Rabu, 16 April 2014

Yudi Latif: Keteladanan Pancasila



Keteladanan Pancasila
Oleh: Yudi Latif

BERTEMPAT di Gedung Nusantara IV DPR/MPR, Jumat (21/3), penulis meluncurkan buku terbaru, Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan (Mizan, 2014).

Buku tersebut ditulis sebagai respons terhadap keluhan panjang dan luas mengenai krisis keteladanan. Banyak orang meratapi ketiadaan panutan di tengah masyarakat sebagai mercusuar di kegelapan.

Namun, kita melihat kenyataan lain. Betapapun Nabi Muhammad, Isa Almasih (Yesus Kristus), dan Sidharta Gautama telah tiada ratusan tahun lamanya, perangai mereka terus diteladani hingga kini, tak lekang oleh waktu. Mengapa demikian? Sebab, suri teladan mereka terus dikisahkan.

Sejauh ini, kita gagal mentransmisikan kisah keteladanan para ”pahlawan” bangsa, baik yang sudah meninggal maupun yang masih hidup. Pelajaran sejarah menyempit menjadi sejarah (tahun) peperangan dan
silsilah kerajaan, tidak membantu menemukan mutiara ”pesan moral” yang terpendam dalam lumpur sang waktu. Pelajaran moral Pancasila diajarkan lewat butir-butir hafalan yang menjemukan, kehilangan impresi yang bisa menggugah nurani.

Dengan demikian, kita mengalami kemiskinan wahana untuk mencetak nilai-nilai luhur bangsa yang diidamkan menjadi karakter bangsa. Istilah karakter berasal dari bahasa Yunani/Latin, kharassein/kharaktêr, yang berarti ’tulisan, lukisan, cetakan, atau pahatan’. Singkat kata, karakter adalah lukisan sang jiwa; ia adalah cetakan dasar kepribadian seseorang/sekelompok orang, yang terkait dengan kualitas-kualitas moral, integritas, ketegaran, serta kekhasan potensi dan kapasitasnya sebagai hasil dari suatu proses pembudayaan dan pelaziman.

Cara mencetak nilai menjadi karakter tidak cukup diajarkan lewat hafalan. Dalam peribahasa Inggris dikatakan, Moral is not taught but caught. Pendidikan karakter sering kali diintroduksikan ke dalam kelas dan kehidupan publik lewat contoh-contoh keteladanan dan kepahlawanan. Siswa dan masyarakat memeriksa sifat-sifat karakter yang menjelma dalam diri teladan dan pahlawan itu. Nilai-nilai keteladanan dan kepahlawanan ini tidaklah diajarkan (taught) secara kognitif lewat hafalan dan ”pilihan ganda”, tetapi ditangkap (caught) lewat penghayatan emotif. Dalam hal ini, kisah-kisah rekaan (fiksi) dalam kesusastraan dan kisah-kisah nyata dalam kesejarahan merupakan medium yang efektif sebagai wahana pendidikan karakter.

Pengaruh kesusastraan terhadap kehidupan tak bisa diremehkan. Tokoh-tokoh dalam karya fiksi kerap kali memengaruhi hidup, standar moral masyarakat, mengobarkan revolusi, dan bahkan mengubah dunia. Kisah Rosie the Riveter yang melukiskan sepak terjang seorang pekerja pabrik kerah biru menjadi pengungkit bagi Women’s Liberation Movement. Kisah Siegfried, kesatria-pahlawan legendaris dari nasionalisme Teutonik, bertanggung jawab mengantarkan Jerman pada dua perang dunia. Kisah Barbie, boneka molek, menjadi role model bagi jutaan gadis-gadis cilik dengan memberikan standar gaya dan kecantikan.

Jika pahlawan-pahlawan rekaan saja bisa memberikan pengaruh yang kuat bagi moralitas masyarakat, apalagi kisah para pahlawan sungguhan, yang dengan segala kelebihan dan kekurangan manusiawinya, bisa menyadarkan sesama manusia lain untuk meniru keteladanannya. Betapa banyak orang yang terinspirasi setelah membaca kisah para nabi dan pejuang kemanusiaan di berbagai belahan dunia. Bahkan, sebagian besar isi kitab suci, yang menjadi pedoman hidup miliaran manusia di muka bumi, memuat kisah-kisah keteladanan.

Bangsa ini pun sesungguhnya memiliki ”pahlawan-pahlawan” keagungannya tersendiri dalam berbagai bidang kehidupan, baik dari kalangan ”wong elite” (kalangan atas) maupun ”wong alit” (rakyat biasa). Akan tetapi, kisah-kisah keteladanan mereka tidak terpublikasikan secara menarik dan meluas, terpendam di dalam kesemarakan kisah-kisah skandal selebritas, sinetron picisan, dan reality show murahan, serta kegemparan kabar buruk dunia politik.

Suatu usaha harus dilakukan untuk mengangkat mutiara bangsa yang terpendam ini ke altar kesadaran publik. Tantangan ini semakin mendesak seiring dengan bangkitnya kesadaran umum akan pentingnya menghidupkan kembali Pancasila sebagai pedoman hidup dalam membangsa dan menegara.

Selain sebagai dasar dan haluan negara, Pancasila dapat dikatakan sebagai ideologi negara; suatu ideologi penyelenggara negara dan warga negara dalam kehidupan publik yang mengatasi partikularitas paham perseorangan dan golongan. Dalam pengertian bahwa dalam wilayah privat (keluarga) dan komunitas (etnis, agama, dan golongan masyarakat yang homogen), tiap-tiap perseorangan dan golongan masih bisa mengembangkan partikularitas ideologinya masing-masing. Namun, dalam wilayah publik-kenegaraan, segala perseorangan dan golongan itu harus menganut Pancasila sebagai ideologi negara.

Setiap ideologi idealnya harus mampu memadukan dimensi keyakinan, pengetahuan, dan tindakan. Pertama, ideologi mengandung seperangkat keyakinan berisi tuntunan-tuntunan normatif-preskriptif yang menjadi pedoman hidup. Kedua, ideologi mengandung semacam paradigma pengetahuan berisi seperangkat prinsip, doktrin, dan teori yang menyediakan kerangka interpretasi dalam memahami realitas. Ketiga, ideologi mengandung dimensi tindakan yang merupakan level operasional dari keyakinan dan pengetahuan itu dalam realitas konkret. []

KOMPAS, 25 Maret 2014
Yudi Latif ; Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar