Jumat, 27 September 2013

Cak Nun: Haji: Peristiwa Agama dan Peristiwa Budaya


Haji: Peristiwa Agama dan Peristiwa Budaya

Oleh: Emha Ainun Nadjib

 

Haji Beneran dan Rasa Haji

 

Ini adalah tulisan tentang haji dari seorang yang belum pernah naik haji, bahkan belum pernah sekedar mendapat oleh-oleh air zamzam. Oleh karenanya, penulis memohon maaf atas kelemahan mendasar dari tulisan ini.

 

Taraf saya masih semacam Haji Bawakaraeng. Gunung Bawakaraeng ada di Sulawesi. Pada musim haji, sejumlah orang Islam mendatanginya dan melakukan sejumlah ritus seolah-olah mereka sedang benar-benar menjalankan ibadah haji.

 

Tentu saja secara ‘syar’i, yuridis formal’, mereka tak bisa dianggap telah berhaji. Tapi sekurang-kurangnya mereka memperoleh kemungkinan ekonomi untuk sungguh-sungguh berangkat ke Tanah Suci yang asli.

 

Alhamdulillah, Islam punya kecenderungan besar untuk memudahkan pemeluk-pemeluknya. Kalau tak sanggup berdiri dalam menjalankan shalat, boleh duduk. Kalau tak bisa duduk, silahkan berbaring. Begitu juga haji.

 

Sementara ini ‘pangkat’ saya barulah penggembira, ikut bahagia ada fenomena peribadatan bernama haji. Ikut senang banyak orang berbahagia naik haji. Ikut bergembira dan menginternalisasikan — secara ‘platonis’ — ide-ide, gagasan, metode, tarikan, modus, serta pengembaraan rohaniah yang sedemikian total mewahidkan tiga dimensi esensial kehidupan manusia: kebenaran, kebaikan, dan keindahan.

 

Haji adalah — atau kita sebut: semestinya — puncak totalitas penyatuan antara tiga dimensi itu, yang diperjuangkan oleh kehidupan manusia. Haji lebih dari sekedar efek dari kesanggupan ekonomi seseorang untuk berangkat ke Arab Saudi: juga lebih dari sekedar ‘romantisme pengembaraan kultural’. Bukan aksesori keperluan politik, status dan kebanggaan sosial.

 

Adapun saya, tergolong di antara ratusan juta ummat Islam yang belum atau tidak pernah naik haji, sehingga hanya bisa ‘menabuh beduk’ dari kejauhan: Betapa benar mauatan inisiatif-Mu ya Allah. Betapa baik kandungan anjuran-Mu, ya Allah. Labbaika allahumma labbaik!

 

Nyayian cinta, lagu-lagu rindu, yang dilantunkan oleh jutaan hamba-Mu di tanah suci pada hari-hari haji, ditampung oleh ribuan malaikat dan diangkut ke langit, diserahkan kepada-Mu dengan deraian air mata syukur. Adapun Engkau abaikan kami-kami yang belum atau tidak sanggup berangkat ke rumah-Mu?

 

Padahal rasa rindu kami terlebih-lebih dari berlipat-lipat karena jarak ketidakmampuan kami. Padahal kalau saudara-saudara kami di tanah suci-Mu meneriakkan nama-Mu, kami memekikkannya. Di dalam kejauhan jarak ini tangis kami adalah hujan sunyi yang hanya Engkau belaka yang sanggup mendengarkannya. Jadi bolehlah kiranya dari rumah melarat di kampung kami sendiri, kami mendendangkan lagu Labbaika allahumma labbaik! Labbaika allhumma labbaik! Labbaika la syarika laka labbaik!

 

Haji Dan ‘Tarian’ Sunnatullah

 

Haji adalah sebuah kemewahan ekonomi, bagi kita yang bertempat tinggal jauh dari Tanah Suci. Tatkala para penempuh haji berpakaian ihram, mereka ‘melompat’ naik ke taraf transendensi budaya: menanggalkan status sosial, kedudukan, tingkat-tingkat jabatan dan profesi. Metode itu membawa manusia kembali ke kefitrian, ke otentisitas dan kesejatian dirinya.

 

Pada pengalaman berhaji, mungkin seseorang menjadi mengerti bahwa jati diri bukanlah to be pada tataran-tataran sosial-budaya, sebab itu semua hanyalah cara atau jalan menjadi seseorang, sesuatu atau ‘aku’ yang lebih sejati, lebih kualitatif, atau lebih berorientasi ke universalitas nilai ‘Aku primer’ manusia bukan ‘aku pedagang’, ‘aku partai’, ‘aku status sosial’: sebab puncak dari semua jenis ‘aku’ tersebut pada akhirnya adalah aku manusia.

 

Di dalam Islam, ‘aku manusia’ meningkatkan dirinya menjadi aku ‘Abdullah’ atau ‘aku hamba Allah’ kemudian ‘aku khalifatullah’ atau ‘aku hamba Allah’ kemudian ‘aku khalifatullah’ atau ‘aku wakil Allah’, kemudian meningkat atau lebih menginti lagi.

 

Ketika mereka berputar mengelilingi Ka’bah, yang mereka lakukan seolah-olah adalah tarian sunnatullah: gerakan pada inti atom atau sel, atau koreografi bintang-bintang, planet dan satelit; yang pada perspektif kesadaran local manusia hal itu menciptakan ikhtilafillaili wannahar, pergantian siang dan malam.

 

Haji dan Esensialisasi Diri

 

Dan tatkala para hamba Allah itu bersujud, yang mereka sembah bukanlah Ka’bah, melainkan merupakan simbolisasi ahad dan wahid. Ahad itu satu-Nya Allah, dan wahid itu penyatuan semua kuantitas indidividu manusia dan keummatan manusia, serta semua sistem kualitas nilai dirinya, pada satu mata air, yang menjadi sumber dan sekaligus muara segala sistem eksistensi.

 

Proses penegakan ‘ahad’ dan penempuhan ‘wahid’ itu disebut tauhid. Proses penyatuan. Menyatukan diri dengan Allah. Proses penyatuan diri dengan Allah itu ditempuh melalui metode transdimensi: status sosial, kedudukan budaya, bahkan pada akhirnya unsur biologis manusia harus ditanggalkan, karena ia bersifat sangat relatif dan temporer.

 

“Barangsiapa mendambakan kesatuan dengan-Ku, hendaklah ia berbuat baik….”, dalam pergaulan sehari-hari, melalui lembaga, partai, birokrasi dan apapun, meski dalam bentuk yang seolah-olah ‘non-agama’. Artinya, pertemuan dengan Allah tidak dalam keadaan biologis dan budayawi, melainkan ketika kita telah menjadi cahaya rohani, yakni telah menjadi inti perbuatan baik itu sendiri.

 

Ibadah shalat, puasa dan haji, juga landasan syahadat — kesadaran dan ikrar eksistensi manusia — adalah juga metode pengatmosfiran diri menuju kesadaran ‘ahad’ dan ‘keberadaan’ ‘wahid’. Namun peristiwa haji adalah kemewahan, adalah puncak dari segala kemungkinan semacam itu.

 

Dengan itu semua saya membayangkan bahwa menjalankan ibadah haji adalah kesempatan ‘mencicipi’ peristiwa pencintaan langsung dengan Allah, melalui sejumlah tahapan sublimasi, kristalisasi dan universalisasi dan esensialisasi diri.

 

Bermilyar-milyar kekasih Allah adalah penari-penari dan Allah adalah pusat tarian agung di mana Ia berkata — “Kalian kekasihku, semua kalian kekasihku, mendekatlah, mendekatlah kemari, berkerumunlah di seputarku. Akan kutaburi wajah kalian dengan cahaya sehingga seluruh keberadaan kalian akan bergelimang cahayaku. Dan nanti akan kubukakan wajahku, agar kalian melihat betapa indahnya Aku….”

 

Dengan demikian mestinya haji adalah produk dari proses kualifikasi diri seeorang muslim yang ditempuh melalui rutinitas intens peribadatan-peribadatan yang lain, seperti shalat, zakat, puasa, dan — tentu saja — pada mulanya ikrar syahadatain.

 

Syahadat memfokuskan diafragma idealisme hidup. Shalat mencahayai kejernihan. Obyektivitas akal, keseimbangan mental, ketulusan hati dan ketenteraman jiwa. Zakat melatih kesadaran bahwa “susu kambing harus diperah untuk anak-anaknya atau makhluk lain”, karena dalam harta yang kita miliki terdapat milik orang lain. Puasa membuat manusia jadi pendekar kehidupan. Dan haji adalah madu dari semuanya.

 

Madu bukan makanan bukan minuman: di antara keduanya. Haji pun adalah titik sublim dari seluruh proses peribadatan dan tradisi baik manusia. Maka apakah haji seseorang mabrur atau tidak, jawaban pastinya ada di tangan Allah, karena dia yang punya otoritas tunggal untuk menerima atau menolak.

 

Tapi gejala kemabruran haji seseorang, bayangannya, pantulannya, barangkali bisa dijumpai pada output sosial seorang haji. Pertanyaan itu sederhana: apakah sesudah haji, ia adalah madu bagi tetangga-tetangganya, bagi orang lain, bagi masyarakat, bangsa dan negara?

 

‘Menjadi madu’ itu punya kemanfaatan sosial, produktif dan kreatif bagi kemaslahatan umum. Dalam hal ini saya tidak bersedia ‘ngrasani’ tentang kualitas madu haji-haji kita. Kaum haji adalah tingkat manusia yang semestinya paling pandai bercermin diri.

 

Haji dan Kesusahan

 

Tetapi dengan perspektif itu kita masing-masing bisa kembali mengevaluasi. Misalnya seberapa jauh atau seberapa dalam pengalaman haji seorang merupakan peristiwa agama. Dan seberapa jauh ia ‘hanya’ merupakan peristiwa sosial.

 

Kalau seorang ‘gugup’ menaruh gelar haji di depan namanya, ia semata-mata kasus sosial, bukan kasus agama. Apalagi kalau berhaji diinstrumentalisasikan untuk kepentingan politik pribadi, untuk aksesoris kultural, atau untuk menambah ‘peci’ reputasi.

 

Kita yang naik haji dengan fasilitas mewah, tentu identitas dan ragam pengalaman batin kita akan kalah dengan dibanding nenek moyang kita yang berhaji berbulan-bulan dengan kapal. ‘Penderitaan’ dalam perjalanan haji secara psikologis bias merupakan ‘asset’ dari kualitas penghayatan ibadah haji, meskipun agama tidak menganjurkan agar Anda hidup untuk mencari penderitaan.

 

Tetapi saya tidak tahu apakah kalau penderitaan para jamaah haji itu ‘disengaja’ oleh berbagai keputusan birokrasi resmi perjalanan haji — dari standar harganya yang makin tidak meringankan hingga jenis-jenis korupsi kecil-kecilan yang besar yang lain — akan membuat para birokrat kita memperoleh pahala. Hanya karena tindakan mereka bisa memungkinkan intensifikasi penghayatan kehajian para jamaah.

 

Tetapi saya memang pernah mendengar isi pidato birokrat haji: “Kalau saudara-saudara mengalami kesusahan-kesusahan selama proses akan naik haji, ambillah hikmahnya, karena di Tanah Suci nanti akan ada kesulitan yang lebih besar dan serius….”

 

Haji dan Kiai

 

Kadar peristiwa haji sebagai pengalaman agama dan pengalaman sosial biasa, mungkin bisa kita cari indikatornya juga dari makna sosiologi haji dengan kiai.

 

Ada ratusan ribu haji dan kita bisa ‘melupakannya’, sementara ada tidak banyak kiai namun kita tak bisa melupakannya. Secara kultural kiai lebih ‘berwibawa’ dan lebih menjanjikan kualitas hidup dibanding haji. Padahal haji adalah produk agama, sementara kiai adalah produk masyarakat.

 

Kalau seseorang disebut haji, itu hanya menginformasikan bahwa ia pernah melakukan ibadah haji ke Tanah Suci. Tapi kalau seseorang disebut kiai, ada berbagai dimensi yang dikandungnya: kesalehan, kepandaian, kealiman, kepribadian, dan mungkin juga kepemimpinan atau kapasitas-kapasitas fungsi dan reputasi sosial tertentu, yang mungkin sama sekali tak terasosiasikan ketika seseorang disebut haji.

 

Kenapa secara sosiologis haji ‘kalah wibawa’ dibanding kiai? Kenapa syarat dan konvensi keulamaan seseorang lebih diwakili idiom kiai dibanding haji? Kalau disebut H. Bur, tak begitu terdengar di telinga. Tapi kalau ditambah menjadi KH. Bur, baru orang mendongak. Kenapa?

 

Mungkin karena pada umumnya pengalaman haji berposisi diskontinyu dan mungkin irrelevan dengan tahapan-tahapan peningkatan kualitas kepribadian seseorang melalui proses Islamisasi diri dalam kehidupan nyata. Mungkin. []

 

Arsip dan dokumentasi Progress. Pernah dimuat di Majalah MATRA No 71, Juni 1992, halaman 68-69.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar