Rabu, 30 April 2014

Gus Dur: Islam, Perjuangan Etis ataukah Ideologis?



Islam: Perjuangan Etis ataukah Ideologis?
Oleh: KH Abdurrahman Wahid

Pada suatu pagi selepas olahraga jalan-jalan, penulis diminta oleh sejumlah orang untuk memberikan apa yang mereka namakan “petuah”. Saat itu, ada Kyai Aminullah Muchtar dari Bekasi, sejumlah aktivis NU dan PKB dan sekelompok pengikut aliran kepercayaan dari Samosir. Dalam kesempatan itu, penulis mengemukakan pentingnya memahami arti yang benar tentang Islam. Karena ditafsirkan secara tidak benar, maka Islam tampil sebagai ajakan untuk menggunakan kekerasan/terorisme dan tidak memperhatikan suara-suara moderat. Padahal, justru Islam-lah pembawa pesan-pesan persaudaraan abadi antara umat manusia, bila ditafsirkan secara benar.

Pada kesempatan itu, penulis mengajak terlebih dahulu memahami fungsi Islam bagi kehidupan manusia. Kata al-Qurân, Nabi Muhammad Saw diutus tidak lain untuk membawakan amanat persaudaraan dalam kehidupan (wa mâ arsalnâka illâ rahmatan lil ‘âlamîn) (QS al-Anbiya [21]:107), dengan kata “rahmah” diambilkan dari pengertian “rahim” ibu, dengan demikian manusia semuanya bersaudara. Kata “’alamîn” di sini berarti manusia, bukannya berarti semua makhluk yang ada. Jadi tugas kenabian yang utama adalah membawakan persaudaraan yang diperlukan guna memelihara keutuhan manusia dan jauhnya tindak kekerasan dari kehidupan. Bahkan dikemukakan penulis, kaum muslimin diperkenankan menggunakan kekerasan hanya kalau aqidah mereka terancam, atau mereka diusir dari tempat tinggalnya (idzâ ukhriju min diyârihim).

Kemudian, penulis menyebutkan disertasi doktor dari Charles Torrey yang diajukan kepada Universitas Heidelberg di Jerman tahun 1880. Dalam disertasi itu, Torrey mengemukakan bahwa kitab suci al-Qurân menggunakan istilah-istilah paling duniawi, seperti kata “rugi”, “untung” dan “panen”, untuk menyatakan hal-hal yang paling dalam dari keyakinan manusia. Umpamanya saja, ungkapan “ia di akhirat menjadi orang-orang yang merugi (perniagaannya) (wa huwa fil âkhirati minal khâsirîn)” (QS Ali Imran [3]:85). Begitu juga ayat lain, “menghutangi Allah dengan hutang yang baik (yuqridhullâha qardhan hasanan)” (QS al-Baqarah [2]:245), serta ayat “barang siapa menginginkan panen di akhirat, akan Ku-tambahi panenannya (man kâna yurîdu hartsal âkhirati nazid lahû fi hartsihi)” (QS al-Syûra [42]:20).

****

Dalam uraian selanjutnya, penulis mengemukakan pengertian negara dari kata “daulah”, yang tidak dikenal oleh al-Qur’an. Dalam hal ini, kata tersebut mempunyai arti lain, yaitu “berputar” atau “beredar”, yaitu dalam ayat “agar harta yang terkumpul itu tidak berputar/beredar antara orang-orang kaya saja di lingkungan anda semua (kailâ yakûna dûlatan bainal aghniyâ’i minkum)” (QS al-Hasyr (59):7). Ini menunjukkan yang dianggap oleh al-Quran adalah sistem ekonomi dari sebuah negara, bukan bentuk dari sebuah negara itu sendiri. Jadi, pembuktian tekstual ini menunjukkan Islam tidak memandang penting bentuk negara. Atau, dengan kata lain, Islam tidak mementingkan konsep negara itu sendiri.

Dapat disimpulkan dari uraian di atas, Islam lebih mengutamakan fungsi negara dari pada bentuknya. Dalam hal ini, bentuk kepemimpinan dalam sejarah Islam senantiasa mengalami perubahan. Bermula dari sistem prasetia (bai’at) dari suku-suku kepada Sayyidina Abu Bakar, melalui pergantian pemimpin dengan penunjukkan dari beliau kepada Sayyidina Umar, diteruskan dengan sistem para pemilih (ahlul halli wal aqdi) baik langsung maupun tidak, diteruskan dengan sistem kerajaan atau keturunan di satu sisi dan kepala negara atau kepala pemerintahan dipilih oleh lembaga perwakilan, serta memimpin melalui coup d’etat di sementara negara, semuanya menunjukkan tiadanya konsep pergantian pemimpin negara secara jelas dalam pandangan Islam.

Demikian juga, Islam tidak menentukan besarnya negara yang akan dibentuk. Di zaman Nabi Saw, negara meliputi satu wilayah kecil saja –yaitu kota Madinah dan sekitarnya, diteruskan dengan imperium dunia di masa para khalifah dan kemudian Dinasti Umaiyyah dan Abbasyiah. Setelah itu, berdirilah kerajaan-kerajaan lokal dari Dinasti Murabbitîn di barat Afrika hingga Mataram di Pulau Jawa. Kini, kita kenal dua model; model negara-bangsa (nation state) dan negara kota (city state). Keadaan menjadi lebih sulit, karena negara kota menyebut dirinya negara-bangsa, seperti Kuwait dan Qatar.

****

Dengan tidak jelasnya konsep Islam tentang pergantian pemimpin negara dan bentuk negara seperti diterangkan di atas, boleh dikatakan bahwa Islam tidak mengenal konsep negara. Dalam hal ini, yang dipentingkan adalah masyarakat (mujtama’ atau society), dan ini diperkuat oleh penggunaan kata umat (ummah) dalam pengertian ini. Sidney Jones mengupas perubahan arti kata "umat Islam" dalam berbagai masa di Indonesia, yang diterbitkan di jurnal Indonesia Universitas Cornell di Ithaca, New York, beberapa tahun lalu. Semuanya menunjuk pada pengertian masyarakat itu, baik seluruh bangsa maupun hanya para pengikut gerakan-gerakan Islam di sini belaka.

Dengan demikian, pendapat yang menyatakan adanya pandangan tentang negara dalam Islam, harus diartikan ada pandangan agama tersebut tentang masyarakat. Ini semua, akan membawa konsekuensi tiadanya hubungan antara Islam sebagai ideologi politik dan negara. Dengan kata lain, Islam mengenal ideologi sebagai pegangan hidup masyarakat, minimal berlaku untuk para warga gerakan-gerakan Islam saja. Jadi negara dapat saja didirikan tanpa ideologi Islam, untuk menyantuni hak-hak semua warga negara di hadapan Undang-Undang Dasar (UUD), baik mereka muslim maupun non-muslim.

Tanpa menyadari hal ini, kita secara emosional akan mengajukan tuntutan akan adanya sebuah ideologi Islam dalam kehidupan bernegara. Ini berarti, warga negara non-muslim akan menjadi warga negara kelas dua, baik secara hukum maupun dalam kenyatan praktis. Padahal Republik Indonesia tanpa mengunakan ideologi agama secara konstitusional dalam hidupnya, berhasil menghilangkan kesenjangan itu. Dengan demikian, terjadilah proses alami kaum muslimin memperjuangkan 'ideologi masyarakat' yang mereka ingini melalui penegakkan etika Islam, bukannya ideologi Islam. Bukankah ini lebih rasional?

*) Diambil dari Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, 2006 (Jakarta: The Wahid Institute). Tulisan ini pernah dimuat di Kedaulatan Rakyat, 30 April 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar