Selasa, 11 Maret 2014

(Ngaji of the Day) Harmonisasi Budaya Jawa dalam Islam



Harmonisasi Budaya Jawa dalam Islam
Oleh: Faiqotun Ni’mah

Sebagai salah satu suku yang ada di Indonesia, Jawa memberikan tak sedikit sumbang sih budaya terhadap Indonesia sehingga ia bisa disebut negara kaya budaya. Banyak budaya berasal dari Jawa yang terepresentasikan dalam bentuk tradisi-tradisi, baik tradisi yang berupa hiburan, bersifat spiritual, berbau mistik, maupun kolaborasi dari ketiganya. Contoh tradisi berupa hiburan, misalnya wayang, tari-tarian, dan ketoprak. Tradisi bersifat spiritual, misalnya tradisi keraton. Tradisi berbau mistis, misalnya mantera-mantera, azimat, dan ramalan. Sedangkan wayang adalah salah satu dari sekian banyak varian budaya Jawa yang mengandung ketiganya.

Tradisi Wayang

Sebut saja, para mistikus kejawen, mereka menjelaskan bahwa pertunjukan wayang bisa dipahami sebagai gambaran dunia. Allah diibaratkan sebagai dalang dan makhluk ciptaan-Nya (manusia) tak ubahnya seperti wayang yang bisa pentas di pertunjukan karena ada dalang. Ini adalah aura spiritual dari dunia wayang.

Dalam pewayangan pun terdapat kisah-kisah maupun tokoh-tokoh yang sering diharmonisasikan dengan Islam. Sebagai contoh, tokoh pewayangan Yudhistira; salah satu dari lima Pandawa dalam kisah Mahabaratha.

Yudistiralah satu-satunya tokoh pewayangan yang diyakini konversi ke Islam. Dalam mitos konversi ini, Sunan Kalijaga memainkan peran yang penting. Mitos ini menyebutkan Yudistira tidak mau berperang sebab kebebasan dan kemurniannya yang sempurna dari nafsu amarah. Untuk melindunginya, Batara Guru memberinya sebuah azimat yang bernama Serat Kalimasada. Azimat ini bisa menjauhkan musuh, memelihara stabilitas kerajaan Pandawa, dan bahkan bisa menghidupkanorang yang sudah mati. Serat kalimasada itu adalah sebuah teks yang tertulis dalam bahasa yang asing yang tak terbaca. Karena ia memilki azimat itu ia bisa hidup beberapa tahun setelah para pandawa lain meninggal, dan ia mengembara sendirian dalam hutan. Setelah waktu yang begitu lama, ia bertemu dengan Sunan Kalijaga, yang datang untuk menyebarkan ajaran Islam. Sunan Kalijaga bisa membaca teks tersebut, karena merupakan teks bahasa Arab. Teks tersebut berbunyi: ”Ashadu alla ilaha illa Allah wa’asyhadu anna muhammadar-rasul Allah”.

Dengan membaca berulang-ulang kalimat tersebut dan menerima kebenarannya, Yudistira meninggal sebagai seorang Islam, yang memang telah ditakdirkan oleh Allah.

Orang Jawa mengakui, istilah Jawa Kalimasada berasal dari kata kalimat dan syahada (bersaksi/bersumpah). Syahada bisa digunakan sebagai suatu istilah yang umum dipakai untuk menyebut pengakuan iman. Mengakui kebenaran pernyataan ini merupakan persyaratan minimal untuk menentukan seseorang beragama Islam atau tidak. Sebab, syahadat merupakan rukun Islam yang pertama.

Selain itu, bau mistis bercampur spiritual wayang dapat dilihat dari beberapa penjelasan mistikus Jawa kontemporer yang menyatakan bahwa daftar nabi yang tercatat dalam Al-Qur’an hanyalah nama-nama yang dikenal oleh orang Arab dan Budha, Wisnu dan Krisna adalah nabi-nabi Jawa pra-Islam.

Membahas mitologi wayang, tentu tak lepas dari pengaruh budaya pra-Islam yaitu Hindu maupun Budha. Dan sudah tentu terpengaruh dari budaya India, sebab Hindu-Budha datang di Jawa berasal dari India. Maka tak heran jika kisah-kisah dalam pewayangan Jawa hampir mirip bahkan dikatakan sama dengan cerita-cerita yang ada di India, semisal cerita tentang dewa Krisna, sebenarnya sama dengan cerita pewayangan Jawa mengenai Prabu Kresna yang terangkum dalam kisah Mahabarata. Hanya beda sebutan nama saja yaitu di India disebut Krisna tiba di Jawa mengikuti lidah orang Jawa menjadi Prabu Kresna.

Sebenarnya ada banyak hal positif yang dapat diambil dari pertunjukan wayang. Sehingga dapat menepis anggapan negatif yang ditujukan terhadapnya seperti yang dilakukan para kaum reformis yang menganggap menontot wayang itu adalah perbuatan maksiat.

Sebagai produk budaya, sesungguhnya wayang diakui keunikannya tidak hanya di kalangan masyarakat Jawa saja, namun juga di kalangan masyarakat belahan Asia lainnya. Von Grunebaum melaporkan bahwa “wayang Cina” adalah bentuk hiburan paling umum di kalangan masyarakat Muslim Timur Tengah pada abda ke-13. Ini berarti wayang pun diakui oleh kaum Muslim tidak hanya subyektif oleh para mistikus kejawen.

Namun, banyak perdebatan mengenai anggapan terhadap pertunjukan wayang maupun tradisi budaya Jawa lainnya. Bagi masyarakat yang sepakat dengan pelestarian budaya dengan tegas menyatakan kita sebagai generasi penerus harus melestarikannya, dalam istilah Jawa ”nguri-uri”. Namun bagi masyarakat lain yang lebih “sufi” ber-Islamnya akan menolak dengan tegas tradisi Jawa yang diakui kebanyakan bersifat mistis karena dikhawatirkan menimbulkan kesyirikan.

Kasus selain wayang yang lebih banyak di perdebatkan di kalangan ulama’ Islam Jawa adalah mengenai mantera-mantera atau do’a-do’a yang pada puncaknya dianggap sebagai ilmu perdukunan atau pun sihir.
Dalam bukunya yang berjudul Islam Jawa Kesalehan Normatif versus Kebatinan, Mark R. Woodward menjelaskan bahwa pandangan Jawa kontemporer mengenai hubungan antara kesaktian dan kesalehan Muslim sangat serupa, dan ada perbedaan antara bentuk sihir yang legal dan ilegal. Legenda-legenda Sulaiman dan legenda-legenda dari buku Arabian Nights (Seribu Satu Malam) memberikan preseden yang jelas terhadap pemakaian sihir oleh kalanagan Muslim yang saleh. Kekuatan-kekuatan magis Sulaiman digambarkan dengana panjang lebar dalam Al-Qur’an (34: 12). Ia dipercayai menguasai kerajaan dunia dan mempunyai kemampuan untuk memerintahkan para jin, burung, binatang, dan angin. Kekuatannya berasal dari suatu cincin bertanda yang terpahat rahasia nama Allah yang Agung. Tetapi ia juga dikatakn mempelajari seni-seni sihir itu di Mesir dan menjadi guru ahli matematika Yunani, Phytagoras. Sulaiman memberikan suatu paradigma bagi pemakaian sihir secara legal sebab ia seorang nabi sekaligus ahli sihir terbesar dalam sejarah.

Akhirnya, berbagai tradisi yang sudah berlaku dapat senantiasa dihargai dan dilestarikan. Harmonisasi antara agama dan budaya pasti akan tercipta. Wallu a’lam bi al-shawab. []

Faiqotun Ni’mah, mahasiswa Tafsir dan Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang dan Penerima Beasiswa Unggulan Monash Institute Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar