Selasa, 25 Februari 2014

Kang Sobary: Omong Kosong



Omong Kosong
Oleh: Mohamad Sobary

“Di mana-mana rakyat tertipu proyek omong kosong.”

Orang Jawa punya konsep tata ruang yang berbau magis dan sakral, “kosong, tapi isi”. Kelihatannya memang seperti sekadar gurauan dan main-main, tapi orang tahu, “kosong, tapi isi ini” berhubungan dengan yang duniawi dan yang adikodrati, yang fana dan yang kekal serta abadi, yang “di sini” dan yang “di sana”, dengan segenap yang “kini “ maupun “yang akan datang”.

“Kosong, tapi isi” pendeknya mencerminkan kematangan cara pandang dan perencanaan yang matang dan final.

Alun-alun keraton jelas merupakan ruang terbuka. Namanya juga alun-alun, itu adalah wujud tanah kosong.

Itu salah satu contoh terbaik mengambarkan makna kosong, tapi isi” tadi. “Kosong, tapi isi” merupakan ruang yang sudah mempunyai isi, tetapi tampaknya kosong. Isi tidak harus tampak ragawi. Isi tak harus bernilai rupiah. Isi akan tampak bila punya pengertian mengenai fungsi.

Zaman sekarang, konsep “kosong, tapi isi” dianggap omong kosong: percuma, sia-sia, tidak produktif, tidak efisien, dungu, menjunjung tinggi klenik dan mitos, serta segenap pemikiran maupun tindakan yang tidak rasional, tanpa kalkulasi, tanpa orientasi untung rugi.

Jadi, di mana-mana para pengembang selalu sensitif memberi arti masa depan bagi suatu lokasi. Daerah yang terbelakang, jauh dari pusat kemajuan, dan seperti tak ada harapan, para pengembang bisa membaca dengan tepat bahwa di masa depan wilayah ini akan menjadi kompleks hunian, sekaligus pusat dagang yang maju. Mereka pun siap menanam investasi besar-besaran.

Para pengembang, yang hanya tahu tanah kosong harus diisi bangunan dan bahwa yang kosong itu barang percuma, tersia-sia, dan tidak produktif, seperti disebut di atas, selalu sigap mengisinya dengan bangunan. Tata ruang tak diindahkan. Estetika dihancurkan. Ruang terbuka sebagai sumber udara bersih dan daya penampung air agar tidak banjir dianggap tidak punya arti sama sekali.

Banyak pengambang dan arsitek yang tak memiliki konsep tata ruang yang komprehensif, yang siap mengakomodasi dan menghormati makna “kosong, tapi isi” tadi. Para pengembang siap dengan lahap menelan kali, danau, kuburan, sekolahan, sekaligus masjid atau rumah suci lainnya. Itu untuk diperdagangkan.

Tata ruang hancur luluh berantakan tak dipedulikannya. Kota kehilangan estetika dan kenyamanan bagi penghuninya tak menjadi masalah. Mereka bicara efisiensi yang tidak efisien sama sekali. Mereka bicara keutungan besar hari ini dan siap mati terkubur bangunannya di hari esok.

Tak adanya konsep kosong, tapi isi” membuat tiap-tiap kota di negeri kita penuh jajaran beton kokoh, kuat, tapi kaku, dingin dan beku.

Kota, di mana-mana, kehilangan keceriaan, tawaran daya hidup yang penuh energi, dan tidak lagi segar, tidak lagi punya pesona. Kota, di mana-mana berisi warung, toko, supermarket, mal,dan dibanggakan sebagai simbol modern. Di banyak tempat disebut center of business district.

Siapa berani mengajukan proposal ke keraton-keraton untuk membangun mal di alun-alun? Siapa berani bermaksud mengisi “ruang kosong yang sudah punya isi” itu? Siapa berani menganggap alun-alun hanya tanah kosong yang dibiarkan percuma, sia-sia, tidak efisien, dan tidak produktif?

Mengapa para pengembang menahan keserakahan untuk tidak berusaha menelan alun-alun menjadi bangunan yang kelihatannya menghidupi ekonomi rakyat, tapi sebenarnyamembunuh mereka?

Di banyak lapangan bola, taman, dan pasar-pasar tradisional dilahap para pengembang atas izin bupati atau wali kota setempat. Di mana-mana para calon bupati dan calon wali kota, dalam kampanye mereka, berteriak hendak membangun dan mengubah daerah mereka menjadi modern.

“Kalau saya menjadi bupati atau wali kota, kubangun mal di sini, lambang modernitas bagi daerah kita. Pasar tradisional yang yang kumuh dan becek bakal kusulap menjadi pusat belanja serbaada, serbamodern, tempat warga di sini bisa membeli apa pun yang mereka butuhkan.”

Kita percaya pada kampanye yang intinya omong kosong itu. Menjual pasar tradisional untuk diubah menjadi mal atau pusat belanja modern, berarti membunuh kesempatan dagang warga masyarakat yang selama ini hidup dari pasar tradisional. Itu mematikan sumber ekonomi rakyat, tapi dianggap kemajuan dan tanda modern. Apa ini bukan omong kosong?

Pusat belanja, pusat dagang, mal-mal, dan toko-toko gemerlap dengan modal besar memang menggiurkan dan memberi tanda, seolah-olah daerah itu modern. Siapa pemilik pusat-pusat belanja itu? Pedagang setempat? Warga masyarakat ekonomi lemah yang ditampung di dalamnya?

Pemiliknya orang lain, yang tinggal di kota yang jauh dan keutungan bisnis itu mereka yang menguasainya. Ekonomi kelihatannya tumbuh di daerah itu. Tapi, siapa yang menikmati pertumbuhan? Di sana memang menjadi pusat peredaran uang, tapi uang siapa yang beredar itu. Kita tahu, bukan petani dan pedagang setempat yang punya.

Kerja sama pedagang besar dari tempat yang jauh dengan penguasa lokal yang omong kosong seperti ini sudah berlangsung lama. Tapi, omong kosong, yang betul-betu kosong tanpa isi, tanpa makna, ini tetap dilanjutkan. Penguasa setempat menjual pasar, masjid dan rumah suci lain, taman dan lapangan bola, kuburan dan kali, demi kemajuankah?

Apanya yang maju? Ini proyek omong kosong. Di mana-mana rakyat tertipu proyek omong kosong. Di mana-mana penguasa setempat serakah, manipulatif, dan omong kosong. Anehnya, orang percaya pada omong kosong. Kita doyan omong kosong. []

SINAR HARAPAN, 12 Februari 2014
Mohamad Sobary ; Budayawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar