Rabu, 04 September 2013

Upaya NU dalam Melestarikan Beduk


Upaya NU dalam Melestarikan Beduk

 

BEDUK adalah alat yang dipakai oleh kelompok Islam bermazhab di Nusantara untuk menandai masuknya waktu sembahyang. Sejak Islam datang ke Nusantara bedug sudah dipakai di hampir seluruh masjid, sehingga biasa dijadikan tanda bagi para kelana akan adanya sebuah desa. (Lihat Centini). Belum diketahuai asal usul alat ini, ada yang memperkirakan dari Cina, atau India, tetapi ada yang merupakan kreativitas asli Nusantara.

 

Bentuk beduk berbeda beda ada yang berbentuk bulat pendek seperti drum, beduk ini biasanya dibuat dengan kayu utuh yang diameternya bisa mencapai dua meter, tetapi mengingat kelangkaan kayu saat ini umumnya hanya berdiameter atau hingga satu setengah meter. Beduk model ini bisasanya digantung di serambi masjid. Di kawasan Jawa Barat dan berapa tempat di Sumatra beduk lebih mendekati bentuk kendang dengan bentuk memanjang, yang dibuat dari pohon palem karena itu beduk ini tidak digantung, melainkan diberi kaki.

 

Bedug hanya dipasang di masjid di samping kentongan, sementara untuk langgar atau surau hanya menggunakan kentongan. Kode-kode pemukulan beduk berbeda-beda, untuk memandai masuknya waktu sembahyang biasanya dipukul sesudah memukul kentongan, di beberapa tempat hanya waktu subuh dan maghrib yang ditandai dengan pemukulan beduk setelah memukul kentongan baru setelah itu dikumandangkan adzan. Untuk sembahyang Isya’ dzuhur atau ashar hanya dipukul kentungan. Beduk yang bagus bisa bersuara nyaring sehinga terdengar bebera kilometer.

 

Ada beduk yang dipukul secara khusus, biasanya untuk memandai akan masuknya hari Jum’at, maka pada Kamis Sore beduk dipukul, sebagai pertanda malam Jum’at datang, peringatan untuk ziarah kubur, untuk membaca tahlil di masjid dan untu dzibaan dan menjalankan ibadah lainnya termasuk untuk mempersiapkan sembahyang Jumat besok paginya, sehingga memasuki malam jum’at suasan sudah sangat khusu dan syahdu, hingga hany aktivitas religius di malam itu.

 

Beduk dipukul secara khusus pada jam 12 siang ketika matahari persis berada di puncak, pada jam dan detik itu orang disarankan untuk istirahat, bahkan sembahyang pun dimakruhkan. Disarankan beristirahat melakukan rileksasi agar selalu sehat dan damai jauh dari mara bahaya. Karena itu orang tua seklalu mengingatkan pada anaknya “awas ini wayah beduk jangan pergi-pergi, jangan nangkap ikan, atau jangan memanjat pohon nantu jatuh”. Selang beberapa menit disebuit waktu lingsir (matahari sudah condong) orang boleh melakukan sembahyang dzuhir dan beraktivitas lain.

 

Untuk menandai masuknya waktu sembahyang beduk banya dipukul satu unggahan yang diawali dengan memukul pantek kayu di bibir beduk itu sebanyak sembilan pukulan, lalu dilanjutkan dengan memukul bagian kulit beduk sebanyak lima belas kali. Ini disebut satu unggahan, lalu ditutup atau dipungkasi dengan kembali memukul pantek sebanyak tiga kali. Sementara untuk solat Jumat beduk dipukul terus menerus mulai jam 11.30 hingga 12.00, beduk dipukul sekitar 12 unggahan secara berganti-ganti oleh kalanagan muda yang telah mahir memainkan beduk, bagi yang belum bisa bisasnya belajar menabuh melalui hari-hari biasa.

 

Beduk yang merupakan khazanah Islam Nusantara sebagai pertanda masuknya waktu sehingga telah menyatu dalam budaya Islam itu kemudian mendapat serangan dari kelompok Islam modernis. Kelompok itu menolak beduk karena dianggap bid’ah karena tidak ada padaa zaman Nabi, karena itu harus dihilangkan. Sementara para wali sangat aktif menggunakan peninggalan masa lalau sebagai sarana pengembangan Islam termasuk beduk dan wayang dan juga gamelan.

 

Maraknya gerakan Islam modernis mengakibatkan beduk Pusaka yang ada di Masjid Kauman yang berada di lingkungan keraton Yogyakarta terpaksa disingkirkan atas desakan Ahmad Dahlan sendiri. Sejak itu Masjid kraton tampil hambar karena tanpa diiringi alunan beduk setiap masuk waktu sembahyang. Pada Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin Kalimanatan Selatan 1936 kembali mengukuhkan penggunaan Beduk dan kentongan, bahwa pemakaian kedua alat tersebut di masjid-masjid sangat diperlukan untuk memperbesar syiar Islam. Dengan adanya keputusan itu serangan Islam modernis bisa dieliminir, dan tradisi pemakaian beduk terus dipertahankan.

 

Pada masa orde baru ketika organisasi NU mulai ditekan sementara Islam modernis mulai mendapat tempat, maka ”debedukisasi” dilakukan, sehingga banyak beduk-beduk bersejarah yang hilang dan sebagian besar digudangkan. Kemudian dikembangkan program speakerisasi, sehingga hampir tiap masjid yang sudah dihilangkan beduknya diganti dengan memasang speaker di menara atau di kubah. Hanya dilingkungan masjid Nu dan kelompok Islam bermazhab seperti Perti, Al Washliyah, Mathlaul Anwar dan sebagainya, atau mesjid yang belum diambil oleh kelompok Islam modernis tetap memakai beduk. Hal itu menadji petanda masjid yang dikelola oleh Islam bermazhab dengan Islam modernis yang tidak bermazhab.

 

Berbeda dengan kelompok lain yang dalam membuka acara resmi dengan memukul gong atau menggunting pita atau membunyikan sirine. Maka kalangan NU dalam membuka acara resmi dengan menggunakan pemukulan beduk, sementara beduk tidak bisa dipukul sembarangan tetapi memiliki irama tertentu. Bahkan Soeharto ketika hendak membuka acara NU seperti Muktamar anatu Munas harus mempelajari irama beduk. Tradisdi NU itu kemudian juga ditiru dalam acara pembukaan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ). Wacana debedukisasi oleh kalanagn Islam modernis dicounter kalangan NU dengan rebedukisasi, sehinga para pejabat dari presiden hingga camat harus bisa menabuh beduk akalau ingin mendapatkan akses ke lingkungan agama, hasilnya saaat ini beduk kembali dikenal masyarakat.

 

Ketika diselenggarakan Festival Istiqlal tahun 1994, seluruh benda dan seni budaya Islam akan dipamerkan. Tetapi ketika akan mengadakan Festifal Islam ini tidak ada benda lain yang khas Islam kecualai maunskrip kitab kuning, pusaka seperti tombak dan keris, termasuk kentongan dan beduk. Bahkan beduk terbesar yang bergaris tengah dua meter dari Masjid Jami’ Purworwjeo diarak dari Jawa Tengah di bawa ke Masjid Istiqlal Jakarta. Benda pusaka yang masih selamat dan terawat itu mendapatkan penghargaan luar biasa dari masyarakat yang memiliki kesadaran sejarah dan apresiasi budaya.

 

Selain itu juga tradisi memuluk beduk keliling saat lebaran yang dilakukan masyarakat termasuk kalangan Islam Betawi di Jakarta juga mulai kembali masuk keliling kota. Dari situ kemudian diadakan pesta beduk di Monas dan beberapa tempat lain. Bahkan kemudian diselenggarakan Festival dan lomba memukul beduk. Yang oleh panitia disebutkan sebagai upaya apresiasi terhadi tradisi. []

 

(A. Mun’im DZ)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar