Senin, 21 April 2014

(Buku of the Day) The Wisdom of Gus Dur, Butir-Butir Kearifan Sang Waskita



Butir-Butir Hikmah dan Keteladanan Gus Dur



Judul Buku        : The Wisdom of Gus Dur, Butir-Butir Kearifan Sang Waskita
Penulis             : M. Sulton Fatoni & Wijdan Fr
Penerbit            : Imania
Cetakan            : Pertama, Februari 2014
Tebal                : 512 halaman
ISBN                 : 978-602-7926-11-0
Peresensi          : Muhammad Autad An Nasher, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan juga anggota Komunitas Pemikiran Gus Dur

Dari segala dimensi, KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa dengan Gus Dur selalu diterima oleh banyak kalangan. Mulai dari kalangan lintas agama, suku, ras dan status sosial seseorang. Begitu beragam dan tak mengenal sekat.

Di sisi lain, pemikirannya pun berserakan dimana-mana, mulai dari yang membicarakan tema keislaman dan toleransi, inklusifisme, humanitarianisme universal, soal Indonesia dan keindonesiaan, kiai dan pesantren, pribumisasi, civil society dan demokrasi, sepak bola hingga ziarah kubur. Oleh sebab itu, menurut saya, Gus Dur adalah aset bangsa yang tiada duanya di dunia ini, karena memang orangnya yang unik nan nyentrik.

Semasa hidupnya, banyak pernyataan-pernyataan Gus Dur yang selalu dinanti-nanti oleh khalayak. Dan bahkan jika sudah di-blow up oleh media, tak jarang menjadi trending topic. Satu contoh ketika Gus Dur menyindir anggota DPR, yang dikatakan olehnya bahwa perilaku anggota dewan itu tak jauh beda dengan anak-anak TK (Taman Kanak-kanak). Sampai sekarang pun sentilan Gus Dur itu selalu dikutip oleh masyarakat. Maka tak menjadi aneh ketika Gus Dur bepergian, banyak wartawan yang menguntit dibelakangnya. Mengingat setiap tutur kata yang keluar darinya bagaikan mutiara yang begitu mempunyai daya jual tinggi.

Kaitannya dengan hal itu, kehadiran buku ini tengah menyajikan kepada pembaca ihwal kutipan-kutipan pemikiran Gus Dur berdasarkan tema. Sang penulis menyarikannya dari ratusan kolom, artikel, buku, situs online, dan rekaman ceramah Gus Dur. Oleh sebab itu, buku yang ditulis oleh M. Sulton Fatoni dan Wijdan Fr ini begitu enak dan kaya dengan ‘celotehan’ khas ala Gus Dur. Membacanya, seakan tersentil dengan lontaran mantan presiden ke-4 RI tersebut.

Seperti contoh Gus Dur atas pembelaannya terhadap kaum minoritas. Tak henti-hentinya Gus Dur mengkritik mayoritas yang dengan seenaknya melakukan amuk massa bahkan kekerasan dengan dalih agama. “Mayoritas bukan untuk menindas dan berbuat seenaknya sendiri. Mayoritas seharusnya melindungi dan mengayomi minoritas. Kita harus punya kelapangan dada untuk menerima pihak-pihak lain yang tidak sepaham dengan kita.” hlm. 20

Hal itu tidak hanya diucapkan oleh Gus Dur tanpa tindakan sama sekali, namun juga dipraktikkan dalam kehidupan bermasyarakat. Fakta itu bisa dirasakan hingga kini. Walaupun saat ini jasadnya telah tiada, akan tetapi di tiap haulnya selalu ‘dirayakan’ oleh semua elemen masyarakat dari seluruh penjuru tanah air Indonesia. Yang mana tidak kenal sekat agama, ras, suku dan keyakinan.

Gus Dur selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Orang Islam yang suka melakukan tindak kekerasan, pasti mendapatkan kritik dari beliau, baik melalui lisan maupun tulisannya. “Apa yang dilakukan kelompok Islam keras dengan menuntut penyeragaman, itu tidak bisa dibenarkan. Saya rasa, saya sependapat bahwa semuanya ini terjadi karena mereka nggak paham agama. Jika Al-Qur’an menyebut kata kafir, itu tidak diarahkan kepada Nasrani dan Yahudi, karena mereka memiliki julukan khusus ahlul al-kitab. Karenanya, yang dikatakan kafir itu tak lain musyrik Makkah, yang menyekutukan Tuhan. Baca gitu aja nggak bisa, ya repot.” hlm. 25.

Gus Dur menyadari, kita ini orang Indonesia yang hidup di tengah keberagaman. Dan bangsa Indonesia ini, dibentuk tidak dengan cara yang instan. Dalam tema Indonesia dan keindonesiaan, Gus Dur mengingatkan kepada kita semua. “Tidak boleh lagi ada pembedaan kepada setiap warga negara Indonesia berdasarkan agama, bahasa, kebudayaan serta ideologi.” hlm. 74. Itulah prinsip Gus Dur dalam mengilhami makna semboyan Bhineka Tunggal Ika. Yaitu persatuan yang dalam.

Dengan membaca buku ini, pembaca akan mendapatkan banyak hikmah dan keteladanan yang sudah dicontohkan oleh Gus Dur, yang hemat saya, tidak hanya sekedar ngomong an sich, tetapi juga mewujud sebagai buah tindakan, yang mengarahkan eksperimen positif kepada masyarakat.

Banyak hikmah dan petuah yang bisa kita dapatkan dalam buku ini. Pembaca akan dibuat terkesima dari butiran-butiran kearifan sang waskita. Tentunya, tidak hanya untuk dinikmati saja, akan tetapi juga perlu diamalkan di setiap lika-liku kehidupan yang beragam ini. Semoga kita bisa meneladani dan mengikuti jejaknya. Amien. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar