Kamis, 20 Februari 2014

(Ngaji of the Day) Mudahnya Menuai "Hakekat"



Mudahnya Menuai “Hakekat”
Oleh: Muhamad Kurtubi

ADA kesan bahwa mendapatkan hakekat dari suatu perjalanan si hamba menuju Tuhan, merupakan pekerjaan yang sulit. Bahkan melelahkan. Apakah benar sarinya ibadah adalah hakekat itu sendiri. Dalam bahasa lain, apakah dengan menjalani ajaran syariat yang diwariskan dan diajarkan para Nabi otomatis memperoleh hakekat sekaligus?

Itulah hal yang mengganjal pikiran aneh saya yang selama ini mengedepankan cara beribadah sebagai bagian dari ritual (tarekat). Sebagai hamba yang doif (lemah) tentunya ingin memperoleh suatu hakekat sebagai bagian dari upaya menuju padaNya. Namun kendala di sana-sini banyak yang menggelayuti dan memberati langkah itu. Lantas pikiran aneh itu berterori bahwa hakekat itu semudah menikmati es krim!

Kira-kira itulah yang ingin saya posting di sini, bahwa mendapatkan hakekat itu semudah memakan eskrim, makan pisang, bahkan jeruk sekalipun. Sehingga mengapa susah-susah mencari hakekat padahal hakekat yang tersembunyi itu merupakan kausalitas dari apa yang ada di hadapan kita, tanpa harus mengerti makna dan ideologi hakekat itu sendiri.

Saat kita makan es krim, apakah kita harus mengetahui hakekat dari es krim itu sendiri? saya kira tidak! Karena ada sejuta bahkan milyaran pertanyaan dari es krim itu sendiri: misalnya siapa pembuatnya, berapa orang yang terlibat dalam pembuatan, apa bahan-bahannya, bagaimana bahan itu diperoleh, berapa jumlah bahan dan bagaimana nilai kimiawinya, jam berapa membuat, bagaimana kondisi di pembuat itu, apa ideologi pembuatnya, di mana mereka masing-masing tinggal, jam berapa mulai proses dan selesainya, di mana bahan pembuat es krim itu dijualnya, siapa penjualnya, berapa dibelinya; apa kandungan kimiawi dari es krim itu, dst. Yang kita nikmati adalah padahal sebuah es krim dan itu sangat menyegarkan. Di dalamnya ada vitamin dan gizi yang menyegarkan dan menyehatkan badan kita.

Demikian juga jika kita makan pisang atau jeruk. Kita tidak perlu mengerti hakekat buah pisang/jeruk itu sendiri: siapa penanam buah pisang itu, dimana tinggalnya, jam berapa ditanam dan jam berapa ditunai, berapa luas kebun itu, berapa jumlah jeruk/pisang saat di panen, bagaimana kehidupan si penanam pisang, apa yang dilakukan selama merawat buah pisang itu, berapa lama ia menanam, dan apakah isi dan gizi kandungan dari pisang itu. Dan masih jutaan pertanyaan dibuat untuk memahami hakekat sebuah pisang yang akan di lahap di tangan kita.

Saya kira, percuma dan bikin capek memahami hakekat buah pisang yang akan kita makan itu. Kecuali bagi yang nekad menghabiskan umurnya. Karenanya, secara singkat dapat di katakan bahwa, hakekat itu telah masuk ke dalam syareat itu sendiri. Sama halnya, vitamin C sudah include dalam buah pisang dan Jeruk itu sendiri. Tinggal kita makan (syariat) maka otomatis hakekat (kandungan manfaat) itu akan dirasakan dan dicerna secara otomatis ke dalam siklus makanan yang ada dalam tubuh.

Sama halnya, kita pun tidak perlu mengetahui bagaiaman proses vitaminosis dalam tubuh itu diketahui. Si tubuh secara otomatis memproses hakekat (sari makanan) itu dan tiba-tiba tubuh kita sehat walafiat, segar bugar dan bertambah besar, sehat cantik dan ganteng.

Demikian itu sama sama halnya dengan ibadah. Shalat, misalnya. Dengan mengerjakannya, ia sudah mengandung makna hakekat shalat. Karena ada milyaran pertanyaan misteri di seputar shalat itu sendiri. Silahkan bagi para filosof membahasnya. Zakat, puasa, haji dan syariat lainnya. Saya kira Tuhan sudah menginkludkan hakekat ibadah itu yang saya kira sama persis dengan Tuhan menciptakan pisang.

Tinggal dimakan dan rasakan manfaatnya: segar menyegarkan. Demikian pula degnan seremonial (ibadah) tinggal dilaksanakan, dan manfaatnya akan dirasakan sendiri.

Jika kemudian tidak merasakan manfaatnya, barangkali buah pisang yang dimakan atau jeruk itu sendiri beracun, mengandung kuman, terkontaminasi atau apalah istilahnya. Atau memang kita tidak suka memakan jeruk atau pisang karena sakit gigi, sakit tenggorokan atau memang alergi dengan pisang yang nikmat itu. Bahkan boleh jadi, ada yang beranggapan mengapa tidak suka pisang dan jeruk juga es krim karena dianggap makanan ikan teri yang bikin alergi.

Bagi para pencari hakekat yang belum dapat-dapat, maka saya kira dengan gambaran logika di atas, umur kita tidak akan cukup untuk memahami semua hakekat bahkan dari sebuah pisang di tangan kita sekalipun. Jadi, masihkah tertarik mengejar hakikat tanpa syariat?? Ah itu mah terserah masing-masing bae lah. Wallahu a’lam. []

Muhamad Kurtubi,
Santri Pondok Pesantren Buntet – Cirebon, lulusan MANU 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar