Kamis, 05 September 2013

(Ngaji of the Day) Budaya Konsumtif Mengikis Kepekaan Sosial


Budaya Konsumtif Mengikis Kepekaan Sosial

Oleh : Alil Wafa

 

Manusia bisa dibilang makhluk yang tidak pernah puas. Ujung dari pencarian yang mereka lakukan selalu berakhir pada satu titik, yaitu kurang. Keadaan ini persis seperti yang disampaikan Rasulullah, bahwa seandainya manusia diberi emas sebanyak satu jurang, maka mereka akan mencari dua jurang dan seterusnya. Yang bisa memenuhi perut mereka hanyalah tanah (kuburan).


Ada pergeseran yang nyaris tanpa kita rasakan. Sebuah pergeseran nilai, dari fungsi kepada gengsi. Kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian, rumah, pendidikan, dan hal-hal lain semacam alat komunikasi, tak lagi menimbang fungsinya, tapi lebih kepada gengsinya. Ada sesuatu yang sedang dikejar dari proses pemenuhan itu, yaitu trend dan keinginan tampil lebih dari yang lain.


Mungkin itulah salah satu penyebab kenapa kita tanpa sadar kehilangan daya peka sosial. Kepekaan kita terhadaplingkungan sekitar menjadi tumpul. Bahkan bisa jadi di tengah hiruk pikuk mengejar keinginan hawa nafsuyang terus membumbung ke atas, tanpa terasa yang di bawah terinjak-injak. Kita tidak mampu menyelami apa yang terjadi di sekeliling. Kita sulit merasakan, atau mungkin cuek di saat terlelap oleh kenyang, ada tetangga yang tak bisa tidur karena lapar. Atau saat sibuk mencari sekolah elit yang mahal, tetangga kita justru terancam putus sekolah.


Perilaku konsumtif seperti ini mulai hinggap dalam diri umat Islam. Perilaku ini sudah mulai mengikis sedikit demi sedikit rasa persaudaraan dan kepekaan sosial di antara mereka. Umat Islam besar, tapi hanya sekedar kuantitas, bukan kualitas. Padahal Rasulullah menggambarkan umat Islam laksana satu tubuh, ketika satu bagian sakit, yang lain ikut merasakan. Tapi apa yang terjadi saat ini?


Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai sosial dan kebudayaan. Bahkan, nilai-nilai sosial merupakan bagian penting dari keimanan kepada Allah dan hari akhir. Rasulullah bersabda, “Tidak beriman seorang di antara kamu sehingga ia mencinyai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR Bukhari Muslim).


Nilai-nilai kepekaan sosial selalu ada dalam setiap ajaran-ajaran Rasulullah. Rasulullah memerintahkan kepada para sahabat untuk memperhatikan orang-orang yang ada di sekitarnya. Ketika memasak, hendaklah diperbanyak agar tetangga juga bisa merasakannya. Jika tidak mencukupi beliau menyuruh agar kuahnya yang diperbanyak.


Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah bersama-sama sahabat Muhajirin, tergambar dengan jelas bagaimana pengorbanan sahabat Anshar untuk sahabat Muhajirin, harta, tempat tinggal, bahkan sebagian ada yang bersedia menceraikan salah satu istri agar dinikahi oleh sahabat Muhajirin. Sungguh sebuah tenggang rasa dan kepekaan sosial yang sangat tinggi.


Ajaran Rasulullah ini juga di teladani oleh para sahabat beliau. Banyak didapati para sahabat yang tampil dengan pakaian ala kadarnya, bahkan ketika ia menjadi seorang khalifah sekalipun. Di antara mereka bukannya tidak mampu memakai pakaian yang mewah, tapi karna sifat kesederhanaan dan tenggang rasa.


Hal itulah yang diwanti-wantikan oleh Khalifah Umar kepada para gubernurnya. Beliau khawatir, di saat kesempatan terbuka lebar, para gubernur kehilangan kesadaran, dan melalaikan tugasnya sebagai pengayom umat. Khalifah Umar pernah menghukum Amr bin Ash, gubernur Mesir kala itu, gara-gara berbuat semena-mena terhadap seorang rakyatnya yang miskin.

Abdullah bin Qathin, salah satu gubernurnya di daerah Hamsh, pernah di lucuti pakaiannya oleh umar. Sang Khalifah menyuruh menggantinya dengan baju gembala. Bukan itu saja, si gubernur di minta menjadi pengembala domba untuk beberapa saat. Hal itu dilakukan Umar karena sang gubernur membangun rumah mewah buat dirinya. “Aku tidak pernah menyuruhmu membangun rumah mewah!” ucap Umar begitu tegas.


Teladan lain datang dari Mush’ab bin Umair. Pemuda kaya ini tiba-tiba berubah drastis ketika memeluk Islam. Dulu, ia selalu tampil gagah dan serba mewah . Tapi, ketika ia masuk Islam tiba-tiba menjadi pemuda sederhana yang hampir seratus persen berbeda dengan sebelumnya. Bahkan, Mush’ab rela meninggalkan segala kekayaannya demi menunaikan dakwah di Madinah.

 

Dari itu semua sudah seharusnya kita memupuk kepekaan sosial kita dengan berusaha meninggalkan budaya konsumtif. Kita berusaha mencoba hidup sederhana, dengan menyukuri apa yang ada. Sederhana bukan dalam pengertian hidup miskin, tetapi sederhana dalam bersikap yang mengedepankan kebijaksanaan dalam memenuhi kebutuhan hidup, tidak berlebihan, atau mendewa-dewakan materi. Dengan itu, seseorang dapat memilah mana yang harus menjadi prioritas dan mana yang tidak, baik perhatian, tenaga maupun harta. []

 

Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan – Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar