Rabu, 25 September 2013

Gus Mus: Kyai Pesantren dan Perubahan Zaman


Kyai Pesantren dan Perubahan Zaman

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri

 

 
Mengapa ada kyai pesantren? Mengapa ada orang yang mau mengorbankan tenaga, pikiran dan hartanya untuk masyarakat? Mengapa ada orang yang bersedia mendidik anak-anak orang tanpa dibayar? Mengapa ada orang yang ikhlas menunjukkan jalan mereka yang tidak ingin tersesat dan siap menampung keluh-kesah mereka yang gelisah?

 

Jawabnya, tentu saja tidak sesederhana mubalig menyitir dalil. Karena ada janji Allah bagi mereka yang berjuang fii sabiiliLlahi biamwaalihim wa anfusihim akan mendapatkan pahala yang luar biasa. Karena ada sabda Rasulullah SAW “Man lam yahtam biamril mu’miniina falaisa minhum” (Barangsiapa tidak memperhatikan urusan orang-orang mukmin, maka dia tidak termasuk golongan mereka). Atau, karena dalil-dalil lain yang menyarankan untuk berbuat baik kepada orang.


Dalil-dalil itu ”hanyalah” semacam motivasi. Kondisi masing-masing pribadi yang bersangkutanlah yang lebih menentukan. Kondisi yang memenyebabkan dirinya mudah termotivasi oleh dalil-dalil mulia agama itu. Kondisi al-mu’minul qawwiy, mukmin yang kuat. Memiliki cukup ilmu, kearifan; kemuliaan akhlak; kesungguhan dan ketekunan, kepekaan sosial dan kaya terutama secara batin.


Mungkin dari sudut ilmu, yang bersangkutan tidak terlalu istimewa, tapi pemahaman tentang inti ajaran agamanya mendalam. Sehingga dengan demikian, muncul dari dirinya kearifan, perilaku yang terpuji dan kepekaan sosial yang tinggi. Mungkin dari sudut harta, tidak terlalu kaya; tapi sikap qana’ah dalam dirinya menjadikannya seorang yang ”kaya raya dari dalam” atau kaya secara batin. (Kalau kaya dalam pengertian umum, yakni memiliki banyak materi, saya sebut ”kaya dari luar”. Kaya dalam bahasa Arab disebut ghaniy, kebalikannya ialah faqiir. Ghaniy memiliki arti tidak butuh, sedang faqiir berarti membutuhkan. Allah=Al-Ghaniy dan kita hamba-hambaNya=Al-Fuqaraa, orang-orang yang faqiir).


Dari sekian faktor yang disebutkan, boleh jadi faktor kekayaan-dalam dua pengertiannya-merupakan kondisi pendukung yang penting-kalau tidak paling penting-bagi seseorang melakukan peran kemasyarakatan dan pendidikan masyarakat secara ikhlas dan lilllaahi ta’alaa, sebagaimana yang dilakukan kyai pesantren di zaman dahulu.


Lain dahulu lain sekarang. Meski dalil-dalil mulia masih tetap yang itu-itu juga (dari Quran dan Sunnah Rasulullah SAW), namun kekuatannya sebagai motivasi tidak lagi sama seperti dahulu. Kehidupan telah berubah sedemikian rupa. Pandangan terhadap hidup dan kehidupan serta cara dan gaya hidup orang sudah berubah sama sekali. Kaya dari dalam, misalnya, sudah langka kita temukan. Sementara, untuk menjadi kaya dari luar, tidak cukup kesungguhan. Kesungguhan dan ketekunan seperti sudah bertekuk-lutut kepada apa yang disebut sebagai budaya instan. Padahal, iming-iming materi bagi menikmati kehidupan semakin merajalela.


Dari segi sosial-politik, perubahan pun luar biasa. Di zaman Orde Lama, politik menjadi panglima. Di zaman Orde Baru, panglimanya ganti ekonomi. Lalu, di zaman yang konon disebut era reformasi ini, kembali politik menjadi panglima. Bedanya-setelah melewati era Orba yang sangat mendewakan dunia-”sang panglima” pun berupa politik dengan ”rasa ekonomi”. (Artinya, politik yang dapat menunjang perekonomian dan kesejahteraan politisi sekeluarga).


Perubahan melindas semua, tidak terkecuali kyai mubalig; kyai dukun atau kyai pesantren. Tinggal siapa lebih kuat menghadapi semua perubahan itu. Sabda Nabi Muhammad SAW, Al-mu’minu lqawiyyu khairun wa ahabbu ilaLlaahi mina lmu’minidh dha’iif…” (HR. Muslim dari shahabat Abu Hurairah r.a.). Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada mukmin yang lemah.

 

Penulis adalah pemimpin Pondok Pesantren Roudhotut Thalibin, Rembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar