Selasa, 04 Februari 2014

(Ngaji of the Day) NU, Imlek, dan Indonesia



NU, Imlek, dan Indonesia
Oleh: Mamang M. Haerudin

Lebih dari 30-an tahun umat agama Kong Hu Cu mengalami diskriminasi. Hak mereka untuk bebas beragama dan berkeyakinan dilarang oleh pemerintah Orde Baru melalui Inpres Nomor 14 Tahun 1967. Perayaan Imlek (Guo Xin Nian) selain juga Cap Go Meh, Ceng Beng, Sembahyang Rebut, dan lainnya dianggap sebagai sebuah afinitas budaya pada negeri leluhurnya, Tiongkok, yang akan mengancam budaya bangsa Indonesia.

Padahal jelas, pada pasal 29 ayat 2 UUD 1945 dinyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Atas dasar itu, beruntunglah sosok presiden Abdurrahman Wahid yang biasa disapa Gus Dur dengan penuh keyakinan mencabut Inpres itu melalui Keppres RI Nomor 6 Tahun 2000.
Bukan tanpa alasan, Gus Dur paham betul bahwa masyarakat Indonesia di hadapan Negara adalah sama dan setara kedudukannya. Tak peduli ia beretnis dan beragama apa. Lebih daripada itu bahwa agama Islam dan lainnya adalah agama universal. Islam sendiri punya visi rahmatan lil’alamin, sebagai agama yang bercita-cita mewujudkan tatanan kehidupan berbangsa dan beragama yang penuh kasih sayang dan harmoni.

Harlah NU dan Imlek

31 Januari merupakan hari lahir (harlah) Nahdlatul Ulama (NU). Kini, usianya mencapai 88 tahun (1926-2014). Pada harlah NU tahun ini, juga bertepatan dengan tahun baru Imlek. Dua momen ini betapa penting. NU sebagai ormas terbesar di Indonesia, mengemban amanat dalam menjaga harmonisasi umat beragama. Komitmen itulah yang dipegang oleh Gus Dur, sebagai orang yang pernah menjadi pimpinan tertinggi NU dan presiden RI, untuk memenuhi hak beragama dan berkeyakinan bagi umat Kong Hu Cu dan umat-umat agama lain yang rentan mendapat perlakuan diskriminatif.

Sejak berdirinya NU meyakini bahwa bangsa ini merdeka berkat persatuan dan kesatuan seluruh komponen bangsa, bukan hanya hasil jerih payah umat agama tertentu saja. Karena itu NU berkomitmen dalam mengusung kerja-kerja kemanusiaan berdasarkan prinsip yang kukuh dipedomaninya; tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), tawassuth (moderat) dan ‘itidal (tegak lurus).

Baik harlah NU maupun tahun baru imlek, paling tidak kita bisa memaknai bahwa keduanya merupakan pengingat untuk kita, masyarakat bangsa, untuk kembali pada khitthah ‘Bhinneka Tunggal Ika’ dan kembali bangkit menjadi bangsa yang bersatu dan maju di bawah payung empat pilar kebangsaan; Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Kasus-kasus kekerasan dan intoleransi atas nama apapun, apalagi atas nama agama, tak ada ampun dan sudah seharusnya dihentikan. Karena kalau tidak, ia akan semakin membahayakan dan berujung pada radikalisme dan terorisme. Kesadaran itu dapat bermuara pada titik temu yang satu mana kala kita menyadari bahwa Indonesia menjadi milik bersama, karena itu sesama masyarakat bangsa perlu menumbuhkan kesadaran moral untuk saling menghargai dan mengasihi.

Apalagi harlah NU dan Imlek tahun ini, dirayakan di saat bangsa tengah dikepung oleh berbagai tindak koruptif dan inkonstitusional. Sudah seharusnya umat beragama, para tokoh dan pemeluknya bersatu padu untuk membangun sebuah kesadaran moral dan solidaritas kebangsaan yang kuat, agar nasib dan masa depan bangsa tak tergadaikan. Jangan lagi kita habiskan energi untuk mengurusi hal-hal parsial tak ada guna, sementara praktik politik manipulatif dan korupsi lekang dari perhatian kita. Ditambah jelang hajat demokrasi akbar April 2014 mendatang, sederet problem sosial kemanusiaan yang lain juga tak berangsur membaik; kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, dan lainnya semakin mewabah secara endemik. Kenyataan ini yang juga semakin berpeluang untuk dijadikan ajang untuk menarik simpati rakyat.

Merayakan Indonesia

Sebagaimana perayaan tahun baru Islam (hijriyah) dan tahun baru masehi, tahun baru Imlek merupakan perayaan masyarakat bangsa. Merayakan Imlek berarti merayakan Indonesia. Sungguh tak berdasar jika turut bahagia atas kebahagiaan umat agama lain dianggap sebagai sebuah sikap merusak agama dan keyakinan. Karena justru, agama menjadi spirit dan perekat untuk membingkai persaudaraan.

Spirit persaudaraan itu senada dengan spirit perdamaian dan kebangsaan. Spirit ini dapat juga kita ilhami dalam lima ajaran Konfusius, yakni Jen (kebajikan dari segala kebajikan), Chun-tzu (hubungan ideal antara sesama manusia), Li (kesopanan), Te (kebajikan atau kekuatan untuk memerintah), dan Wen (seni perdamaian). Lima ajaran Confucius ini sejatinya adalah ajaran universal yang juga terdapat pada agama-agama lain, tak terkecuali Islam.

Mari bersaudara, merajut kembali bhinneka tunggal ika, setia menjaga NKRI, selamat harlah NU yang ke 88, selamat tahun baru Imlek, Gong Xi Fat Cai!

Mamang M. Haerudin, Khadimul-Ma’had di pesantren Raudlatut Tholibin, Babakan-Ciwaringin dan Ketua LP3M STID Al-Biruni Cirebon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar