Selasa, 29 April 2014

(Ngaji of the Day) Urgensi Ilmu Nahwu dalam Penurunan Wacana Publik Keislaman



Urgensi Ilmu Nahwu dalam Penurunan Wacana Publik Keislaman

Nahwu, biasa dikenal oleh kalangan santri sebagai bagian ilmu alat, adalah ilmu yang sangat fundamental untuk dikuasai jika kita ingin mempelajari Islam dari literatur-literatur yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantarnya, baik klasik maupun modern.

Dikatakan sebagai alat karena kegunaan ilmu adalah sebagai perangkat membaca, memahami dan memaknai dari bahasa nativenya, bahasa Arab, ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing lainnya. Kalangan antropolog menyebutkan jika penguasaan bahasa asli adalah hal sangat penting dalam memperkuat kredibilitas sebuah hasil ilmu atau hasil riset. Mereka memasukkan masalah ini sebagai bagian dari the politics of nativeness. Dengan kata lain, ilmu Nahwu adalah wasā’il menuju pengetahuan yang mendekati kepada kebenaran. Kenapa saya sebut sebagai “mendekati kebenaran,” karena kebenaran Nahwiyyah adalah kebenaran pengetahuan yang bersifat aturan kebahasaan, sementara masih ada jenis kebenaran lain yang didapatkan oleh ilmu atau cara lain juga.

Namun, jika kita beri peringkat, kebenaran yang dihasilkan oleh Nahwu adalah kebenaran yang sangat tinggi derajatnya karena dengan ilmu ini pemaknaan pertama atas sumber-sumber Islam –al-Qur’an dan Sunnah—bisa didapatkan. Meskipun sekolah-sekolah Islam juga mengajarkan Nahwu, namun ilmu ini diajarkan secara lebih mendalam di dalam lingkungan pesantren. Itupun masing-masing pesantren melakukannya secara berbeda-beda pula. Pesantren-pesantren tradisional (salaf) biasanya mengajarkan kitab-kitab Nahwu yang tingkatannya lebih rumit dan sulit dibandingkan dengan pesantren-pesantren modern (khalaf). Kitab-kitab nahwu yang diajarkan di pesantren tradisional misalnya mulai dari al-Jurūmiyyah, Imriṭī, lalu Alfiyyah Ibn Mālik. Sementara pesantren modern biasanya mengajarkan kitab-kitab seperti Nahwu al-Wāḍiḥ, Jāmiʿu al-Durūs fī al-Lughat al-ʿArabiyya, dan lain-lainnya.

Dengan kata lain, referensi-referensi Nahwu yang diajarkan di pesantren salaf –biasanya dimiliki dan diasuh oleh kyai-kyai Nahdlatul Ulama-- biasanya adalah kitab-kitab lama (klasik), sementara pesantren khalaf lebih memilih kitab-kitab Nahwa baru, atau yang terkini.

Tapi baik belajar dengan kitab lama maupun baru sejatinya yang paling penting di sini adalah kemauan untuk belajar dan berusaha menguasai ilmu ini. Jika tidak menguasai seluruhnnya, sebagianlah yang perlu dikuasasi. Meskipun ilmu Nahwu sangat penting, banyak dari kalangan kita yang sudah mendedikasikan hidupnya menjadi santri, ustadz, pendakwah dan lain sebagainya, tidak memiliki pemahaman yang cukup akan ilmu ini.

Hal yang paling menyedihkan banyak pengajar Islam publik kita, di Mushalla dan TV-TV, yang awam dengan teori-teori Nahwu. Untuk berdakwah memang tidak diwajibkan untuk menguasai Nahwu, namun dalam dakwah diwajibkan untuk menyampaikan kebenaran meskipun pahit. Menyampaikan kebenaran dengan benar adalah jika sang penyampai mengerti alatnya. Perlu diingat di sini bahwa tidak semua orang yang bisa membaca aksara Arab seperti membaca al-Qur’an menguasai ilmu ini. Mampu dan tidaknya penguasaan ilmu Nahwu ini bisa dilihat dari bagaimana dia atau mereka mampu membaca dan memaknai kitab-kitab yang dalam bahasa keseharian kaum santri disebut kitab kuning.

***

Harus diakui bahwa ilmu Nahwu memang merupakan cabang yang susah selain ilmu-ilmu lain yang sejenis seperti Ṣaraf, Balaghah, dan Mantiq. Untuk tahu ilmu ini, butuh kejelian, hafalan yang kuat, dan analisa yang mendalam. Masih ingat bahwa kita –saya dan teman-teman—di madrasah dulu sering menghindari dan berkeluh kesah tentang betapa sulitnya memahami apalagi menerapkan ilmu Nahwu untuk membaca kitab-kitab berbahasa Arab. Ada yang hafal di luar kepala teori-teori Nahwu, namun untuk menerapkan terkadang masih sulit. Bahkan ada yang bisa menghafal kitab Nahwu Alfiyah Ibn Mālik secara sungsang (dari belakang ke depan) namun tetap saja terkadang masih memiliki kesulitan untuk menggunakannya dalam membaca teks Arab terutama yang klasik.

Sebagaimana perlu diketahui bahwa menghafal sungsang adalah salah satu cara pamer kebolehan dalam mempelajari ilmu Nahwu. Namun, belajar Nahwu tidak cukup dengan menghafal, tapi harus memahami. Kalau boleh melakukan kritik, kelemahan pembelajaran Nahwu di pesantren adalah penitikberatannya pada model hafalan, bukan pemahaman. Meskipun tujuan pertama dalam penghafalan adalah untuk menuju pemahaman, namun seringkali karena terlalu banyak “load” menghafalnya sehingga aspek memahinya terkurangi bahkan terabaikan.

Hal ini terutama terjadi pada pesantren-pesantren yang sudah mengadopsi banyak mata pelajaran di dalam sistem kurikulum mereka. Namun kesulitan menguasai ilmu Nahwu tersebut sangat sepadan dengan fungsi dan manfaat ilmu ini sendiri dimana tanpa penguasaan atasnya hampir mustahil seseorang bisa memahami al-Qur’an, Sunnah dan sumber-sumber Islam secara keseluruhan dan mendalam. Penguasaan teori-teori rumit dalam kitab-kitab Nahwu yang diajarkan di pesantren tradisional memiliki garis sejajar dengan penguasaan masalah-masalah agama yang tercantum di dalam kitab Suci dan Sunnah Nabi serta peninggalan ulama-ulama masa lalu.

Kita tahu bahwa struktur gramatik bahasa Arab yang dipakai oleh al-Qur’an tidak akan cukup dibaca dengan kitab-kitab Nahwu yang simpel seperti al-Jurūmiyyah ataupun Nahw al-Wāḍiḥ. Penguasaan Nahwu juga menjadi parameter kadar keulamaan seseorang. Karenanya, jangankan ketahuan membaca kitab-kitab terjemahan, karena ini tindakan pemalas, seorang santri atau bahkan ustadz kredibilitasnya bisa runtuh gara-gara hanya salah membaca harakat (tanda baca) di akhir kata (iʿrab) misalnya bagaimana misalnya membaca isim alam (nama-nama benda/alam) seperti kata Ibrāhim atau isim tafḍīl (bentuk lebih atau paling) setelah huruf jer ilā (huruf yang bisa menyebabkan bacaan kasrah pada Isim) dan kasus-kasus lain.

Hal seperti ini cukup bisa dipahami karena memang memahami al-Qur’an dan Sunnah Nabi harus dilakukan bukan dengan cara main-main (hawa nafsu), tanpa ilmu, namun harus secara ilmiah. Salah satu cara yang ilmiah itu adalah jika pemahaman akan sumber-sumber utama Islam tersebut didasarkan pada tradisi keilmuan (turāth) yang mapan yang sudah dibangun secara panjang oleh kalangan ulama masa lalu.

***

Selain ilmu Nahwu, kedudukan ilmu lain juga penting dalam mengkaji Islam, namun jika seseorang ingin menjadikan atau mengaku dirinya sebagai ahli atau ʿalim dalam Islam, mau tidak mau harus mau belajar, mengenal dan menguasai ilmu Nahwu supaya pemahamannya tidak separuh-separuh dan juga tidak sesat menyesatkan. Pemahaman teks-teks agama tanpa ilmu-ilmu yang memadai bisa menjerumuskan dirinya sendiri dan juga orang lain. Bahkan menafsirkan hal-hal penting dalam Islam seperti syariah, fiqih, akidah, dengan modal bahasa Arab yang pas-pasan atau apalagi modal terjemahan dan ilmu rungon (mendengarkan) bisa menyebabkan seseorang tersebut, meskipun itu ustadz atau pun pendakwah, jatuh pada sikap liberalisme (asal-asalan) pada satu sisi dan sikap fanatisme yang berlebihan pada sisi lainnya.

Hal yang menyedihkan, dalam konteks public sphere kita, adalah kenyataan dimana tidak hanya orang awam, namun ustadz, pendakwah, dan juga para aktivis Islam masa kini tidak tahu sama sekali apalagi memahami ilmu ini. Pengetahuan Islam mereka lebih banyak tergantung pada buku-buku terjemahan yang kualitas pengalihbahasaannya seringkali sangat rendah daripada pada sumber Islam yang asli yang berbahasa Arab. Fenomena yang lebih aneh lagi yang akhir-akhir ini menggejala adalah jika ada orang yang berusaha menjelaskan Qur’an atau wacana keagamaan Islam lainnya lewat pendekatan Nahwiyyah atau keilmuan lain yang memang sangat memungkinkan terciptanya tafsir-tafsir yang berbeda-beda, mereka atau aktivis-aktivis Islam yang masih awam tersebut sering menganggap penjelasan yang njelimet, rumit dan penuh perdebatan dari pelbagai analisis kebahasaan Nahwiyyah tersebut sebagai bentuk pemahamanan liberalisme Islam.

Padahal yang terjadi adalah mereka tidak mampu atau tidak memiliki alat untuk bisa sampai pada penjelasan-penjelasan Nahwiyyah tersebut. Gejala beragama cepet saji dan ingin simplenya saja ini sudah barang tentu sangat menyedihkan untuk masa depan pengembangan Islam sebagai ilmu. Islam itu bisa bertahan, jika agama ini tidak hanya ditopang oleh praktik keagamaan umatnya, namun juga oleh argumentasi yang rasional. Bahkan bisa dikatakan, tantangan Islam terbesar pada abad ini dan mendatang adalah kemampuan umatnya untuk menyediakan argument bahwa agama ini memang ṣāliḥ li kulli zamān wa makān.

Berargumen dengan Nahwu adalah salah satu upaya untuk mempertahankan keislaman. Apa yang ingin saya tekan di sini adalah secara umum, fenomena pemahaman keagamaan yang instans dan simplistik tersebut itu terkait erat dengan krisis akan tingkat pengetahuan masyarakat Islam awam dan juga aktivis-aktivisnya secara khusus atas ilmu Nahwu pada satu sisi dan juga penurunan kualitas pewacanaan Islam di ruang publik secara umum pada sisi yang lainnya. Lihat saja bagaimana media kita yang cenderung simplistik dalam dalam menyajikan program agama dengan dalih apa saja misalnya “pemurnian.”

Padahal apa yang terjadi adalah mereka lebih senang mencari penceramah agama di TV-TV mereka yang berorientasi budaya cepat saji untuk memenuhi rasa dahaga atau lapar sementara yang menghinggapi kalangan sebagaian kalangan Muslim, terutama kalangan kota. Agama hanya dibicarakan pada sisi kepentingan peningkatan “piety,” tapi melupakan sisi keilmuan.

Hasil dari model pewacanaan keagamaan Islam yang demikian adalah keluaran masyarakat yang suka menyederhanakan dan memposisikan agama laksana obat gosok (panacea). Mereka ini tidak tahu atau pura-pura tidak tahyu bahwa di dalam wacana agama ada juga ada perdebatan-perdebatan yang rumit dan sekaligus scientific yang perlu diketahui oleh masyarakat kebanyakan karena perdebatan inilah yang menjadi bagian penting dalam argumentasi agama.

Dengan mengetahui perdebatan-perdebatan Nahwiyyah, proses demokratisasi pemahaman agama juga akan terjadi di dalam masyarakat. Karenanya, apa yang bisa kita lakukan pada tradisi keagamaan Islam yang terlanju demikian seperti ini tidak ada kata lain kecuali melakukan perubahan. Intinya, jika ingin mendalam dalam penguasaan Islam, maka alatnya harus cukup dan ilmu Nahwu menduduki posisi utama dalam masalah ini. Salam. []

SYAFIQ HASYIM, Rais Syuriah PCINU Jerman, Meraih Gelar Dr. Phil dari BGSMCS, FU, Berlin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar