Kamis, 10 April 2014

Strategi Konsolidasi Politik Kiai Wahab



Strategi Konsolidasi Politik Kiai Wahab

Setelah NU berdiri menjadi partai para pimpinan perlu kembali mengubah NU dari paradigma ormas menjadi paradigma partai politik. Ini sebuah pekerjaan besar sehingga para pimpinan partai tertinggi NU seperti Kiai Wahab Chasbullah dan KH Idham Cholid sendiri yang melakukan turba untuk konsolidasi partai NU ke Jawa Tengah, pada 1953. Langkah ini penting untuk menghadapi Pemilu 1955.

Namun, walaupun keduanya telah mengirim telegram tetapi tidak satupun aktivis partai yang menjemput mereka ke stasiun kereta api. Kebetulan ketua NU setempat adalah pegawai Departemen Agama, sementara Menteri Agamanya adalah Fakih Usman dari Masyumi. Ketua NU itu ketakutan karena terancam posisinya di Depag akan digeser.

Saat itu mengaku NU memang masih riskan karena setelah organisasi ini keluar dari Masyumi langsung dituduh memecah belah ukhuwah Islamiyah. Padahal di Masyumi NU tidak pernah dihargai, hanya dijadikan pendulang suara. Sementara ketika PSII keluar dari Masyumi tidak pernah dituduh demikian. Maka banyak orang NU di Masyumi yang belum berani menunjukan identitas ke-NU-annya.

Setelah mereka berdua berputar-putar ke kota, Idham Cholid menawarkan pada kiai Wahab untuk beristirahat di losmen. Sang kiai menolak; lebih baik kita sembahyang dulu ke masjid. Ternya ke masjid tidak hanya untuk sembahyang, kesempatan itu digunakan Kiai Wahab untuk menyelidiki keadaan. Kiai itu menanyakan pada jemaah tentang kondisi NU dan Masyumi di daerah itu. Akhirnya semua kejanggalan itu terkuak, ternyata para tokoh NU yang kebetulan menjadi pemimpin di Depag setempat telah pergi ke luar daerah, untuk mengindari pertemuan dengan para pimpinan NU itu.

Menghadapi situasi ini Kiai Wahab tidak kalut, dengan tenang ia berusaha mengontak satu persatu para pimpinan NU tadi. Setelah berhasil mengkoordinasi mereka, lalu direncanakan mengadakan rapat kerja dengan para tokoh NU setempat termasuk dengan pejabat Depag yang menghindar tadi.

Pertemuan itu dirahasiakan, hanya dihadiri sembilan orang tetapi dianggap cukup banyak oleh kiai Wahab. Walaupun hanya dihadiri sembilan orang, tetapi karena pidato Kiai Wahab yang berapi-api itu melahirkan suasananya heroik, sehingga terasa terasa dihadiri oleh sembilan ribu orang. Demikian menurut kesaksian KH Idham Cholid, sambil berujar, “yang banyak belum tentu baik, tetapi yang baik selalu banyak berarti”.

Setelah para aktivis NU mendapat brifing dari Kiai Wahab, sejak saat itu mereka tidak lagi canggung mendukung partai NU. Dengan jaminan pribadi dari Kiai Wahab. Mereka tidak khawatir lagi diintimidasi oleh Masyumi, bahkan telah siap tempur menghadapi Pemilu 1955. Di situlah letak kesuksesan NU dalama mengelola politik, di mana para kiai langsung bersentuhan dengan masyarakat bawah, sehingga rakyat termotivasi dan selalu optimis, sehingga menghasilkan kemenangan besar. []

(Mun’im DZ)

Disadur dari buku Biografi KH Idham Cholid, Pustaka Indonesia Satu, 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar