Kamis, 06 Maret 2014

Kang Sobary: Anak Kandung Reformasi



Anak Kandung Reformasi
Oleh: Mohamad Sobary

“Di media, citra KPK makin melambung melampaui gedung-gedung tinggi di Jakarta.”

PADA mulanya, semua orang gembira melihat kehadiran Komisi Pemberantsan Korupsi (KPK). Lembaga ini disambut dengan penuh kelegaan sebagai jalan keluar mengatasi penegakan hukum yang macet total, seperti lalu lintas di begitu banyak bagian Kota Jakarta.

Dalam kelegaan itu, kita mengutuk lembaga-lembaga penegakan hukum yang korup—yang pejabat-pejabat di dalamnya menjadi kaya raya dengan uang haram, rampokan jatah keadilan bagi seluruh rakyat yang menanti-natikannya dengan penuh harap—yang selalu mengecewakan. KPK menjadi harapan baru. Lembaga ini pun bekerja lebih baik dari semua lembaga yang digantikannya.

Penggantian ini sebenarnya bersifat sementara. Kalau kejaksaan, kehakiman, dan kepolisian bisa belajar dari apa yang baik, yang disaksikan dalam sepak terjang KPK, mereka boleh mengambil kembali apa yang untuk sementara dioper ke KPK. Kalau mereka sudah sembuh, boleh saja KPK dihapus kembali.

Tak peduli KPK itu mandat civil society dan anak kandung reformasi yang menjadi andalan, sebenarnya sejak semula ketiga lembaga itu tak rela melihat KPK berperan baik. Mereka dengki melihat KPK menjadi pujaan publik, sambil setiap saat media mengutuk mereka bertiga.

Kasus-kasus besar korupsi, yang untuk waktu lama membuat masyarakat penasaran, bahkan hingga ke tingkat frustrasi, di tangan KPK segalanya berjalan lancar.

Masyarakat melihat langsung, pencuri demi pencuri, bahkan perampok demi perampok uang negara dijaring, ditahan, diadili, dan tanpa kecuali semua dikirim ke penjara. Kasus demi kasus ditangani, Alhamdulillah, dengan baik. Kasus demi kasus di tangan KPK membuat kita lega. Memang begitulah hendaknya apa yang semestinya terjadi sejak dulu.

Di tangan ketiga lembaga yang sudah sangat lama lapuk, karatan, dan rusak berat dari dalam karena para pejabat merusaknya, kasus demi kasus korupsi hanya menjadi “dagangan”, boleh juga disebut “piaraan” menggembirakan.

Para koruptor diperas sampai mendekati titik kering kerontang. Mereka dihukum ala kadarnya. Ini hukuman “suka sama suka”. Ternyata korupsi bisa juga dilihat sebagai kegembiraan dan menjadi sumber penghasilan di luar dugaan para penegak hukum itu sendiri.

Dalam konteks politik birokrasi seperti itu, nama KPK makin harum. Otomatis bau ketiga lembaga itu makin menyengat hidung. Di media, citra KPK makin melambung melampaui gedung-gedung tinggi di Jakarta, dan nama ketiga lembaga yang digantikannya makin “nyungsep” dan terus dikutuk-kutuk. Lalu timbul rasa iri.

Jika ketiga lembaga itu berhasil menangani dengan baik kasus korupsi yang bisa menyelamatkan uang negara dalam jumlah besar, media senyap. Pengamat bisu. Tak ada sambutan. Tak ada komentar, apalagi pujian.

Namun, kalau KPK yang berbuat, biarpun hanya menyangkut hal-hal biasa yang tidak spektakuler, sambutan media gegap gempita. Masyarakat dibuat menjadi makin lega dan penuh rasa syukur.

Mula-mula KPK dipuji. Lalu pelan-pelan, seperti mau dipuja-puja seperti dewa—tak peduli KPK bukan lembaga suci, tak peduli KPK mengidap banyak kelemahan internal—kadang seperti sadar dirinya mandi pujaan, lalu berkoar-koar. Kadang KPK mengumbar janji, kadang meneriakkan kasus si anu akan segera dituntaskan. Hanya perkara waktu saja.

Perkara waktu? Di muka Bumi ini waktu sangat menentukan. Jadi, jangan disepelekan. Kasus yang sangat lama tertunda, padahal sangat dinanti-nantikan masyarakat. Jawabnya hanya soal waktu? Begitu lama waktu terbuang dan menimbulkan ketidaksabarn. Jawabnya hanya soal waktu?

Didengki

Prestasi demi prestasi diraih KPK di atas segenap kekurangannya yang tidak kecil membuat KPK didengki, seperti disebut di atas. Banyak pihak-pihak yang iri dan berusaha menjegal KPK. Sejak Tuan Presiden mengeluh KPK ternyata menjadi semacam superbody, berturut-turut usaha memutus urat-urat nadi KPK dilakukan. Keluhan Tuan Presiden seolah menjadi komando.

Serangan orang-orang hebat dan berani nekat mengancam KPK. Ketua KPK dikriminalkan, hingga sekarang masih ada di dalam penjara, pernah menjadi kasus sangat besar. Heboh di media membuat kita menyimak dengan mata dan hati terbuka lebar.

Kemudian kasus Bibit-Chandra yang menggemparkan itu dimunculkan. Ada di antara orang-orang yang menyerang KPK itu mengaku dengan bangga dekat dengan Tuan Presiden. Tuan Presiden mengelak mengenal orang-orang itu. Tiba-tiba, pelan-pelan, alam membukakan sendiri rahasia itu. Ternyata benar, mereka memang kenal Tuan Presiden.

Serangan terselubung kepada KPK bermunculan. Seterselubung apa pun, masyarakat mengetahuinya. Ini kasus terselubung yang terbuka. Ancaman untuk membuat KPK lemah dilakukan dengan hati yang penuh iri, dengki, cemburu, dan takut karena KPK keras, tegas, tanpa kompromi. Tangkap, ya tangkap. Tahan, ya tahan. Adili, ya adili. Hukum, ya hukum. Penjara, ya penjara.

Banyak cara, banyak ragam mekanisme memotong urat nadi KPK. Ada yang mempersoalkan hak penyadapan yang dimiliki KPK. Ada yang ditempuh dengan menarik penyidik dari kepolisian agar KPK timpang. Ada yang mempersoalkan Pengadilan Tipikor yang tak pernah membebaskan koruptor. Semua unsur yang bisa membuat KPK lemah ditempuh. KPK harus lemah.

Sekarang, heboh soal KUHP dan KUHAP. Wah, suara ketua DPR hebatnya bukan main. Begitu juga suara pemerintah. Dua-duanya melecehkan KPK picik, berpandangan sempit, seolah mereka lebih pintar. Kalau memang tak ada niat membungkam KPK, apa salahnya mengakomodasi tuntutan KPK?

Kalau benar mereka bekerja demi kepentingan bangsa dan untuk persoalan lebih besar, apa KPK tidak bersikap seperti itu? Rentetan kasus demi kasus pelemahan KPK mudah dibaca. Alurnya jelas. Strategi dan wujud tindakannya sangat jelas. Bahkan, niat di balik semua langkah itu pun jelas.

Mereka mau membunuh semangat reformasi di bidang penegakan hukum. Mereka lupa, KPK itu anak kandung reformasi yang mengakomodasi aspirasi masyarakat, untuk membuat negeri kita agak bersih dari korupsi, untuk membuat kita tampak punya niat baik menata kehidupan. Anak kandung reformasi ini tak boleh diancam demi kepentingan buruk yang membuat reformasi tak berarti. []

SINAR HARAPAN, 26 Februari 2014
Mohamad Sobary ; Budayawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar