Rabu, 11 September 2013

(Ngaji of the Day) Membangun Bangsa dengan Keragaman Agama


Membangun Bangsa dengan Keragaman Agama

Oleh: Ahmad Rosyidi

 
 

Pemahaman terhadap suatu agama harus dimulai dengan pemahaman terhadap dasar-dasar ajaran dari agama itu sendiri. Tanpa memahami dasar-dasar agama, seseorang akan mudah terhasud oleh kelompok-kelompok yang sedang berkepentingan.


Demikian pula untuk memahami ajaran agama Islam, harus memahami dasar-dasarnya secara mendalam dan menyeluruh. Dalam Al Qur’an ditegaskan “Udkhulu fis silmi kaffah” yang artinya “masuklah kamu semua ke dalam agama Islam secara keseluruhan”. Sebagaimana pernah di kemukakan oleh KH. Muchit Muzadi bahwa untuk menjadi muslim yang kaffah harus ada keseimbangan antara ibadah ritual dan ibadah sosial.


Konsep ibadah dalam Islam sendiri mempunyai cakupan yang sangat luas, ibadah ritual merupakan bentuk ibadah vertikal antara seorang hamba kepada Tuhannya, sedangkan ibadah sosial adalah manifestasi dari hubungan antar sesama ciptaanNya dalam kehidupan sehari-hari. Kedua bentuk ibadah tersebut mutlak harus dilakukan oleh seorang muslim menyatakan dirinya adalah muslim yang kaffah.


Dalam konteks ini, ibadah baik itu berbentuk ritual maupun sosial harus berjalan seimbang. Seseorang tidak pantas mengklaim dirinya sebagai muslim yang kaffah jika hanya mengedepankan ibadah ritual yang berisi doktrin-doktrin agama serta membangga-banggakan Islam transnasional saja. Islam sesungguhnya hadir sebagai penyeimbang yang penuh keramahan. Islam bukan agama yang baku dan kaku, akan tetapi Islam harus menjawab setiap problem kemasyarakatan.


Islam datang untuk membangun masyarakat yang adil dan beradab. Adanya perbedaan agama dan penafsiran terhadap agama merupakan sunatullah. Diciptakannya perbedaan agar satu sama lain saling mengenal, saling belajar, dan saling melengkapi, sehingga pada akhirnya saling berlomba-lomba untuk berbuat baik dan memberi yang terbaik untuk sesama.


Islam menginginkan lahirnya “Ummatan Wasathan” (umat yang berimbang) agar resistensi dari dominasi kelompok tertentu tidak terlihat. Variasi keberagaman Islam harus dihormati, sehingga meminimalisir adanya truth claim (klaim kebenaran) dari kelompok tertentu dan menilai yang lain sebagai sesat dan kafir. Sehingga umat Islam tampil sebagai teladan bagi warga bangsa keseluruhannya.


Jika kita lihat fenomena yang terjadi akhir-akhir ini, Islam nampaknya hadir dengan wajah yang sangat banyak dan variatif. Islam dipahami tidak lagi sebagaimana saat Islam berjumpa dengan padang tandus di tengah-tengah peradaban Qurays, akan tetapi Islam telah berproses dengan miniatur surga di bumi ini, yaitu tanah subur Indonesia. Sehingga Islam akan terus berproses dengan realita zaman dan lokalitas budaya yang dihadapinya.


Begitu juga wajah Islam di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, di sini Islam menjadi agama yang mayoritas, akan tetapi tidak menjamin adanya warna yang sama dalam Islam sendiri. Islam di Indonesia sangat majemuk, sebagaimana kebhinekaan yang ada di berbagai wilayah Indonesia. Kemajemukan dalam Islam di Indonesia, seharusnya menjadi kekuatan tersendiri dan kesadaran untuk yang saling melengkapi. Tetapi dalam faktanya, kemajemukan tersebut justru menjadi pemicu terjadinya pergolakan Islam di Indonesia.


Seperti kita ketahui, banyaknya aliran Islam yang mengklaim bahwa aliran mereka yang paling benar. Sehingga mereka dengan mudah memfonis aliran yang lain sebagi aliran yang sesat. Hal tersebut tentunya memicu terjadinya perang saudara antar sesama muslim. Baik itu perang fisik atau perang melalui berbagai media yang dianggap mampu menyebarkan faham-faham mereka sehingga mereka mampu merekrut sebanyak mungkin orang.


Seperti perang lewat media radio, buku, dan juga melalui pengajian-pengajian yang sebenarnya banyak berisi doktrin-doktrin dan klaim kebenaran sepihak. Selain itu, adanya kelompok-kelompok yang menuntut ditegakkanya khilafah islamiyah, entah khilafah yang seperti apa yang mereka inginkan, tetapi ternyata kelompok tersebut juga ikut ambil bagian dalam meramaikan pergolakan Islam Indonesia akhir-akhir ini.


Di satu sisi, mungkin saja yang mereka lakukan memang benar karena sejatinya kebenaran adalah hak prerogativ Allah sebagaimana sikap menilai apakah seseorang itu beriman atau tidak beriman hingga memaksakan Islamisasi pada semua hal, sesungguhnya bukan wilayah wewenang manusia. Menilai keimanan dan kekafiran juga sepenuhnya menjadi hak prerogative Allah. Tetapi ada sisi lain yang mereka lupakan yaitu sisi kemanusiaan sebagai manifestasi dari ibadah sosial yang telah disebutkan.


Oleh sebab itu, karakteristik dari keberagaman yang ada bukan untuk di satukan hingga menciptakan karakteristik baru, tetapi karakteristik keberagaman yang sudah ada di akomodasikan sehingga tercipta kehidupan sosial yang harmonis tanpa menghilangkan karakteristik masing-masing kelompok. Atau dengan mendialogkan islam dengan persoalan ke-Indoonesia-an, bukan bagaimana mengoprasikan konsep-konsep Islam yang telah ada di luar kesadaran dan realitas diri sendiri di Indonesia, sehingga menimbulkan konflik berkepanjangan antara sesama umat Islam sendiri.


Keberagaman yang diperlukan dalam saat ini adalah keberagaman yang bersifat etikal yang melahirkan kesalehan sosial, bukan keberagaman yang melahirkan kesalehan individual yang berwujud ibadah-ibadah ritual semata. Kesalehan individual hanya melahirkan orang-orang baik tetapi kebaikan dan dampak positif sesudahnya itu hanya untuk dirinya sendiri. Tetapi kesalehan sosial akan melahirkan orang-orang baik yang senantiasa menebarkan kebaikan serta memberikan dampak kebaikkan pula bagi orang lain. Kesalehan sosial merupakan modal sosial terbesar suatu bangsa untuk dapat bangkit dari segala keterpurukan.


* Penulis adalah alumni Mahasiswa STAI Ma’had Aly Al-Hikam Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar