Jumat, 04 April 2014

Kang Komar: Agama dan Politik



Agama dan Politik
Oleh: Komaruddin Hidayat

Tak terhitung lagi berapa jumlah buku dan artikel yang membahas hubungan antara agama dan politik. Isu ini selalu jadi bahan diskusi yang tak kunjung selesai dari dekade ke dekade baik di Barat maupun di Timur.

Isu ini bahkan mempunyai akar kesejarahan ke abad-abad lalu. Sebuah teori mengatakan, politik pada awalnya dilahirkan oleh agama. Misi Rasul Tuhan dengan agama yang dibawa pada urutannya membentuk jejaring kekuasaan untuk menyebarkan dan mewujudkan doktrinnya. Ini berarti agama mesti memiliki kekuasaan politik.

Kekuasaan politik yang dilahirkan agama ini semakin diperlukan ketika gerakan keagamaan menghadapi musuh yang merasa terancam oleh gerakan kenabian. Karena itu, para Rasul Tuhan selalu dihadang dan diancam oleh rezim kekuasaan yang ada. Tak mengherankan makanya ketika membaca kisah Ibrahim, Musa, Jesus, dan Muhammad yang berhadapan secara frontal dengan rezim tiran yang menindas rakyat. Sebuah kekuasaan politik mesti dihadapi dengan kekuasaan politik. Jadi, punya alasan logis-historis bahwa agama dan politik tak bisa dipisahkan.

Dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad setelah pindah ke Madinah lalu menyusun kontrak sosial politik yang dikenal dengan nama Piagam Madinah. Salah satu warisan budaya yang sangat fenomenal yang diwariskan Nabi Muhammad adalah komunitas politik religius yang berpusat di Madinah yang terus dijaga dan diwariskan dari generasi ke generasi dengan berbagai inovasi dan deviasinya. Di Barat pun tak jauh berbeda.

Negara Vatikan meskipun sebagai institusi moral-keagamaan, tak pernah lelah memberikan perhatian dan pesan moral pada kehidupan politik ketika politik dinilai telah merendahkan derajat kemanusiaan dan menjadi sumber perang. Jadi, agama dan politik tidak mungkin dipisahkan. Para biksu Buddha di Thailand pun sekali-sekali terlibat dalam gerakan politik dengan membawa pesan moral keagamaan.

Rasanya, tak mungkin politik steril dari agama. Hanya format hubungannya yang mengalami perbedaan dan perubahan dari zaman ke zaman, berbeda antara negara yang satu dan yang lain. Baik agama maupun politik pada awalnya mulia dan suci, tujuannya untuk mengangkat harkat-derajat kemanusiaan didasarkan pesan-pesan Ilahi. Namun, dalam perjalanannya panggung politik jadi ajang perebutan kekuasaan dengan mengkhianati pesan mulia agama.

Agama dan politik lalu dipisahkan secara tegas. Agama ditempatkan pada wilayah pribadi, paling jauh wilayah komunal, lalu politik melekat pada wilayah negara dan pemerintahan. Agama jangan lagi mencampuri politik dan negara. Namun, di Indonesia tidak sejauh itu yang terjadi, negara bahkan memberikan dukungan, pengakuan, dan perlindungan pada agama. Hanya, posisi agama tidak lagi punya wibawa dan pengaruh efektif sebagaimana zaman keemasan agama ketika melahirkan komunitas sebagaimana masa Nabi Muhammad di Madinah.

Dunia telah berubah. Sosok suci seorang Nabi tak lagi ada. Masyarakat dunia mungkin telah merasa dewasa dengan warisan agama para Rasul Tuhan dan dukungan iptek yang dibangunnya. Yang kadang membuat sedih adalah ketika ajaran agama lalu dipelintir dan dimanipulasi sebagai instrumen perebutan kekuasaan politik, bukan sebagai rujukan etika berpolitik. Sampai di sini posisi dan hubungan antara agama dan politik menjadi berbalik.

Bukan agama membimbing bagaimana berpolitik yang anggun dan terhormat, melainkan agama dibajak dijadikan jampi-jampi politik. Agama yang tegas mengajarkan hidup bersih antikorupsi, tetapi banyak orang yang selalu mengusung simbol dan identitas agama telah melakukan korupsi. Agama lalu kehilangan ethosdan daya dobraknya dalam memberantas korupsi, melainkan ajarannya dikonstruksi sedemikian rupa sehingga pemahaman dan pengamalan agama dijadikan mekanisme penyucian dosa dari korupsi.

Sebuah pemahaman yang jelas tidak berdasar pada ajaran dasar agama. Berbagai tindakan pidana ingin diputihkan dengan zikir-zikir dan ritual keagamaan, sebuah paham dan praktik keagamaan yang justru merusak martabat agama. []

KORAN SINDO, 21 Maret 2014
Komaruddin Hidayat ; Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar