Rabu, 30 April 2014

(Ngaji of the Day) Dekonstruksi Pemikiran Liberal



Dekonstruksi Pemikiran Liberal

“Dewasa ini para penghujat Al-Qur’an bukan hanya kalangan orientalis, tapi juga para sarjana dengan titel akademis yang tinggi dan berprofesi sebagai pengajar di perguruan tinggi Islam”. Inilah kutipan kata-kata sinopsis yang ada di cover belakang buku Al-Qur’an dihujat, sebuah karya ilmiah yang ditulis oleh Henri Shalahuddin untuk meng-counter pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd, seorang pemikir modern Mesir yang telah dicap sesat dan berbahaya oleh kebanyakan ulama Mesir saat ini.

Bukan suatu yang aneh, memang, bila saat ini banyak internal umat Islam yang justru menggembosi Islam sendiri dengan berkedok ingin menyesuaikan Islam dengan era modern. Mereka dengan terang berani merombak al-Qur’an, menginterpretasi al-Qur’an dengan metodologi modern yang menyimpang dari kriteria penafsiran yang telah ditetapkan oleh mufassir-mufassir klasik. Bahkan, mereka lebih bangga dengan metodologi tafsir hermeneutika yang dianggapnya adalah salah satu metode penafsiran kontemporer yang patut diaplikasikan saat ini.

Sebagaimana yang telah diterapkan sendiri oleh Nasr Hamid Abu Zayd, di Indonseia, sejak mekarnya pemikiran Abu Zayd yang serba modern, metodologi hermeneutika telah menjadi salah satu kurikulum resmi di UIN/IAIN/STAIN seluruh Indonesia. Hasil dari pembelajaran metode inipun tidak tanggung-tanggung. Pada tahun 2004, Kampus IAIN Yogyakarta meluluskan sebuah tesis master yang kemudian diterbitkan menjadi buku berjudul: “Menggugat Otentisitas Wahyu al-Qur’an”. Tesis ini juga menggugat kesucian al- Qur’an.(Adian Husaini: 2007)

Pemikir, intelektual, ilmuwan ataupun cendekiawan seperti Abu Zayd, Mesir; atau seorang dosen di IAIN Sunan Ampel Surabaya, Sulhawi Ruba, yang secara sadar dan meyakinkan, pernah menginjak ‘Lafaz Allah’, pada 5 Mei 2006, itu bukanlah orang orientalis yang menurut Grand Larousse Encyclopedique seperti yang dikutip Amin Rais, orientalis adalah sarjana yang menguasai masalah-masalah ketimuran (bangsa-bangsa timur) termasuk bahasanya, kesusastrannya, dan secara umum kebudayaannya.

Namun, ironisnya, mengapa mereka berani dengan terang menyatakan bahwa yang dikakukannya adalah untuk menyesuaikan dengan era modern yang seakan-akan al-Qur’an yang telah diwahyukan dengan sempurna (QS al-Mâ’idah [5]: 3) itu masih kurang dan perlu diadakan dekonstruksi lagi?

Selain itu, kalau ditinjau dari alat dan metode yang mereka terapkan untuk menafsiri al-Qur’an, di sini akan ditemukan sebuah kecacatan dan pengkaburan otentisitas teks al-Qur’an dengan meninjau sejarah tafsir hermeneutika yang dicatat oleh sejarah sebagai metode yang digunakan dalam kajian Bibel. Dengan demikian, bila metode hermeneutika diterapkan dalam menginterpretasi al-Qur’an, di samping mengaburkan (merelatifkan) batasan antara ayat-ayat muhkamât dan mutasyâbihât; ushûl dan furû’; tsawâbit dan mutaghayyirât; qat’iyyât dan zhanniyât; juga akan mereduksi sisi kerasulan Rasulullah Muhammad r, hingga pada tingkatan menyatakan Rasulullah sebatas manusia biasa yang sarat dengan kekeliruan dan hawa nafsu.(Henri Shalahuddin:2007)

Kalau diulas kembali sejarah masa-masa permulaan Islam, di sana juga akan terungkap kisah-kisah yang sama. Pada masa sahabat Abu Bakar, misalnya, selain mengaku sebagai nabi, Musaylamah al-Kadhdhab juga berani membuat Al-Qur’an tandingan yang juga tak kalah heboh dengan Al-Qur’an yang asli.

Akan tetapi, bila ditinjau latar belakang kehidupan dari pembuat Al-Qur’an tandingan itu, di situ akan ditemukan sebuah catatan sejarah yang telah menggoreskan nama Musailimah al-Kadzdzab sebagai tukang syair yang paling mahir di zamannya. Dengan demikian, jika tukang syair saja mampu membuat al-Qur’an tandingan hanya dengan modal ahli dalam memumpuni bidang syair Arab dan tidak mengetahui tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an, lalu bagaimana dengan kisah Abu Zayd, Amin Abdullah, Fazlurrahman, Mohammed Arkoun dan masih banyak tokoh liberal lainnya yang kesemuanya pernah mengenyam di bangku-bangku Universitas Islam lalu hijrah ke negeri Barat dengan tujuan untuk mencerahkan agama dari keterpurukan sosial, ekonomi dan budaya Islam yang identik dengan kemiskinan dan kemunduran dalam peradaban dunia?

Hal semacam ini, tentu merupakan kekeliruan yang tidak patut untuk mereka lakukan kalau hanya beralasan untuk memerdekakan Islam dari keterpurukan. Sebab, selain akan mencuci otak mereka dengan paham sekularisme, pluralisme, orientalisme dan liberalisme, orang-orang Baratpun akan menjadikan mereka sebagai alat untuk merobohkan Islam. Hal ini terbukti dengan diterimanya Abu Zayd di Belanda sekaligus mendapat penghargaan sebagai ilmuwan besar dalam bidang studi al-Qur’an, dianugerahi gelar profesor di bidang bahasa Arab dan studi Islam dari Leiden University, sebuah universitas kuno yang didirikan sejak tahun 1575 di Amsterdam selatan.(Henri Shalahuddin: 2007)

Pada Abad Ketiga Hijriah, di masa itu, Islam juga telah mengenal pemikir-pemikir yang sering membuat kekacauan dengan mengeluarkan pendapat-pendapat baru yang kata mereka adalah menurut akal yang bebas. Segala pokok-pokok keyakinan Islam khususnya dan agama umumnya telah mereka coba goyahkan dengan mengemukakan pendapat akal yang materialistis. Diantara pemukanya yang terkenal adalah ar-Rawandi dan Thabib Abu Bakar ar-Razi.

Mulanya, ar-Rawandi terkenal karena mengutamakan kebebasan akal untuk mempertahankan agama. Tetapi, kemudian ar-Rawandi telah menyimpang keluar menjadi kafir. Sampai soal-soal yang berkaitan dengan peribadatan diganggunya dengan nama kebebasan akal. Sebagian contoh yang pernah diungkapkannya adalah mengenai salat. Menurutnya: shalat, apa perlunya wudu, padahal meskipun berwudu berkali-kali, namun isi perut kita tetap kotor. Apa guna melempar-lempar jumrah di Mina? Apa guna Sa’i, lari-lari di antara Shafa dan Marwah?

Berlari-lari diantara Shafa dan Marwah itu hanya membuat badan payah saja, faedahnya tidak ada. Wuquf di Arafah bersama-sama, pun tidak ada perlunya dan semuanya adalah pekerjaan yang tidak dapat diterima oleh akal. (Hamka: 1994)

Bayangkan kalau orang seperti ar-Rawandi masih hidup sampai saat ini. Mungkin, MUI Indonesia akan memfatwakan hukuman mati baginya. Lalu bagaimana dengan keberadaan liberalisme saat ini. Entahlah, tapi, yang jelas pemikiran-pemikiran seperti mereka itu layak dan kalau perlu diadakan pemberantasan massal.

Dengan demikian, tantangan zaman terhadap Islam tidak hanya di era modern ini saja. Sejak zaman Nabi pun agama Islam telah ditentang habis-habisan oleh orang-orang yang memang berambisi untuk menghancurkannya. Namun, tantangan Islam saat ini jauh lebih mengerikan dari pada dulu-dulunya. Sebab, yang menjadi perombak itu sendiri adalah orang-orang yang justru dilindungi, diidolakan oleh ilmuwan-ilmuwan kontemporer dan sering tampil dengan pendapat-pendapat akal yang mampu membuat terpesona, sepertinya jenius, tapi ternyata beracun dan konyol. Wallâhu a’lam. []

Penulis: M. Roihan Rikza

Tidak ada komentar:

Posting Komentar