Kamis, 26 September 2013

(Ngaji of the Day) Syiar Agama dan Politik Populasi


Syiar Agama dan Politik Populasi

Oleh: Ahmad Dairobi

 

Konon, Firaun-lah yang mula-mula menerapkan kebijakan politik berupa tahdidun-nasl, atau pembatasan populasi, dalam sejarah umat manusia. Sebagaimana telah maklum, Firuan menghabisi bayi-bayi lelaki Bani Israil dan membiarkan bayi perempuan mereka hidup, sebagai strategi politik untuk melanggengkan kekuasaannya.


Kalau dilihat dari sudut pandang agama, kebijikan pembatasan keturunan memang kurang pas dengan beberapa nilai ajaran. Dalam Islam, terdapat banyak anjuran agar seseorang memperbanyak keturunan. Jumlah yang besar memiliki sisi yang penting sebagai syiar atau simbol kekuatan. Islam memiliki perhatian yang cukup besar terhadap kesan ini, misalnya melalui syariat salat, jemaah, salat Jumat, salat Id, dan wuquf di Arafah. Momen-momen ibadah tersebut, memiliki sisi pengesanan kuantitas yang kuat, besar, kokoh dan bersatu.


Perhatian utama Islam tentu saja pada kualitas. Namun demikian, Islam juga memilik perhatian yang sangat besar terhadap kuantitas. Hal itu tergambar dengan sangat jelas dalam sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya aku membangga-banggakan jumlah banyak kalian terhadap umat-umat yang lain di hari kiamat.” (HR. Ibnu Hibban).


Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathur-Bari dan Imam asy-Syathibi dalam al-Muwafaqat menyatakan bahwa memperbanyak keturunan kaum muslimin merupakan salah satu tujuan diutusnya Nabi Muhammad SAW. Hal ini termasuk bagian dari maqasidus-syari'ah yang berupa hifzhun-nafs (menjaga keberlangsungan hidup). Oleh karena itu, Islam mensyariatkan pernikahan, melarang perzinahan, pengebirian (kasim), aborsi dan kehidupan membujang aja biarawan. Termasuk juga memakruhkan suami melakukan tindakan 'azl (mencabut zakar sebelum ejakulasi/mengeluarkan sperma di luar rahim).


Mengenai penggunaan terapi atau obat-obatan pencegah kehamilan, Syekh Izuddin bin Abdissalam menyatakan, “Tidak boleh bagi perempuan (juga lelaki) menggunakan obat-obatan untuk mencegah kehamilan.” Namun demikian, menurut Imam Syihabuddin ar-Ramli dalam Nihayatul-Muhtaj, ada ulama lain yang menyatakan bahwa hukum tindakan tersebut sama halnya dengan 'azl (makruh). Ar-Ramli juga memberikan catatan bahwa pendapat yang tidak memperbolehkan tindakan tersebut seharusnya diarahkan pada obat pencegah kehamilan yang bersifat permanen. Sedangkan yang bersifat sementara, lebih tepatnya disamakan dengan 'azl (berhukum makruh).


Inilah hukum aslinya secara fikih. Dalam kondisi tertentu, hukum tersebut bisa berubah sesuai tuntutan kondisi, misalnya bila tindakan pencegah kehamilan atau pembatas keturunan dilakukan karena faktor ekonomi, pendidikan atau menjadi kebijakan penguasa yang diterapkan secara umum untuk menekan laju populasi penduduk yang meningkat dengan cepat. Masalah ini termasuk permaslahan masa kini yang tidak muncul pada masa hidup pada para ulama salaf dahulu. Maka, jelas melahirkan perbedepatan dengan sudut pandang yang amat beragam.


Syekh Abdul Majid Salim, mufti Diyar Mishriyah, pada tahun 1355 H. mengeluarkan fatwa memperbolehkan pencegahan kehamilan karena alasan-alasan tersebut. Ha itu, apabila suami-istri sudah sepakat dan pencegahannya hanya bersifat sementara. Jika pencegahan itu bersifat permanen, maka haram, baik untuk istri atau suami.


Syaikhul-Azhar, Syekh Mahmud Syaltut, menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh membuat kebijakan membatasi keturunan, karena hal itu bertentangan dengan fitrah manusia dan sunnatullah. Namun, jika hal itu dilakukan oleh perorangan dalam bentuk pengaturan kelairan karena faktor kesehatan, ekonomi, pendidikan, dan semacamnya, maka hal itu tidak bertentangan dengan syariat dan fitrah manusia. Menurut beliau, itu boleh-boleh saja, atau bahkan bisa dianggap baik.


Syekh Abdullah al-Qalqili, Mufti Yordania, menyatakan bahwa Islam memang menganjurkan pemeluknya untuk memperbayak anak. Namun, hal itu terkait erat dengan kondisi di masa lampau, di mana Islam saat itu sangat membutuhkan kuantitas pemeluk sebagai syiar dan tiang kekuatan politik-militer. Semantara, kondisi saat ini justru sebaliknya.


Menurut beliau, persoalan ekonomi, kepadatan penduduk, juga kualitas pendidikan yang dihadapi umat Islam saat ini menyebabkan perlunya pengaturan kelahiran atau pembatasan keturunan.


Nalarnya, menurut al-Qalqili, berangkat dari Hadis bahwa Rasulullah SAW menganjurkan nikah bagi pemuda yang memiliki kemampuan ekonomi. Sedangkan, untuk pemuda yang tidak mampu, beliau menganjurkan puasa, menahan nafsu. Jika persoalan ekonomi menyebabkan seorang lelaki boleh membujang, maka pembatasan anak lebih boleh lagi.


Pendapat al-Qalqini ini bertentangan dengan Syekh Yusuf az-Zawawi, mufti Trengganu Malaysia. Beliau menyatakan, kebijakan pembatasan anak karena alasan ekonomi tidak dapat diterima dalam pandangan syariat. Sebab, Islam sangat menganjurkan kepada pemerintah dan masyarakat agar memperbanyak keturunan supaya kaum muslimin terlihat kuat di hadapan umat-umat yang lain.


Pandangan senada dengan az-Zawawi banyak muncul dari kalangan ulama Wahabi. Rata-rata mereka menolak pembatasan anak karena faktor ekonomi, sebab sudah dengan sangat jelas dinyatakan dalam al-Qur’an, bahwa urusan ekonomi ditanggung oleh Allah SWT. Abdul Aziz bin Baz, ulama Wahabi yang sangat masyhur, secara khusus menaggapi pernyataan al-Qalqili sebagai argumentasi dan nalar yang aneh. Nalar tersebut bertentangan dengan dalil-dalil yang shahih mengenai anjuran memperbayak anak dan bahwa rezeki mereka ditanggung Allah SWT. Lebih dari itu, ulama Wahabi yang lain, Muhammad Jamil Zainu, menyatakan bahwa ketakutan dalam mesalah ekonomi merupakan bisikan yang sering didengungkan oleh setan, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam QS. al-Baqarah: 268.


Bahkan beberapa ulama Wahabi menengarai bahwa meluasnya kabijakan penekanan angka kelahiran di berbagai negara Islam sejak 1950-an merupakan strategi yang dihembuskan oleh orang-orang Yahudi dan musuh-musuh Islam untuk melemahkan kekuatan kaum Muslimin. Populasi umat Islam yang terus meningkat menggoreskan kengerian di hati mereka. Pada tanggal 21 Juli 1969, Herri Kissinger, penesehat keamanan Amerika Serikat di era pemerintahan Nixon menyatakan di hadapan senat, “Pesatnya populasi di Dunia Ketiga merupakan ancaman bagi kemanan bangsa Amerika.”


Selanjutnya, pernyataan tersebut dipertajam oleh stafnya, Brent Scow Croft, sampai-sampai dia melontarkan wacana agar Amerika Serikat berupaya mengurangi populasi di Dunia Ketiga dengan cara perang dan penyebaran virus epidemik. (Jaridah al-Khalij edisi 6/9/1995).


***


Menyikap pro-kontra tersebut, sebaikanya kita mempertimbangkan keadaan nyata yang sedang dialami, dengan disertai keyakinan yang benar, niat yang baik dan landasan yang kuat. Sebab, berbagai sudut pandang di atas sama-sama memiliki nalar rasional dan layak dijadian pertimbangan. Oleh karena itu, pertimbangan selanjutnya terserah Anda... “Li kulli unasin fi ba’rihim khubrah; Masing-masing orang lebih tahu tentang ciri khas untanya.” Demikian kata pepatah Arab. []

 

Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan – Jawa Timur, Edisi 66, Halaman 17 – 20.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar