jiwa dan meragukan hati, sekalipun orang-orang terus membenarkanmu.”

(HR Ahmad bin Hanbal dan ad-Dârimy, dengan sanad Hasan)

Semua gerak-gerik hati oleh para sufi selalu diawasi dan diperhatikan, ini tidak lain karena hati adalah modal pokok dalam sulûk yang mereka tempuh. Hati menjadi komandan dari semua aktivitas seseorang. Jika hati bersih, tingkah laku pun menjadi terarah pada hal-hal yang bersih. Tapi jika hati kotor, kecenderungan terhadap hal-hal yang kotor akan lebih dominan.

Hati adalah garapan utama para sufi, karena bagi mereka, hati di hadapan Allah I sama dengan lisan di depan makhluk. Imam Sahal at-Tasturi (w. 283 H.) berkata, “Paling buruknya perbuatan maksiat adalah omongan hati.” Dalam hati berseliweran bisikan-bisikan yang mendorong untuk melakukan sesuatu yang baik atau yang buruk. Bisikan-bisikan itu berlomba-lomba untuk dapat menundukkan orang yang dibisiki: bisikan yang buruk menggoda agar orang yang dibisiki melakukan kejahatan, sebaliknya bisikan yang baik mengajak pada kebaikan.

Bisikan yang ada di hati diisitilahkan dengan khâtir atau wârid. Lebih jelasnya definisi khâtir ialah bisikan yang menghunjam ke dalam hati seseorang tanpa diduga olehnya. Definisi wârid juga hampir sama dengan khâtir, tapi keduanya memiliki perbedaan. Bisikan pada khâtir lebih terarah pada perintah untuk melakukan sesuatu, sedangkan wârid bersifat pada keadaan-keadaan spiritual yang dialami seorang sâlik. Dengan kata lain, wârid lebih mirip dengan maqâmât (kedudukan) dan ahwâl (keadaan) spiritual.

Empat Macam Bisikan

Secara umum, bisikan dalam hati terbagi menjadi empat bagian: (1) bisikan yang datangnya dari Allah, yang disebut bisikan rabbânî; (2) bisikan malaikat, disebut dengan ilham; (3) bisikan nafsu, disebut dengan hâjis; dan (4) bisikan setan yang disebut dengan waswas. (Isthilâhâtu ash-Shûfiyah, karya Syekh Kamaluddîn Abdur Razzâq al-Fâsyâny)

Bisikan rabbânî atau intuisi Ilahi akan diraih ketika berusaha menghidupkan hati dengan ma’rifatullâh. Bisikan itu bukan sekadar bisikan biasa, tapi merupakan nur Ilahi yang memenuhi seluruh sudut hati. Nur Ilahi ini terbagi menjadi tiga tingkatan dengan meninjau kelas dalam sulûk, yaitu kelas permulaan (bidâyah), kelas pertengahan (wasth), dan kelas puncak (nihâyah). Nur Ilahi yang masuk pada kelas pertama ialah wârid al-intibâh, yaitu cahaya yang mengeluarkan dari kelalaian yang gelap-gulita menuju kesadaran dan ingat kepada Allah I. Kelas pertengahan akan dimasuki wârid al-iqbâl, yakni cahaya yang dihunjamkan ke dalam hati yang menyebabkan hati akan selalu berzikir kepada Allah I dan melupakan segala selain Allah I. Kelas terakhir akan dimasuki wârid al-wishâl, yakni cahaya yang menguasai hati seorang hamba lalu menguasai lahir dan batinnya, sehingga ia menjadi sirna dari dirinya. (Iqâdz al-Himâm fî Syarh al-Hikam, karya Ahmad bin Muhammad ’Ajîbah al-Hasani)

Bisikan malaikat—atau juga disebut dengan ilham—merupakan bisikan yang mengajak pada kebaikan, baik berupa pekerjaan fardu, maupun pekerjaan sunah. Sebaliknya, bisikan yang mengajak pada kejahatan adalah bisikan setan. Bisikan ini bukan hanya mengajak pada perkara haram, tapi juga mengajak pada perkara makruh. Yang terakhir adalah bisikan nafsu, yaitu bisikan yang mengajak terhadap kepentingan-kepentingan nafsu.

Membedakan Bisikan

Empat macam bisikan tersebut sangat sulit dibedakan. Keempat-empatnya berlomba-lomba untuk dapat mempengaruhi hati orang yang dibisiki. Diperlukan perjuangan dan usaha untuk dapat membedakan empat bisikan itu, terutama bisikan nafsu dan bisikan setan. Sebab keduanyalah yang dapat menjerumuskan seseorang dalam kemaksiatan.

Para pembesar sufi sepakat bahwa tubuh yang dipenuhi dengan makanan haram tidak akan dapat membedakan antara bisikan setan dan bisikan malaikat yang disebut ilham. Secara lebih terperinci, Imam as-Suhrawardi (Abu Hafs Syihabuddin Umar bin Muhammad bin Abdullah, w.632 H) dalam kitabnya ’Awarifu al-Ma’arif menjelaskan, bahwa ada empat hal yang menyebabkan kaburnya perbedaan bisikan-bisikan dalam hati. Pertama, lemahnya keyakinan. Kedua, tidak mengetahui seluk-beluk nafsu secara mendetail. Ketiga, selalu menuruti hawa nafsu dengan selalu melanggar kunci-kunci takwa. Dan keempat, cinta akan dunia dan tetek-bengeknya.

Lebih lanjut beliau menawarkan tips untuk dapat mengontrol gerak dari dua bisikan yang menjerumuskan, yakni bisikan setan dan bisikan nafsu. Beliau menuturkan bahwa bisikan setan dapat dikontrol atau bahkan dihilangkan dengan dua resep, yaitu dengan menanamkan rasa takwa yang tinggi dan berzikir. Proses menjalankan ketakwaan dimulai dari anggota tubuh yang lahir dengan memeliharanya dari hal-hal yang dilarang syariat, kemudian meningkat lagi dengan memelihara dari hal-hal yang tidak ada faedahnya. Setelah itu, ketakwaan juga ditanamkan ke dalam anggota batin dengan menjaganya dari yang diharamkan dan juga dari yang tidak ada faedahnya. Selanjutnya, ketakwaan yang telah tertanam kokoh itu diperkuat dengan selalu ingat (zikir) kepada Allah.

Bisikan nafsu juga perlu dikontrol, meskipun tidak seluruh bisikan nafsu itu buruk. Sebab nafsu memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi demi eksistensinya untuk dapat menjalani kehidupan. Kebutuhan nafsu yang tidak boleh dituruti adalah kebutuhan yang melebihi dari kebutuhan syariat. Karenanya, bisikan nafsu harus dikontrol dengan ilmu agama: apakah bisikan itu sesuai dengan tuntunan syariat atau muncul dari rasa ketidakpuasan nafsu.

Apabila dua bisikan yang berbahaya itu dapat ditaklukkan, maka tinggal dua bisikan yang bisa masuk ke dalam hati, yakni bisikan Ilahi dan bisikan malaikat. Bahkan apabila hati telah betul-betul bersih, maka setiap bisikan tidak akan berani masuk ke dalam hati sebelum “meminta izin” kepada hati. Demikian ini sebagaimana nasehat yang disampaikan Syekh Abdul Qadir al-Jilani (w. 561), “Jika hatimu sehat, ia akan berdiri di hadapan bisikan yang akan masuk sembari berkata, ’Bisikan apa kamu dan dari mana datangnya kamu?’” []

Sumber : Buletin Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan – Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar