Selasa, 03 September 2013

(Ngaji of the Day) Ustadz dan Muslim Tanpa Pesantren


Ustadz dan Muslim Tanpa Pesantren

Oleh: Irfan Afifi*

 

Secara pribadi saya tak punya concern yang mendalam atas fenomena merebaknya ustadz di televisi kita akhir-akhir ini. Apalagi saya memang telah meninggalkan aktivitas menonton televisi selama dua tahun. Saya mengakses berita maupun informasi, yang di dalamnya termasuk informasi keagamaan, tidak dari tv, melainkan hanya dari sumber media online, itu pun informasi yang perlu dan dibutuhkan saja yang saya baca. Biar ndak jadi sampah informasi pikiran.


Sejak kecil, saya selalu diajari oleh orang tua dan lingkungan kecil desa saya, Bahwa untuk menjalankan ajaran agama secara baik dan utuh—dimana dibutuhkan pengetahuan agama di dalamnya, orang harus mencari atau menuntut ilmu secara mendalam dan bertahap di madrasah-madrasah keagamaan maupun pondok pesantren. Itulah dua pranata Islam tradisional yang saya ikuti sejak kecil hingga dewasa, selain sekolah formal (SD, SMP, SLTA) layaknya anak usia sebaya saya.


Namun ada satu hal yang selalu saya ingat, di pesantren santri tidak hanya diajari materi-materi pengetahuan keagamaan saja, lebih dari itu ia mendapatkan pelajaran perilaku yang termanifestasi dalam akhlak dan dipertajam dengan laku dan oleh spiritual (riyadlah dalam bahasa pesantrennya) seperti praktik sholat malam hari yang dilanjutkan dengan mujahadah (dzikir malam), baca sholawat berjamaah, puasa, dan aktifitas spiritual lainnya. Bagi orang pesantren, penguasaan materi ataupun kepandaian adalah sekunder, sedangkan kemanfaatan ilmu adalah yang utama. Apa guna pandai jika tak punya akhlak. Apa guna ilmu yang berlimpah jika tak memberi manfaat. Singkatnya, ilmu harus memberi barokah.


Masyarakat desa, setahu saya, sangat tergantung sekali, terutama dalam soal kegamaan dengan pranata-pranata keagamaan seperti madrasah dan pondok pesantren, ataupun sosok-sosok pribadi dari dua pranata tersebut, seperti guru madrasah maupun kiai yang mengajar di sebuah pondok pesantren. Untuk mendapat informasi atau pengetahuan/ilmu Islam, orang harus rela menyisihkan waktunya untuk mondok maupun menuntut ilmu atau minimal bertandang ke rumah para guru dan kiyai—yang memang telah menempuh pendidikan keagamaan yang lama—untuk menayakan problem keagamaan yang diperlukan.


Tentu, tidak semua golongan masyarakat dapat mencecap pendidikan pesantren cukup, meski mereka secara umum telah mendapatkan pengajaran kegamaan seperlunya (biasanya pendidikan baca tulis al-Quran serta kitab fiqih dan akidah dasar) di madrasah-madrasah dasar—yang merupakan madrasah pendahuluan sebelum masuk pondok pesantren—juga surau/masjid sebagai bekal pelaksanaan kewajiban agama dasar dan prinsip dasar agama dalam menjalani kehidupan.


Oleh karena keterbatasan ini, mereka sangat sadar bahwa mereka sangat bergantung pada ulama (kiai) maupun guru madrasah setempat dan menganggap mereka sebagai otoritas-otoritas mulia yang layak untuk dihormati, dimulyakan, dan (kalau perlu) dimintai berkah—masyarakat menganggap gelar Kiai bukan semata-mata terkait pengusaan keagmaan secara mendalam melainkan juga terkait pencapaian spiritualitas tinggi yang dengan sendirinya dapat menyebarkan berkah . Dalam konteks seperti itulah pranata sosial-keagamaan (tradisional) tersebut bekerja dan berfungsi.


Otoritas-otoritas tradisional ini, akhir-akhir ini semenjak Reformasi khususnya—atau bahkan telah berlangsung lama—mulai dipertanyakan, atau minimal berkurang fungsinya dalam masyarakat kita yang telah memasuki gelombang indrustrialisasi dan modernisasi. Hal ini tentu dimulai juga ditandai berubahnya persepsi masyarakat tentang pendidikan juga struktur dan system pendidikan itu sendiri.


Masyarakat kita lebih memilih atau lebih tepatnya menyekolahkan anaknya di pendidikan-pendidikan formal-modern yang memberi bekal siswa untuk mengantarkan kehidupan dunia yang lebih baik. Selain itu, dengan semakin bertambahnya beban materi di sekolah formal yang tentu membuat mereka semakin larut sore untuk sampai di rumah, membuat para siswa semakin berjarak dengan otoritas-otoritas tradisional seperti masjid, madrasah, dan pondok pesantren, atau bahkan masyarakat yang ada di sekitarnya. Secara prkatis para siswa ini semakin minim pengetahuan keagamaannya, yang semata didapat hanya dari materi kegamaan yang terbatas dari sekolah formal. Hal ini belum menyangkut pendidikan akhlak yang termuat dalam pelajaran agama tersebut yang mebutuhkan contoh-contoh manusia ‘hidup’ yang menjalankannya.


Namun seiring dengan minimnya pengajaran keagamaan, revolusi teknologi-informasi—terutama internet—telah menjadi fakta keseharian dan sangat mempengaruhi kehidupan dan cara kita mendapatkan informasi dan pengetahuan. Inilah fakta awal ketercerabutan siswa-siswa kita dengan masjid, madrasah, dan pondok pesantren. Kuntowijoyo menyebut fenomena ini sebagai “Islam tanpa Masjid”, karena pengetahuan keagamaan yang mereka dapat tidak lahir dari masjid, madrasah, ataupun pondok pesantren, melainkan dari informasi/pelajaran keagamaan yang tersedia dalam sekolah, ataupun dari newsletter, media cetak Islam komersial, maupun media online.


Dengan corak masyarakat demikian, mau tidak mau memaksa siswa tidak lagi bersambung dengan pranata sosial-kegamaan tradisional. Rumusnya sangat sederhana, semakin aktif siswa dalam kegiatan sekolahnya, semakin minim interaksinya dengan masjid, pondok pesantren, maupun kegiatan dalam masyarakatnya. Pendeknya, siswa-siswa ini adalah generasi—meminjam analogi Kuntowijoyo—“muslim tanpa pesantren”.


Ustadz dan Pranta Keagamaan Modern


Semenjak era Reformasi, kata ustadz menjadi salah satu kata populer dalam keseharian masyarakat kita. Tentu media televisi khususnya menjadi eksponen utama yang mempopulerkannya. Setiap pencermah/dai keislaman di televisi dijuluki sebagai ustadz. Pada masyarakat pedesaan khususnya kata ustadz tidak terlalu populer. Karena mereka terbiasa memanggil para ulama dengan sebutan kiai, ajengan, atau tuan guru.


Kalaupun mereka mengenal kata ustadz—yang disebut secara jarang—dialamatkan bagi para pengajar madrasah ataupun para pengajar (biasanya santri senior) yang membantu mengajar kiai dalam tradisi pondok pesantren—yang memang mencerminkan arti harfiah kata itu (ustadz: guru, lawanya tilmidz: murid). Oleh karenya di pesantren, ada yang dinamakan dewan asatidz (bentuk kata jamak dari ustadz) yang arti harfiahnya dewan/perkumpulan para guru di pesantren maupun madrasah. Itupun hanya tertulis pada papan pengumuman dan sangat jarang digunakan sebagai sebutan dalam panggilan sehari-hari.


Dalam pembacaan saya, fenomena pengajian dan ustadz adalah respon masyarakat perkotaan khususnya—atau mungkin juga desa—yang memang telah tercerabut dengan institusi pendidikan keagamaan tradisionalnya. Ia lahir untuk memenuhi kebutuhan dan kegairahan baru atas agama Islam, atau katakanlah spiritualitas islam, yang dirasa semakin sulit ditemui dalam lingkungan perkotaan yang telah sepenuhnya termodernisasi—atau lebih tepatnya tersekulerisasi, dalam pengertian fundamental-ontologis kata itu.


Masih segar dalam ingatan kita munculnya “kelahiran Islam baru” tahun 80-90-an (new Islamic born) dan semakin mencolok di tahun 2000-an yang ditandai fenomena tumbuh suburnya halaqah atau liqa’ keagamaan di kampus-kampus umum di Indonesia, atau menjamurnya pakaian jilbab/hijab, maraknya shalat berjamaah di kantor-kantor perusahaan swasta, ataupun tumbuh suburnya sinetron-sinetron ataupun pengajian keagamaan dalam tayangan televisi di luar perayaan hari-hari besar keagamaan, atau semakin jamak kita temui pemuda ataupun mahasiswa yang memanjangkan jenggotnya. Jika kita mau jujur yang memeriahkan kegiatan liqa’, halaqah, maupun kajian keislaman di universitas-universitas umum adalah dulu merupakan generasi para siswa sekolah umum formal yang waktunya dihabiskan untuk aktivitas sekolah mereka hingga larut sore.


Oleh karena itu sebanarnnya ‘profesi’ ustadz dan pengajian adalah merupakan institusi modern yang diciptakan oleh masyarakat perkotaan yang memang sedang—entah kenapa (saya tidak tahu)—mulai bergairah dalam mendalami dan menghanyati agamanya.


Tentu bukan tidak ada preseden sama sekali kata pengajian pada masa yang lebih dulu. Di masyarakat pedesaan, sepertinya hingga sekarang, kata pengajian dibedakan dengan kata ngaji dalam bahasa jawa, mungkin juga bahasa daerah yang berdekatan. Bagi masa itu, ngaji adalah aktivitas rutin yang dikerjakan siswa-siswa madrasah informal (biasanya sore) atau pondok pesantren yang menjadi tempat pengkajian keilmuan melalui kitab-kitab sumber yang dianggap otoritatif—biasanya kitab-kitab imam madzhab fikih, tauhid, maupun Akhlak (tasawuf) maupun para murid penafsir imam madzhab tersebut, selain kitab tafsir dan hadist.


Sesekali masjid (masyarakat), madrasah maupun pondok pesantren mengadakan pengajian (ceramah keagamaan umum) yang mendatangkan muballigh atau da’i dari luar atau dalam daerah untuk memperingati perayaan akhir tahun ajaran pondok, maupun perayaan hari-hari besar Islam, juga perayaan yang diadakan oleh rumah tangga.


Dalam pemahaman mereka pengajian adalah sekunder dan temporer, karena pendalaman ke-Islam-an sesungguhnya yang lebih dalam telah mereka dapat di bangku madrasah dan pondok pesantren sebagai aktivitas harian. Mereka sangat sadar bahwa ilmu keagamaan, apalagi penghayatannya, merupakan hal agung dan tidak boleh didapat secara instant atau asal-lalu. Kalaupun masyarakat tidak sepenuhnya bisa menjalani masa-masa pondok pesantren dan madrasah secara cukup, namun mereka adalah masyarakat yang mengidealkan sistem itu dan (oleh karenanya) sangat mengagungkan petuah-petuah/ nasihat dari para kiai maupun guru madrasah setempat (sami’na wa atho’na).


Sebagai sebuah pranata modern, ustadz , majlis taklim, halaqah, kajian keagmaan, dan pengajian, merupakan salah satu wujud institusi atau institusionalisai pengajaran keagamaan secara populer, terutama bagi masyarakat kota secara umum—yang sebagian fenomenanya sudah menjalar memasuki pedesaan. Meskipun sebagai sebuah sistem, ia relatif masih muda dan masih perlu dinstitusionalkan secara lebiih padat dalam sebuah sistem yang padu layaknya madrasah dan pondok pesantren.


Oleh karena sistemnya yang relatif masih instan dan hanya memenuhi kebutuhan temporer di sela-sela rutinitas hidup perkotaan yang padat maupun di sela-sela waktu perkuliahan yang telah terjadwal, kegiatan-kegiatan ini bagi para siswa maupun santri madrasah atupun pondok pesantren dianggap sebagai hal yang minor dan dipandang sebelah mata karena dianggap hanya menghasilkan kader-kader muslim dengan keilmuan instan, partial, dan—karena lahir dari tradisi keilmuan yang berbeda—bercorak beda dalam penghayatan keagamaanya. Meski harus dicatat, saat ini telah muncul institusi keagamaan—layaknya madrasah kegamaan—seperti SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) yang saya duga muncul dan merupakan kelanjutan dari halaqoh, kajian keagamaan, maupun liqa’ yang telah membentuk institusinya secara lebih padu dan sistematis. Nah kata ustadz kiranya merupakan term yang lahir dalam lingkungan atmosfer perkotaan seperti ini.


Satu hal lagi yang juga dipertimbangkan, bahwa media-lah—entah cetak, electronic, maupun online—yang ikut membentuk kita siapa yang disebut ustadz atau bukan. Siapapun orangnya, yang berbicara, menyampaikan pengajian atau tausiyah (kata ini dalam keseharian tidak popular di pesantren) di televisi dianggap ustadz—atau tepatnya di-ustadz-kan oleh para pekerja media, entah dia telah paham benar atau tidak agama Islam, atau dalam kacamata pranata Islam tradisional, apakah sang ustadz sudah menempuh pendidikan Islam yang dirasa cukup untuk menyampaikan materi dakwah-dakwah keagamaan menjadi tidak penting lagi.


Oleh karenanya, sangat mungkin pasar ‘profesi’ ke-ustadz-an diramaikan oleh calon da’i yang sumber keilmuannya di dapat dari buku-buku Islam berbahasa Indonesia secara otodidak. Dalam dunia indrustri media (baca: komersialisasi budaya pop) hukum pasar adalah norma tertingginya. Sejauh sang ustadz bisa menyampaikan ajaran-ajaran keagamaan secara menarik dan menghibur ia akan diterima pasar, tidak peduli ia benar-benar paham apa yang disampaikan atau tidak.


Oleh karenanya, istilah ustadz selebriti, ustad gaul, bahkan ustadz cinta menjadi tak terelakkan. Media, dengan sendirinya, merupakan pasar yang menggiurkan bagi banyak calon da’i untuk berlomba-lomba menjadi ustadz, karena keuntungan material-duniawi yang dijanjikan maupun popularitas yang ia dapatkan. Profesi ustadz dengan sendirinya harus tunduk pada hukum pasar yang berlaku dan oleh karenanya ia disepadankan dengan profesi artis dalam televesi. Meskipun begitu, para ustadz televisi ini sungguh memikat mayoritas masyarakat yang memang telah lama tercerabut dengan institusi madrasah dan pondok pesantren, yang notabene mulai merindukan moral agama datang lagi dalam masyarakat yang telah termodernisasikan. Akhirnya, hukum permintaan dan penawaran pasar pun mencapai titik setimbangnya.


Itulah yang realitas keseharian kita. Yang jelas, Para ustadz di televisi dengan dengan demikian adalah representasi dari masyarakat kita—entah perkotaan, juga bahkan masyarakat desa—yang di satu sisi sedang ‘haus-hausnya’ akan pemahaman keagamaan namun di sisi lain tak mendapatkan jangkar keilmuan dari tradisi yang padu seperti dilahirkan madrasah dan pondon pesantren di sela rutinitas pencarian penghidupan material. Atau dengan kata lain sebuah masyarakat yang semakin tak bersambung lagi dan tercerabut dari madrasah dan pondok pesantrennya. []

 

* Penulis adalah santri Pondok Pesantren Al Miftah Mlangi, Yogyakarta; Alumnus Filsafat UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar