Rabu, 18 September 2013

NU Konsisten Menentang “Perjanjian Renville”


NU Konsisten Menentang “Perjanjian Renville”

 

Bagi NU yang sejak awal berjuang untuk kemerdekaan Indonesia raya yang wilayahnya membentang dari Sabang sampai Meraoke tentunya merasa dikibuli ketika Belanda menawarkan perjanjian Renville yang semakin mempersempit wilayah Indonesia, padahal Belanda telah kalah perang. Karena itu NU menolak perjanjian manipulatif tersebut.

 

Persetujuan Renville antara Indonesia dengan penjajah Belanda yang ditandatangani pada 17 januari 1948 di atas kapal USS Renville yang sedang berlabuh di Teluk Jakarta. Perjanjian ini merupakan titik balik perjuangan Indonesia. Indonesia harus tunduk di bawah kekuasaan Ratu Belanda. Perjanjian yang ditandatangani pemerintahan Amir Syarifuddin dari PSI itu mewakili Indonesia, sedangkan pihak Belanda diwakili orang Indonesia pula yaitu R Abdul Kadir Widjojoatmojo seorang federalis yang bekerja pada pemerintah federal bikinan Van Mook.

 

Isi perjanjian tersebut:

1.     Pembentukan dengan segera Republik Indonesia Serikat.

2.     Sebelum RIS terbentuk Belanda memegang kedaulatan seluruh Indonesia.

3.     Republik Indonesia akan menjadi bagian dari RIS.

4.     Akan dibentuk Uni Indonesia yang akan dikepalai oleh Ratu Belanda. dan

5.     Akan diadakan peblisit untuk menentukan kedudukan rakyat dalam RIS.

 

Karena isi perjanjian Renville lebih buruk dari perjanjian Linggarjati, dengan perjanjian itu berarti Indonesia mengakui kedaulatan kembali Belanda atas Indonesia. Dengan tegas NU menolak perjanjian pengkhianatan tersebut. NU menyebutnya sebagai perjanjian munkarat dan pengkhianatan, karena itu haram turut menyetujuinya. Tetapi anehnya PSI dan PKI menyetujui perjanjian itu.

 

Ketka kabinet Amir jatuh digantikan kabinet Hatta, walaupun tidak ikut menandatangani Renville tetapi kabinet itu terikat oleh perjanjian tersebut, sehingga harus melaksanakan beberapa ponnya. Maka ketika itu NU yang masih bergabung dengan Masjumi menolak, antara lain penolakan dari Kiai Wahib dan Kiai Hadjit. ]

 

Tetapi Kiai Wahab Hasbullah berpendapat lain. Memang NU menganggap bahwa perjanjian Renville merupakan pengkhianatan dan kejahatan, karena itu NU dan Masjumi harus menolak keras. Tetapi sebagai bangsa Indonesia setiap warga wajib membela negara ini, karena itu kita harus ikut dalam Kabinet Hatta, tidak secara kelembagaan atau partai, secara Partai kita harus menolak, ikut masuk berarti mendukung. Tetapi secara individu boleh dan harus menelusupkan kader ke dalam kabinet Hatta justru untuk membendung kemungkaran tersebut. Saran Kiai Wahab itu diikuti oleh semuanya. Akhirnya Masyumi ikut dalam kabinet Hatta, saat itu berusaha meluruskan arah republik ini agar tidak terjebak pada perjanjian yang terlanjur ditandatangani. Kalau hanya berteriak dari luar kabinet bisa dituduh sebagai makar.

 

Secara substansi NU menolak perkanjian tersebut walaupun dengan banayak mengalah, Belanda akan tetap mengkianati juga, karena itu bentuk erjanjian apapun tujuannya adalah melakukan tipu muslihat, sebab bagi NU tidak ada kolonial yang berniat baik semua langkahnya adalah tipu muslihat, tidak dulu tidak sekarang. Dengan kewaspadaan semacam itu NU tetap mensiagakan Hisbullah dan Sabilillah untuk menjaga segala kemungkinan yang terjadi.

 

Benar tidak lama kemudian walaupun pemerintah Indonesia telah berusaha menjalankan agenda Reville, tetapi Belanda punya rencana lain dengan kembali melakukan pengkhianatan dengan melakukan agresi pada 19 Desember 1948. Serbuan ke Indonesia yang berkekuatan 140.000 orang ditambah 60.000 eara KNIL itu diskenario oleh CPF Romme, ketua Partai Katolik Belanda. Oleh karena itu di beberapa tempat agresi Belanda itu menggunakan Sekolah dan Asrama Katolik seperti di Ambarawa sebagai pangkalan militer Belanda.

 

Apa yang diperkirakan NU benar, selain menolak menyerahkan kedaulatan pada belanda, menolak bentuk negara federal yang merupakan upaya pecah belah, juga Belanda pasti berkhianat, karena itu NU dengan Hisbullah dan Sabilillahnya meneruskan perjuangan bersenjata besama kelompok perjuangn lain yang bergadung dalam Volkfron (Fron perjuangan rakyat) yang kemudian menjadi Persatuan Perjuangan (PP) yang menghendaki merdeka seratus persen. PP yang dipelpori Tan malaka itu juga diikuti Oleh jendral Sudirman. Kalangan NU yang dipimpin KH Wahid Hasyim juga mendukung gerakan itu, sehingga posisinya sangat kuat dalam melakukan tekanan pada Belanda sehingga pemerintah juga tidak mudah menyerah. []

 

(Mun’im DZ)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar