Selasa, 18 Februari 2014

Kang Komar: Pendidikan Politik



Pendidikan Politik
Oleh: Komaruddin Hidayat

Satu dasawarsa terakhir ini rakyat Indonesia mendapatkan pendidikan politik yang amat berharga bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.

Politik sebagai ilmu dan aktivitas akan selalu hidup dalam masyarakat dan negara mana pun di dunia. Kebutuhan masyarakat pada politik tak ubahnya kebutuhan masyarakat pada sandang, papan, kesehatan, dan keamanan. Pada dasarnya politik sebagai ilmu maupun aktivitas ingin memberikan bantuan dan janji-janji bagaimana memenuhi kebutuhan tersebut secara merata, tertib, dan berlangsung damai.

Kata “politik” itu sendiri sudah memiliki konotasi untuk menciptakan kehidupan yang tertib dan berkeadaban yang dibebankan terutama kepada polisi sebagai instrumen negara untuk mengatur warganya. Jadi, agenda pokok politik adalah menciptakan ketertiban, keamanan, dan kesejahteraan hidup warganya. Secara teoretis sekarang ini Indonesia memiliki ribuan universitas dan fakultas yang berkaitan langsung dengan pembelajaran bagaimana menyelenggarakan kehidupan bernegara dengan baik seperti ilmu politik, ilmu hukum, kebijakan publik.

Meski semakin banyak sarjana ahli ilmu politik dan hukum, masyarakat sering kali heran dan bertanya-tanya, mengapa kondisi politik semrawut dan agenda penegakan hukum semakin merosot? Pertanyaan dan gugatan senada juga dialamatkan kepada para sarjana tata kota dan ahli pengairan. Mengapa perkembangan kota-kota besar tidak tertata rapi, bahkan semakin kacau? Demikianlah seterusnya.

Keluhan serupa tentu saja bisa disampaikan kepada sarjana-sarjana dan profesor ahli dalam bidang ilmu lainnya, mengapa terdapat jarak yang menganga antara teori ilmiah yang dipelajari di kampus dan realitas sosial-politik yang tengah berlangsung dalam tubuh pemerintah dan masyarakat? Sekarang ini terdapat perkembangan dan kesempatan sangat menarik bagi mereka yang peduli serta ingin belajar politik, yaitu berlangsung pembelajaran politik yang tidak dibatasi di ruang kelas universitas saja, melainkan berlangsung di ruang kehidupan secara kasatmata, terutama melalui medium televisi (TV), radio, dan surat kabar. Bahkan juga bersentuhan langsung dengan para aktivis politik.

Sejak dari proses pembentukan partai politik, kampanye mengenalkan visi, misi, program, dan tokoh-tokohnya, semua itu merupakan pembelajaran politik yang amat berharga bagi rakyat. Dalam hal ini, peran televisi sangat fenomenal. Rakyat semakin akrab dengan wajah politisi nasional, dari partai politik (parpol) mana, bagaimana gaya bicaranya serta etikanya waktu berdebat dan berbagai aspek lain.

Begitu pun siapa-siapa saja para pengamat sosial-politik, rakyat semakin mengenal. Meskipun ongkos sosial dan material sangat mahal, selama satu dasawarsa terakhir ini bangsa Indonesia tengah menjalani sebuah proses pembelajaran dan metamorfosis menuju kedewasaan dan kecerdasan berpolitik untuk mewujudkan tata pemerintahan yang efektif, bersih, dan berwibawa. Dibandingkan dengan apa yang dialami beberapa negara di Timur Tengah, hiruk-pikuk demokratisasi dan reformasi di Indonesia tidak sampai menimbulkan perang saudara berdarah-darah seperti yang terjadi di Irak, Libya, Mesir, dan Suriah.

Sekarang ini tingkat kekecewaan terhadap proses politik dan penegakan hukum di Indonesia sudah kian merata dari Aceh sampai Papua. Begitu pun kepercayaan terhadap parpol kian tipis. Dari sisi pembelajaran politik, ini mengandung sisi positif. Artinya rakyat kian melek dan cerdas politik. Jika rakyat diposisikan sebagai mahasiswa, para ilmuwan politik dan elite parpol sebagai dosennya yang mesti menjelaskan, mengapa praktik politik di Indonesia mengalami pembusukan, lalu kapan model yang baik dan ideal menurut textbookyang baku?

Jadi, kalau satu dasawarsa terakhir ini merupakan bab yang menyajikan contoh politik amburadul, kapan rakyat diajak memasuki bab baru tentang politik yang rasional, etis, dan sehat? Yang juga ikut bertanggung jawab menyusun dan menyajikan kurikulum dan materi pembelajaran politik bagi rakyat adalah pemilik studio TV. Mereka telah berjasa menyajikan ruang kelas terbuka bagi publik tentang ragam teori dan praktik politik di Tanah Air. Pengelola TV mesti ikut mencerdaskan rakyat dan menjaga etika penyiaran. Ada beberapa TV yang lebih mementingkan bisnis dan kepentingan kelompoknya dengan mengabaikan tugas edukasi.

Kalau ini berkepanjangan, rakyat kita tidak akan naik kelas dalam belajar berpolitik. Mereka malah dibodohi dosen-dosen tidak bertanggung jawab yang agendanya sekadar mengejar keuntungan materi. Sangat dangkal dan banal. Yang menyedihkan, tetapi masih sulit diperbaiki, adalah proses dan kualitas rekrutmen wakil rakyat untuk duduk di lembaga perwakilan, baik di daerah maupun pusat.

Mereka berlabel wakil rakyat, tetapi rakyat tidak merasa diwakili, bahkan menganggap rendah wakilnya. Ini pembelajaran dan praktik politik yang tidak bagus. Kapan bab ini mesti tutup buku? []

KORAN SINDO, 07 Februari 2014
Komaruddin Hidayat ; Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar