Selasa, 22 April 2014

(Ngaji of the Day) Politik Islam dan Politisasi Islam



Politik Islam dan Politisasi Islam
Oleh: Moeh. Zainal Abidin

Islam sering disebut sebagai agama yang “kaffah”, agama yang mengatur seluruh tatanan kehidupan umatnya. Mulai dari hal terkecil, seperti cara memakai dan melepas sandal hingga hal yang besar, seperti tata cara berpolitik yang bertujuan untuk mengatur hajat hidup orang banyak.

Dalam bahasa Arab (bahasa yang lazim digunakan oleh umat Islam), term politik identik dengan kata “siyasah”, yang berarti mengatur atau mengurusi. Sehingga jika diartikan secara terminologi, politik dalam Islam (siyasah) bisa bermakna tata cara mengatur atau mengurus seluruh umat Islam.

Berkaitan dengan hal ini, Nabi Muhammad Saw bersabda: "Siapa saja yang bangun pagi dengan tujuan selain Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun pagi namun tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka." (HR. Al Hakim).

Namun yang menjadi persoalan mendasar adalah, bagaimana bentuk politik Islam secara jelasnya? Apakah Madinah yang dipimpin oleh nabi Muhammad bisa dikategorikan sebagai manifestasi dari formulasi politik beliau?

Menurut penulis, piagam Madinah merupakan undang-undang berisi perjanjian yang menetapkan hak, dan kewajiban bagi kaum Muslimin, Yahudi, serta kelompok-kelompok lain di kota Madinah, sehingga bisa menjadi suatu komunitas, yang di dalam bahasa Arab disebut dengan “ummah”.

Kalimat “ummah” sendiri, dalam piagam Madinah terdapat pada dua pasal, yakni pasal 1 dan 25. Menurut Ali Syari'ati, konsep ummah dalam Pasal 1 dari piagam Madinah bersifat eksklusif, hanya bagi umat Islam. Hal ini berarti, golongan manusia yang tidak berakidah sama, tidak dapat disebut sebagai umat yang satu. Sehingga konsep “ummah” dalam pengertian khusus (pengikut Nabi Muhammad Saw) berlaku disini. (M. Latif Fauzi: 2005).

Sedangkan dalam pasal 25, golongan Yahudi dan sekutunya sebagai bagian dari “ummah” sehingga konsep “ummah” secara umum (seluruh generasi umat manusia tanpa memandang batsan agama), berlaku dalam pasal ini.

Jika menilik perbedaan dari konsep”ummah” di atas, penulis menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad saw, berusaha membangun sebuah negara yang menaungi berbagai golongan, tanpa membedakan suku maupun agama, dimana beliau sebagai pemimpin negara yang berhak mengambil keputusan jika dalam setiap permasalahan, sebagaimana tertera dalam pasal 23.

Nabi Muhammad Saw telah mengajarkan kepada umatnya cara membangun sebuah negara (state) dengan tingkat heterogenitas tinggi, sehingga salah jika ada yang mengatakan bahwa nabi Muhammad hanyalah bertugas untuk menyampaikan risalah tanpa memperhatikan keadaan sosio-politik masyarakat Madinah waktu itu.

Itu semua tidak berarti bahwa Islam mengharuskan umatnya untuk membangun sebuah negara, sebab tidak ada satu perintah pun, entah itu dalam Qur'an maupun hadis yang mewajibkan umat Islam mendirikan negara. Nabi Muhammad Saw hanya mengajari dan memberikan contoh kepada kita, bagaimana membangun negara melalui Piagam Madinah, meskipun konsep negara modern baru muncul berabad-abad setelah beliau wafat.

Konteks Kekinian

Banyak kelompok-kelompok Islam yang menginginkan kembalinya kejayaan Islam masa lampau dengan mimpi mendirikan negara Islam/khilafah internasional. Mereka menggunakan ayat-ayat Al-Qur'an sebagai legitimasi atas keinginan tersebut, diantaranya adalah QS al-Maidah ayat 44, 45, dan 47.

Ayat-ayat tersebut menerangkan bahwa, barang siapa yang memutuskan perkara tidak dengan hukum Allah, maka mereka adalah golongan orang-orang yang kafir, zalim dan fasik. Dalam perspektif mereka, hakim (pemutus perkara) haruslah seorang khalifah, artinya khalifah dengan khilafahnya menjadi wajib diwujudkan.

Mereka juga menggunakan ijma' sahabat sebagai legitimasi untuk mendirikan khilafah, yakni pasca wafatnya Rasulullah Saw, para sahabat berkumpul untuk memilih satu khalifah. Pendapat ini dikuatkan dengan argumen yang menunjukkan bahwa khilafah telah ada sejak awal mula Islam hingga keruntuhan Turki Usmani pada 1924.

Imam al-Qurthubi dalam al-Jami' li Ahkam al-Qur'an menjelaskan bahwa, QS al-Maidah ayat 44-47 turun di kalangan orang-orang Yahudi, sebagaimana dijelaskan dalam shahih muslim dari sahabt al-Bar'bi azib. Menurut beliau, jika seorang muslim melakukan dosa besar (asal tidak menghalalkannya), ia masih dihukumi sebagai muslim, bukan kafir. Beliau juga menambahkan, bahwa dalam ayat -ayat diatas terdapat makna tersembunyi (izhmar), yakni "Barang siapa yang tidak memakai hukum Allah karena menolak al-Qur'an dan mengingkarinya, maka ia digolongkan sebagai orang-orang kafir.

DR. Ainur Rofiq menyebutkan bahwa pada masa awal Islam sampai runtuhnya kekhalifahan Utsmani tidak hanya ada satu khilafah saja, selain itu juga tidak ada kesatuan khilafah yang kontinyu pada masa tersebut. Beliau juga menambahkan bahwa, konsekuensi khilafah versi Islam garis kanan atau HTI, membuka peluang menjadi negara absolut dan autokritik. Alasannya adalah kewenangan khalifah yang terlalu besar. Pola separasi kekuasaan; legislatif, eksekutif dan yudikatif ada di tangan khalifah, sementara bawahannya hanya memmiliki kewenangan delegasi, bukan atribusi. (DR. Ainur Rofiq al-Amin: 2012).

Padahal kita semua tahu bahwa, nabi Muhammad selalu mengajak para sahabatnya untuk bermusyawarah sebelum mengambil keputusan, meskipun beliau adalah pengambil keputusan. Hal-hal semacam itu pula yang dilaksanakan oleh Khulafaur Rasyidin, para penerus kepemimpinan beliau. Melalui sifat tersebut, beliau mengajarkan dan mencontohkan kepada kita bahwa Islam adalah agama yang demokratis dan segala sesuatunya bisa didiskusikan, kecuali dalam bidang aqidah. []

Moeh. Zainal Abidin, Ketua PMII Rayon Ushuluddin Komisariat Walisongo Semarang, Mahasiswa Perbandingan Agama fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar