Rabu, 16 April 2014

(Ngaji of the Day) Ushul Fikih, Lahir setelah Diterapkan



Ushul Fikih, Lahir setelah Diterapkan
Penulis: M. Masyhuri Mochtar

Ilmu Ushul Fikih adalah ilmu tentang kaidah-kaidah atau bahasan-bahasan sebagai metodologi untuk memahami atau memperoleh hukum-hukum syariah yang bersifat praktis dari dalil-dalil yang rinci (tafshîli). Dengan kata lain Ushul Fikih adalah ilmu yang membahas unsur-unsur umum dalam prosedur mendeduksikan hukum-hukum Islam. Proses deduksi ini sangat luas sedemikian rupa sehingga mencakup setiap kejadian dan peristiwa dalam kehidupan manusia.

Melihat sejarahnya, ilmu Ushul Fikih mulai dikenal sejak Abad ke-2 H saat Imam asy-Syafi’i (150-204 H/767-820 M) berhasil menformulasikan metodologi penggalian hukum fikih melalui ar-Risâlah-nya. Meski demikian, pada dasarnya ilmu Ushul Fikih telah muncul bersamaan dengan Fikih itu sendiri, walaupun pembukuan ilmu Ushul Fikih lebih akhir dari Fikih. Sebab, saat Fikih dikaji maka secara tidak langsung dalam penggalian hukum akan menggunakan Ushul Fikih. Meskipun metode tersebut belum terkonsep secara matang. Bukan hanya di era mujtahidin, di masa Sahabat pun Ushul Fikih telah dikenal dan digunakan dalam Istinbâthul-Hukm.

Memang, awalnya Ushul Fikih hanya ditemukan dalam terapan konsep penggalian hukum, tidak berupa disiplin ilmu seperti sekarang. Nabi Muhammad e sebagai sumber syariah Islam kedua, adalah orang pertama yang menerapkan kaidah-kaidah dalam ilmu Ushul Fikih. Kemudian diteruskan oleh para pakar Fikih dari kalangan pembesar Sahabat seperti Abu Bakar t, Sayidina Ali t, Ibnu Mas’ud t dan Umar bin Khattab t. Mereka, dalam menfatwakan sebuah hukum bukan berarti tidak berstandar pada qayyid dan batasan-batasan tertentu. Sayidina Ali misalnya, pernah berpendapat mengenai hukuman bagi orang yang meminum minuman keras, “Bahwa ketika seorang meminum khamr, maka dia linglung, dan saat linglung dia qadzf (menuduh zina), maka dari itu orang yang meminum khamr wajib di had qadzf (hukuman bagi orang yang menuduh zina).” Penalaran Sayidina Ali ini adalah termasuk pandangan jauh kedepan yang akhirnya dikenal dengan konsep Sadzdzud-Darâ’i’ (preventif).

Juga Ibnu Mas’ud ketika ditanyakan perihal iddah perempuan yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil, beliau berkata, “Iddahnya dengan melahirkan.” Ibnu Mas’ud berargumen dengan al-Qur’an di surat ath-Thalaq ayat 04. Kemudian Ibnu Mas’ud mengatakan, “Aku bersaksi bahwa surat an-Nisâ’ul-Shughra (ath-Thalaq) diturunkan setelah surat an-Nisâ’ul-Kubrâ (al-Baqarah). Di sini Ibnu Mas’ud menggunakan konsep bahwa ayat yang turun kemudian dapat me-naskh atau men-takhsîsh hukum dari ayat yang turun sebelumnya. Walaupun ketika itu Ibnu Mas’ud tidak mengutarakan demikian.

Pasca Sahabat, muncul beberapa fuqaha’ dari Tabi’in, seperti halnya Sa’id bin Musayyib di Madinah, Alqamah dan an-Nakha’i di Iraq. Di mana, mereka dalam berfatwa semuanya berdasarkan al-Qur’an, Hadis dan pendapat para Sahabat. Namun, di antara mereka ada yang menggunakan standar kemaslahatan sebagai metode penggalian hukum ketika tidak menemukannya dalam al-Qur’an dan Hadis. Ada pula yang menggunakan qiyas (analogi), seperti Ibrahim an-Nakha’i dan fuqaha’ lain di Iraq.

Hingga pada Abad ke-2 H di mana kekuasan Islam semakin luas, persoalan demi persoalan muncul di tengah masyarakat. Di sinilah para pemikir Islam dituntut untuk berijtihad agar menghasilkan hukum yang berkembang sesuai dengan perkembangan zaman saat itu. Akhirnya, perbedaan konsep dan cara pandang dalam memutuskan persoalan dari beberapa mujtahid tidak bisa dielakkan. Perbedaan dan perdebatan terjadi antara para ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang ditempuhnya. Bukan saja antar ulama yang berbeda daerah tempat tinggal, ulama dalam satu kawasan pun kadang masih terjadi perbedaan.

Yang paling mengemuka adalah perbedaan cara pandang antara para pakar Fikih Madinah yang dikenal dengan Ahlul-Hadîts (Kelompok Pemegang Hadis) dan fuqaha’ Iraq yang dikenal dengan Ahlur-Ra’yi (Kelompok Rasionalis). Pelopor utama dari dua aliran ini adalah Imam Malik bin Anas untuk fuqaha’ Madinah dan Imam Abu Hanifah untuk fuqaha’ Iraq. Parahnya, dari masing-masing kedua aliran ini tidak memiliki metodologi yang sistematis dan konsisten, sehingga semakin menimbulkan keanekaragaman hasil pemikiran dan meruncingnya perbedaan pendapat.

Maka kita temukan misalnya, beberapa teori yang menjadi prinsip dalam aplikasi penggalian hukum yang dilakukan oleh Imam Hanafi. Di mana sumber primernya adalah al-Qur’an, kemudian Hadis, dan pendapat Sahabat yang telah disepakati, serta tidak mengambil hukum dari pendapat Tabi’in. Menurutnya, posisi Tabi’in sama dengan dirinya. Kemudian kita temukan juga medologi qiyâs (analogi) dan istihsân (menetapkan sebuah hukum atas dasar anggapan baik).

Sedangkan dari Imam Malik, terlihat konsistensinya dalam berpegang teguh kepada amal perbuatan penduduk Madinah. Juga penolakannya terhadap atsar-atsar yang dinisbatkan pada Nabi, yang karena atsar itu berbeda dengan nash yang terdapat dalam al-Qur’an. Maka itu, Imam Malik menolak tegas terhadap Hadis tentang penjilatan anjing di suatu wadah sehingga harus dibasuh sebanyak tujuh kali. Karena menurutnya hadits tersebut bertentangan dengan nash al-Qur’an. Juga penolakannya terhadap Hadis tentang adanya khiyâr majlis (bolehnya membatalkan transaksi jual beli selama kedua pihak masih berada di tempat transaksi). Perbedaan prinsip dalam penggalian hukum seperti inilah yang akhirnya melahirkan perbedaan dalam berbagai produk hukum yang dihasilkan oleh para ulama.

Pada akhirnya, dari sekian perbedaan cara pandang itu muncullah semacam komparasi dua aliran di atas dan memadukannya dalam sebuah konsep. Adalah Imam Syafi’i melalui karya monumentalnya, ar-Risâlah mampu memadukan antara dua konsep penggalian hukum dari dua aliran di atas. Dengan kemampuan dan pengalaman yang dimilikinya, asy-Syafi’i menertibkan perbedaan pemahaman tersebut dengan memperkenalkan sebuah metodologi yang sistematis dan konsisten serta menempatkan kedua aliran itu secara proporsional. Hal ini bisa ia lakukan, karena latar belakang Imam asy-Syafi’i yang pernah belajar dengan guru yang beraliran Ahlul-Hadîts (Imam Malik) dan yang beraliran Ahlur-Ra’yi. Dari sinilah kemudian dikenal dengan adanya ilmu baru dalam Islam, yakni ilmu Ushul Fikih.

Dengan upaya ini, tidak heran jika kemudian Imam asy-Syafi’i dikenal sebagai orang yang telah memadukan kedua aliran ini. Di satu sisi beliau telah merumuskan logika hukum di balik teks-teks al-Qur’an dan Hadis; dan di sisi lain ia juga telah menempatkan posisi Hadis sahih secara proporsional, yakni sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an, walaupun tidak selaras dengan amal yang dipraktekkan penduduk Madinah. Berbeda dengan Imam Malik yang menyatakan bahwa Hadis sahih bisa ditolak jika tidak selaras dengan amal yang dipraktekkan oleh penduduk Madinah.

Lahirnya ilmu Ushul Fikih sebagai metodologi untuk menggali hukum Fikih justru setelah lahirnya ilmu Fikih bukanlah sesuatu yang aneh. Sebab, dalam beberapa disiplin ilmu Islam banyak juga terjadi demikian. Artinya, sebuah konsep ilmu memang seringkali baru lahir setelah sekian lama diterapkan oleh manusia. Ilmu Nahwu misalnya, kelahirannya jauh lebih akhir dari pada penggunaan tata bahasa yang benar dalam bahasa Arab. Begitu juga ilmu tata syair (‘Arûdh). Syair-syair Arab sudah bermunculan sebelum al-Khalil bin Ahmad merumuskan ilmu ‘Arûdh. Begitu juga, manusia sudah mampu berargumen dengan menggunakan nalar rasional sebelum Aristotels menemukan Ilmu Mantik, atau logika. Karena, disiplin ilmu pengetahuan rata-rata memang hanyalah rumusan terhadap pengalaman-pengalaman yang terjadi sebelumnya. []

Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan – Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar