Senin, 07 April 2014

Kang Sobary: Jangan Rebut Kursi Orang



Jangan Rebut Kursi Orang
Oleh: Mohamad Sobary

Jamal D Rahman menjadi komandan garis depan, sekaligus garis belakang dan penanggung jawab urusan dapur, bagi terbitnya sebuah buku sastra, dengan judul yang menggambarkan ungkapan positivistis, seperti cara para motivator memandang dunia: 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh.

Di sana tak dikatakan tapi terasa, dan tampak, pengaruh psikologis para motivator, yang secara tersirat menggambarkan adanya gairah untuk bekerja sedikit, tapi ingin memperoleh hasil sangat besar. Semangat itu bisa pula membuat hidup manusia yang kompleks, bertakik-takik, mendalam sekali dan ruwetnya minta ampun itu, berubah mendadak, dengan begitu mudahnya, hanya dengan kata-kata. Latihan dasarnya seperti model komunikasi di taman kanak-kanak.

Kita ditanya, seolah sambil lalu: apa kabar? Dan kita harus menjawab: luaaaar biasa. Tapi di balik kata-kata itu sebetulnya terdapat suatu ambisi besar, agar—seperti sudah disebutkan di atas—dalam hidup kita terjadi suatu perubahan luar biasa, hanya dengan kata-kata belaka. Orang percaya—atau diminta percaya—akan adanya mukjizat besar: kata-kata dinaikkan derajatnya menjadi ”mantra”, dan kekuatan supranatural ”mantra” itu disucikan menjadi ”doa”, dan ”doa” diubah menjadi ”sabda” yang memiliki pengaruh, mendekati kekuatan sabda langit: ”kun fa ya kun”.

Betapa mudahnya hidup dalam cara pandang dan kerangka berpikir seperti itu. Dan Jamal pun meneladani, dan mengambil oper segenap proses yang sederhana dan mudah itu. Dalam pengantarnya, Jamal menyebutkan pemilihan 33 tokoh sastra ini memiliki semangat membangun kebudayaan Indonesia yang lebih bermartabat. Dia berusaha meyakinkan kita—dengan mengulang pernyataan di atas— bahwa pemilihan 33 tokoh itu memiliki arti penting dalam usaha menempatkan sastra dalam memperjuangkan martabat kebudayaan Indonesia yang lebih tinggi.

Dalam sepanjang lintasan sejarah hidupnya, belum pernah sastra Indonesia berani memanggul— atau mau dibebani— misi suci seperti ini. Saya pun menjadi lega, sebab selama ini saya tak tahu sama sekali, bagaimana akan jadinya nasib kebudayaan Indonesia kalau buku ini tidak terbit. Segala puji bagi Tuhan, karena buku ini muncul sebagai solusi bagi kusutnya persoalan besar kebudayaan Indonesia. Kita pun mencatat, dengan tinta emas, bahwa kebudayaan Indonesia betulbetul bersyukur, dan secara khusus berutang budi, pada tim 8, di bawah komando Jamal D Rahman.

Meskipun sudah sangat jelas, begitu besar jasa tim tersebut, kalau Jamal, atau Bung Denny JA mengundang saya menjadi salah satu anggota tim tadi, niscaya saya akan bersikap kerasmempersoalkan, mengapa hanya memilih 33 tokoh? Mengapa tidak 99, atau cukup 11, supaya simbol keramatnya mengingatkan kita pada struktur untaian biji-biji tasbih, yang dihubungkan dengan 99 asma Allah? Apa karena jumlah 99 akan mengesankan panitia bersikap terlalu murah hati, dan mengendurkan persyaratan, yang pasti sangat ketat, untuk menempatkan 33 tokoh tadi?

Kalau 33 dianggap sudah ketat, mengapa tidak 11, yang jelas pasti lebih ketat lagi dan lebih berorientasi pada kualitas, sehingga orang akan tahu, para tokoh itu muncul melalui proses seleksi yang sangat ketat ? Bagi orang-orang serius yang memilih 11, pilihan 33 itu tanggung. Dan kalau pada akhirnya mereka yang sungguh-sungguh itu memandang bahwa memilih 11 tokoh ternyata masih kurang serius, kurang ketat, maka mengapa tidak memilih hanya 1 tokoh, untuk dijatuhkan pada Bung Denny JA?

Bukankah konsultan politik ini sudah sukses besar dalam politik pemilihan pemimpin, dan ingin tampil dalam dunia sastra? Dia sudah menulis satu buku, untuk membuktikan kerja sedikit membawa hasil besar yang disebut di atas? Jamal, sebagai komandan, telah berhasil mengomando tim 8, untuk menerapkan resep mujarab dunia kaum motivator, yang ingin setiap detik ada perubahan luar biasa. Sebanyak 32 tokoh sastra, yang hidup dan berjuang sejak abad ke-19 hingga abad ke-21 ini, sudah berjuang gigih membela kebudayaan, dan selama itu tak ada yang menyadari kehadiran mereka selain tim 8 ini.

Misi tim ini untuk mengumumkan pada dunia bahwa kehidupan dunia sastra Indonesia itu demikian dinamis, progresif, dan sangat revolusioner, karena satu orang pemula, yang hanya menulis sebuah buku, secara mendadak telah sama dan sejajar dengan mereka, para leluhur, para pendahulu, para senior, yang sudah wafat maupun yang masih hidup di tengah kita. Saya bergaul juga dengan para sastrawan. Tidak ada informasi mengenai bagaimana sukacitanya, dan setinggi apa kebanggaan 33 tokoh yang diposisikan sebagai ”paling berpengaruh” itu, setelah nama dan karya mereka diabadikan di dalam buku suci kaum sastrawan ini.

Saya pernah menduga, mungkin banyak sastrawan yang ”ngiler’ untuk masuk ke dalam catatan sejarah prestasi yang dahsyat ini. Tap saya kaget ketika mendengar ada sejumlah sastrawan lain yang memuji syukur kepada Allah SWT karena nama mereka tak diutik-utik oleh tim 8, sehingga mereka bebas dari beban menjadi yang ”terpilih”. Rupanya persoalan ini berkembang menjadi ruwet. Ada yang tidak rela, bukan karena namanya tak terpilih, melainkan karena rasa keadilan dan kepantasan terinjak-injak dengan terbitnya buku ini.

Kualitas sastrawan bukan hanya terletak di dalam karya-karyanya, melainlan juga di dalam ”laku” hidupnya sehari-hari, yang ditempuh dengan penuh kegembiraan karena pergulatannya yang intens, mendalam, dengan nilai-nilai, dengan tradisi, dengan sesama manusia, yang memancarkan semangat kesetaraan, persaudaraan dan perbedaan-perbedaan yang memperkaya kehidupan. Kualitas hidup seperti ini tak bisa ditempuh dengan jalan pintas, dan dadakan.

Intensitas, dan keberanian mereka untuk hidup seadanya, tak mungkin dicapai hanya dengan menjeritkan ”mantra”: luaaarrbiasa tadi. Rata-rata sastrawan itu humanis, dan dermawan kalau kebetulan punya duit. Tapi sayang, mereka jarang punya. Tapi itu tak terlalu menjadi persoalan. Buku ini menjadi masalah karena rasa keadilan dilanggar tadi. Penyelesaiannya mungkin sederhana. Bung Denny JA, jadilah sastrawan beneran, bersikap dermawan, dan biayai pencetakan buku baru, cetakan kedua, yang di dalamnya nama Anda sudah tak ada lagi.

Kirimkan buku-buku itu kesemua sekolah ditanah air, ke orang-orang terkemuka, ke tokoh-tokoh, ke ormas-ormas sosial keagamaan, ke partaipartai politik, dan perpustakaan perpustakaan yang jelas siap menerimanya. Sekali lagi, nama Anda tak terdapat lagi di dalamnya, tapi tiap saat, anda menulis esai, puisi, atau novel, naskah drama atau film, dan sesudah bertahun-tahun

Anda bergulat di dunia sastra, niscaya Anda akan merasakan bahwa kebutuhan untuk disebut ”tokoh sastra paling berpengaruh” itu kelak akan terbukti tidak penting, tidak menarik, dan tidak ada gunanya, karena pergulatan hidup Anda yang panjang, serius, dan mendalam di bidang sastra itu kelak akan membisikkan pada Anda sendiri bahwa bukan nama, bukan julukan, melainkan jasa dan kualitas serta ketulusannya yang jauh lebih penting.

Biarkan tim demi tim, jumlahnya 8 atau berapa, memilih nama-nama tokoh sastra, dan memanggul-manggul mereka ke langit, Anda sebaiknya tak usah ikut, karena bukankah pengabdian di bidang sastra atau kebudayaan tidak dimaksudkan untuk memperoleh nama dan pujian? Bukankah dalam darma hidup yang ruwet dan banyak godaannya itu, munculnya nama sering menjadi simbol pamrih-pamrih, yang membikin hambar makna dan kualitas darma kita?

Nama dan jasa boleh saja dimunculkan, tapi akan mulia bila kita menempuh kemunculan ”alamiah”, dan tak menggeser orang-orang lain dari posisi mereka. Kursi kosong masih banyak. Jangan ”timpe”kursi orang supaya kita tak merusak harmoni kehidupan. []

KORAN SINDO, 24 Maret 2014
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar