Kamis, 17 April 2014

Kang Komar: Para Pejuang Demokrasi



Para Pejuang Demokrasi
Oleh: Komaruddin Hidayat

Saya bertemu beberapa teman yang sekarang tengah berjuang memenangkan kontestasi dalam pemilihan calon legislatif 9 April nanti. Di antara mereka ada yang sangat yakin, percaya diri, pasti akan lolos duduk sebagai wakil rakyat.

Ada lagi yang setengah yakin, namun tetap optimistis. Ada lagi yang mengeluh kehabisan amunisi tenaga, waktu, dan uang. Karena merasa sebagai pejuang demokrasi yang hendak memperjuangkan aspirasi rakyat, ada yang kemudian minta dukungan dana ke sana kemari. Pejuang kebangsaan itu berhak mendapatkan dukungan rakyat, sebagaimana para pejuang kemerdekaan dahulu juga dibantu rakyat, moral maupun materiil.

Namun, ada juga pikiran usil. Benarkah semua peserta pileg itu valid disebut sebagai pejuang rakyat dan kebangsaan? Secara umum, saya ingin berprasangka baik saja. Satu hal yang pasti, agenda demokratisasi politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan mesti didukung. Di dalam demokrasi tersimpan sebuah nilai dan cita-cita mulia, yaitu sebuah pengakuan akan hak-hak asasi individu untuk mendapatkan hak politik, keamanan, dan kesejahteraan sebagai warga negara yang sah dan baik.

Demokrasi ingin memberikan kesempatan yang sama pada siapa pun untuk tampil menjadi wakil rakyat, jadi pemimpin, dan berhak menyuarakan aspirasinya melalui aturan yang ada. Bahwa dalam praktiknya antara cita dan realita demokrasi terhadap jarak menganga, itu tidak aneh dalam perjalanan sejarahnya. Jadikanlah itu sebagai agenda perjuangan yang mesti dibenahi. Bukankah hal yang serupa juga terjadi pada agama?

Antara kemuliaan ajaran agama di satu pihak dan perilaku umatnya di pihak lain sering kali berseberangan dan bertabrakan? Yang mesti dilakukan oleh pimpinan parpol adalah menegakkan aturan dan etika yang jelas dan tegas, jika terdapat kader parpol yang merusak kemuliaan citacita demokrasi harus diamputasi.

Sebagaimana yang terjadi pada tubuh Mahkamah Konstitusi, ketika salah seorang anggotanya merusak prinsip dan etika MK, maka harus dipecat, bahkan masuk tahanan KPK. Jadi, agenda perjuangan demokrasi dihadapkan pada beberapa medan tantangan.

Pertama, tantangan dari dalam parpol sendiri. Bisa saja terjadi, parpol teriak-teriak memperjuangkan demokrasi, namun kultur yang dibangun dalam tubuhnya tidak demokratis. Kedua, ketika kader parpol berhasil duduk di lembaga wakil rakyat atau tubuh pemerintahan, prinsipprinsip demokrasi yang menekankan transparansi dan fairness dalam persaingan dan pertarungan politik, semua itu menguap.

Faktor uang dan koncoisme sering kali merusak nilainilai dasar demokrasi, sehingga nama dan konsep demokrasi menjadi luntur, kehilangan makna dan wibawa di mata masyarakat. Ikon pejuang demokrasi yang melekat pada Bung Hatta semakin sulit dijumpai padanannya. Ketiga, meskipun sistem demokrasi dianggap paling baik di antara yang lain, sehebat apa pun demokrasi tetap memiliki kekurangan.

Dan lagi, demokrasi bukanlah tujuan akhir. Dia sebagai instrumen untuk meraih tujuan yang lebih tinggi lagi, yaitu terwujudnya masyarakat yang sejahtera, cerdas, makmur dan terlindungi hak-hak sipilnya. Makanya menjadi ironis ketika mereka yang tampil menjadi wakil rakyat dan petinggi di negeri ini berkat reformasi dan gerakan demokratisasi, lalu lupa diri. Dalam waktu yang sangat singkat, sebagian dari mereka hidupnya berubah.

Secara materi menjadi kaya raya, sementara rakyat daerah pemilihannya tetap miskin, sarana dan mutu sekolah tak berkembang, infrastruktur semakin rusak. Orang pun bertanya-tanya, lalu rakyat mendapatkan keuntungan apa dari hiruk-pikuk demokrasi dan reformasi yang telah menelan biaya mahal dan membuat rakyat dirusak mentalnya dengan money politics? Ada lagi keluhan warga, garagara desentralisasi telah memunculkan istilah ”putra daerah asli” dan ”nonasli”.

Sebuah keluarga yang telah puluhan tahun tinggal di satu daerah tibatiba dianggap warga pendatang dan hak politiknya terganjal, karena bukan putra daerah asli. Ketika berlangsung pencalonan wakil rakyat, bupati, wali kota ataupun gubernur, isu putra daerah dan pendatang lalu dimunculkan. Inikahdemokrasi yang hendak mengangkat hak warga negara secara setara di depan hukum?

Gara-gara bukan putra daerah, meskipun secara moral-intelektual lebih berkualitas, kalah oleh putra daerah yang mutunya di bawah standar. Demikianlah, masih banyak deviasi dan anomali dari hirukpikuk reformasi dan demokrasi yang mesti diselesaikan oleh para wakil rakyat dan kabinet mendatang. Jadilah pejuang demokrasi yang benar, bukannya sekadar pencari kerja dan popularitas.

Rakyat sudah lelah, ingin perubahan dan perbaikan. Perjuangan politik tentu saja memerlukan ongkos. Tetapi yang namanya money politics, jelas merusak kemuliaan politik dan merusak mental rakyat. []

KORAN SINDO, 28 Maret 2014
Komaruddin Hidayat ; Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar