Selasa, 15 April 2014

Sindhunata: Demokrasi adalah Prasmanan



Demokrasi adalah Prasmanan
Oleh: Sindhunata

ENCIK Sri Krishna adalah seorang duda dengan tiga anak. Setelah perceraiannya, setiap malam ia harus ngemper alias menumpang tidur di rumah sahabatnya, perupa Samuel Indratma. ”Kita tidak boleh menyerah. Lupakan kepahitan masa lalu. Kita mesti menatap ke depan dan berbuat sebisanya.”

Kata-kata Samuel ini dipegang Encik untuk beranjak dari kelam masa lalunya. Encik adalah pemusik. Ia kemudian mendirikan kelompok band yang dinamai Low Bugdet Acoustic. Dengan biaya rendah, Encik mulai aktif dengan bandnya. Minggu, 16 Maret lalu, Encik menampilkan konser berjudul ”Ayo Lawan”bersama Mataraman Swa Orkestra di gedung kesenian Societet, Taman Budaya Yogyakarta. Encik antara lain menampilkan lagunya yang berkisah menjalani hidup adalah peristiwa dan bukan sekadar kata-kata. Bagaikan daun kering yang jatuh di tanah berubah menjadi kesuburan, demikian pula hidup harus dijalani dengan teguh dan sabar, jangan sampai disia-siakan. Apabila sedang berada di atas, janganlah merasa paling sempurna. Manusia itu dekat dengan goda karena itu ia harus selalu ingat dan waspada bahwa mujur dan malang adalah sandangannya manusia.

Di tengah pentas, aktor dan penyair Whanny Darmawan membacakan tulisannya ”Surat Cinta buat Sri Krishna”. Kata Whanny, kebudayaan itu bagaikan puzzle terserak yang harus dikumpulkan. Suatu negeri mesti berdiri di atas puzzle budaya yang tertata. Untuk itu, perlu siasat kebudayaan. Siasat kebudayaan itu jangan dibayangkan muluk-muluk. Hidup yang susah, tetapi dihadapi dengan jujur dan tabah seperti yang dilakukan Encik Krishna sudah merupakan siasat kebudayaan. Maka, kata Whanny, ”Jika kamu hanya punya uang Rp 50.000 sementara hidupmu masih berlangsung beberapa hari ke depan dengan beban seorang duda dengan tiga anak sekolah, apa yang akan kau lakukan untuk memenuhi kecukupan itu? Jika kamu bisa melampauinya dengan tanpa mencuri, itulah, kamu telah menempuh jalan siasat kebudayaan. Intinya, siasat berkebudayaan adalah jalan menuju masa depan dengan tetap menimbang nilaimu sebagai manusia.”

Bebal kritik

Konser Encik tak mungkin terjadi tanpa Folk Mataram Institut (FMI). Sesungguhnya FMI inilah mesin yang membuat konser malam itu sukses. FMI, yang terbentuk tiga tahun lalu, adalah tempat seniman Yogyakarta, seperti Ong Hari Wahyu, Samuel Indratma, Bambang Heras dan Encik Krishna, bergabung untuk menumpahkan kreativitas mereka.

Seniman-seniman itu berpendapat, sekarang segala kritik sudah tak mempan. Analisis ilmiah, karya rupa, karikatur, pertunjukan seni, dan sentilan di televisi sekritis apa pun sia-sia dan mental dari sasarannya. Dikritik sekeras apa pun penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, politik uang, dan tindakan menyimpang lainnya tetap saja berjalan. Perilaku kekuasaan dan penguasa bukan hanya kebal, melainkan juga bebal dan menutup telinga dan hatinya terhadap kritik. Menghadapi kebebalan itu seni sungguh kebingungan. Untuk menjadi kritis, seni seakan kehabisan simbol, sinyal, dan inspirasi. Rasanya semua kreativitas seni untuk menyindir, menggugat, dan melawan sudah dikuras. Toh semua bagaikan memukul udara kosong.

Di tengah kebebalan, ketulian, kenekatan, dan ketidaktahumaluan kekuasaan ini apa yang masih bisa dibuat oleh seni? Inilah kegelisahan dan keresahan yang dihadapi seniman yang tergabung dalam FMI. Untuk mengatasi kegelisahan itu, mereka menuangkan sebuah konsep: perlawanan atau protes tidak lagi ditujukan kepada lawan di luar diri, tetapi lawan di dalam diri sendiri. Mengatasi musuh dalam diri sendiri itu bisa menjadi kreativitas yang menyumbang hidupnya kebudayaan. ”Agar hidup kita tak sekadar buang umur, berbuatlah senekatnya, los setang dan jangan khawatir. Untuk apa kita khawatir apabila hidup lebih mengkhawatirkan daripada yang kita sangka?” Itulah kata-kata Samuel yang jadi salah titik berangkat kelahiran FMI. Kata-kata ini mewakili protes wong cilik yang ingin lepas dari kekhawatiran hidup yang menindihnya sehari-hari. Hidup yang berat tak mungkin dihadapi dengan kekhawatiran. Hanya dengan sikap nothing to lose alias los setang, hidup berat dapat dilawan.

Folk Mataram Institut (FMI) adalah sebuah nama resmi. Namun, dalam aktivitasnya sehari-hari, FMI hidup dari semangat pelesetannya, yakni Folk Mletho Indonesia. Mletho atau meleset adalah jiwa lawakan yang diwariskan pelawak legendaris Yogya, Basiyo. Dengan pelesetannya, Basiyo terbukti dapat mengajak orang untuk mendekonstruksi pelbagai kemapanan yang membuat banyak hal mandek. FMI ingin menghidupi jiwa pelesetan itu bagi gerak kebudayaannya. Maka, semboyannya: tak ada yang benar, yang benar adalah mletho karena itu makin mletho makin benar. Untuk itu, mereka mengumpulkan pelbagai kata yang bisa dipelesetkan dan dengan demikian mempertajam ke-mletho-annya.

Tak hanya kata, mereka juga sering memelesetkan pelbagai pengertian dan cara berpikir yang mapan hingga menemukan fakta bahwa ternyata banyak kebenaran bisa digugat dan ditertawakan. Memakai bahasa kerennya, mletho ini bagaikan suatu cara kerja filsuf Socrates yang selalu mempertanyakan kebenaran yang diajukan lawan bicaranya. Tujuannya bukan untuk menyodorkan kebenaran atau keyakinan baru, melainkan menggoyahkan segala keyakinan dan kebenaran yang palsu. Karena itu, semakin mletho-nya terasah, semakin orang berani los setang melawan kehidupan yang sering semu dan palsu dengan pelbagai kebenarannya yang mapan. Dengan mletho, orang bisa terasah syak wasangkanya, lebih-lebih terhadap kekuasaan, karena kekuasaan sering bernaluri penindasan. Demikian juga terhadap kesalehan dan kesucian yang sering bernalurikan kemunafikan. Dengan mletho, orang bahkan bisa bersyak wasangka terhadap agama dan kereligiusan karena justru dengan dalih agama dan kereligiusan orang sering terjerumus ke dalam serakah keduniawian dan kematerialan.

Jelek ya biar

Transparan adalah kata yang sudah jelas dengan sendirinya. Namun, toh FMI memelesetkan transparan itu jadi prasmanan. Buat FMI, transparan belum jelas jika belum menjadi prasmanan. Maka, lebih daripada transparan, semuanya harus prasmanan. Misalnya, kekuasaan harus prasmanan. Artinya kekuasaan harus bisa diincipi semua orang, termasuk kaum duafa. Jika tidak, kekuasaan hanya dicaplok sekelompok orang. Kekuasaan yang transparan sekalipun tetapi tak prasmanan akan menjadi kekuasaan egoistis-individualistis dan tak sosial-demokratis.

Sama halnya dengan agama. Iman dan kebenaran agama bisa saja transparan dan teologinya masuk akal. Namun, jika tidak prasmanan, iman dan kebenaran agama hanya tinggal sebagai keabstrakan Ilahi yang tidak bisa dirasakan manfaatnya bagi dunia yang material dan insani. Iman dan kebenaran agama yang prasmanan adalah iman dan kebenaran yang mau mewujud menjadi konkret, menjadi pesta perjamuan di mana setiap orang bisa ikut menikmatinya tanpa memandang ia dari golongan agama mana. Agama yang prasmanan adalah agama yang sosial bagi kebutuhan masyarakat, lebih-lebih mereka yang menderita dan membutuhkan.

Secara tradisional, masyarakat Jawa sering digolongkan menjadi abangan dan santri tulen alias putihan. FMI tak terlalu tertarik dengan pembagian itu. Mereka ingin jangan sampai pembagian itu memecah-mecahkan dan membuat kita tidak bisa tolong menolong dalam kehidupan sosial dan kemandirian hidup berbangsa. Maka, mereka pun memelesetkan pengertian abangan-putihan itu menjadi ”abang Putih harga mati, cari makan sendiri enggak pakai mencuri”. Maksudnya, mengapa kita mesti dikotak-kotakkan jadi abangan dan putihan? Kita, kan, sudah mematok harga mati, yakni berdiri di bawah bendera Merah Putih, menjadi bangsa yang mandiri di mana warganya tidak saling mengeksploitasi.

Mandiri adalah keprihatinan teman-te man FMI. Salah satu aktivisnya, Kumbo, seorang perupa, mengatakan, produk dalam negeri menjadi anak tiri. Sandang pangan impor, pendidikan, hiburan, penyakit, obat-obatan, dokter, rumah sakit impor. Arloji, gadget, sepatu, sampai celana dalam juga impor. Demi kemandirian yang melawan serba impor itu, FMI mencetuskan pendirian elek yo ben, jelek ya biar. Mereka mengajak agar kita tidak malu menjadi diri sendiri, memakai barang buatan sendiri. Kata mereka, ”Mandiri itu enggak pakai ngrepoti, bikin sendiri jual sendiri.” Untuk itu, di bawah pimpinan Kyai Elek Yo Ben, mereka membentuk barisan abang-putih bukan sebagai pasukan berani mati, tetapi pasukan berani malu. Meski lucu-lucu, senyam-senyum, dan cekikikan, mereka tidak perlu malu asal semuanya itu ditampilkan dan diperjuangkan demi kemandirian. Siapa pun boleh ikut dalam pasukan berani malu itu asal orang mau andap asoy–pelesetan dari andhap asor yang artinya rendah hati–sederhana, tidak minder, dan tidak gengsi-gengsian.

Semua hal di atas berangkat dari konsep dasar yang disetujui bersama oleh anggota FMI, yakni selo. Untuk memegang konsep dasar itu, mereka bahkan punya lagu ciptaan ”Urip Kok Selo”. Sepintas selo memang bisa diartikan santai, kosong, dan menganggur. Namun, bukan pertama-tama pengertian itu yang dimaksudkan oleh FMI. FMI prihatin akan masyarakat kita yang senantiasa berada dalam tekanan, bahwa semuanya harus serba cepat demi meraih produktivitas sebanyak-banyaknya. Di bawah sistem kapitalis ini masyarakat nyaris tak mempunyai waktu bagi dirinya sendiri. Demi mempertahankan hidupnya, ia harus berproduksi dan berproduksi lagi. Maklum, norma dasar dari masyarakat kapitalis adalah peningkatan produksi setinggi-tingginya.

Di bawah tekanan demikian, energi kreatif orang perorangan dan masyarakat tidaklah dapat tumbuh dan berkembang. Akhirnya, masyarakat kehilangan ilhamilham kreatif, lebih-lebih dalam memenuhi kebutuhan rohani dan kulturalnya. Masyarakat kaya dalam produksi barang-barang, tetapi miskin dalam energi kreatif kebudayaan. Akibatnya, masyarakat, walau kaya berlimpah, hatinya tak bisa bahagia karena tak bisa berkembang dalam keseluruhannya. Memang kebudayaan dan kerohanian hanya bisa berkembang jika kita mau urip selo, jika kita mampu hidup dalam waktu luang dan meluangkan waktu untuk berefleksi dan memperdalam kekayaan budi dan hati. Dengan urip selo itu kita juga bisa mengidealkan pencapaian rohani, yang melewati batas-batas kematerialan hidup kita sehari-hari. Urip selo juga menyadarkan kita bukan hanya makhluk pekerja, melainkan juga makhluk kreatif dan makhluk sosial yang mau meluangkan waktu untuk orang lain dalam kebersamaan.

Ayo lawan

Itu konsep-konsep kebudayaan perlawanan yang dicetuskan FMI. Konsep-konsep itu tak hanya didiskusikan, tetapi juga diungkapkan dalam pelbagai aktivitas seni dan kebudayaan. Terakhir, pentas konser ”Ayo Lawan” Sri Encik Krishna. Konser ini jelas tak didukung dana kuat. Namun, berkat gotong royong banyak pihak, walau kecil-kecilan, konser ini bisa berjalan. ”Waktu latihan, teman-teman hanya makan nasi kucing,” kata perupa Putu Liong Sutawijaya. ”Saya bilang kepada teman-teman, marilah melawan diri kita sebisa-bisanya. Jangan minder. Yang bisa musik, ya, mainlah musik. Yang bisa dekorasi, ya, mendekorlah. Yang bisa memasang poster, ya, memasanglah. Yang tidak bisa apa-apa, hanya keplok saja, ya, enggak apa-apa,”kata Samuel. Konser ini gratis. Para penonton dipersilakan membawa sayur-sayuran, buah-buahan, dan palawija untuk ditukarkan dengan tiket masuk. Malam itu counter tiket dipenuhi kangkung, bayam, salak, rambutan, jagung, ubi, ketela, kacang-kacangan, dan sebagainya. Ini juga ide mletho FMI. Uang tak berlaku malam itu.

Malam itu FMI membuktikan bahwa kecupetan dan kemiskinan bisa dilawan dengan pemberian diri sebisanya dalam kebersamaan. Konser mereka adalah sebentuk perlawanan yang mencoba jujur terhadap diri sendiri. Mereka tak mengkritik demokrasi yang sering disalahgunakan. Mereka menghidupi bahwa demokrasi pada hakikatnya tempat semua orang, tanpa kecuali, sesederhana dan semiskin apa pun, boleh terlibat dan dapat melibatkan diri serta boleh memperoleh manfaatnya: demokrasi adalah sebuah prasmanan. Di akhir konser, kedua anak lelaki Encik Krishna naik ke panggung. Keduanya tampil amat sederhana dan seadanya membawa setangkai mawar merah lalu dihaturkan kepada ayahnya. []

KOMPAS, 04 April 2014
Sindhunata ; Wartawan, Pemimpin Redaksi Majalah Basis, Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar