Rabu, 26 Februari 2014

Diponegoro Menunda Perang di Bulan Ramadhan



Diponegoro Menunda Perang di Bulan Ramadhan

Pangeran Diponegoro adalah seorang pahlawan yang memiliki keraton paling luas di bandingkan dengan raja mana pun di pulau Jawa. Tentu saja karena keraton Diponegoro adalah lembah-lembah dan gunung-gunung yang sekaligus sebagai medan perang gerilyanya melawan penjajahan Belanda.

Kenyataan ini diakui sendiri oleh Belanda bahwa Diponegoro telah menguasai sebagian besar Jawa Tengah dan Jawa Timur pada tahun 1825 M. enam tahun sebelum ia ditangkap secara licik oleh Belanda pada bulan Maret 1930 M.

Ketika akhirnya Diponegoro berhasil dipojokkan di daerah Selarong, daerah antara Bogowonto dan Progo, dua sungai di wilayah Karesidenan Kedu, tetap saja Belanda tidak dapat mendekatinya secara langsung. Taktik Diponegoro yang selalu bergerak berpindah tempat benar-benar menyulitkan Belanda.

Diponegoro adalah seorang Sultan sekaligus ulama yang bertahta di atas kudanya dengan rakyat yang setiap saat siap mengorbankan nyawa untuknya. Belanda dengan sekuat tenaga terus merangsek dan melakukan tipu daya apapun agar dapat menahlukkannya. Bahkan mereka membuat sayembara dengan menjanjikan hadian 20.000 real kepada siapa pun yang dapat menangkapnya. Namun kenyataan ini sama sekali tidak membuat rakyatnya berhianat kepada Diponegoro.

Hingga pada tahun 1829 M. ketika Mangkubumi, pamannya yang merupakan pendukung utama perjuangannya yang sangat dihormati oleh Diponegoro dan selalu menyertainya kemana pun ia pergi, telah menyatakan menyerah kepada Belanda dan menyerahkan dirinya kepada Belanda. Ditambah dengan panglimanya yang muda dan tangguh Sentot Alibasya juga telah menyerahkan diri dan menerima hukuman dibuang ke Sumatera Barat untuk kemudian dipindahkan ke Bengkulu hingga wafatnya.

Maka tinggallah Diponegoro seorang diri beserta para pengikutnya yang masih setia dalam jumlah yang kian hari kian menipis. Namun Diponegoro tetap gigih meneruskan perlawanan sembari semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan memperbanyak sholat dan berdzikir.

Diponegoro mulai mempertimbangkan tawaran dari Belanda untuk mengadakan gencatan senjata dan memulai perundingan, pada bulan Pebruari 1930 M. Diponegoro mengirim berita kepada pihak Belanda bahwa ia siap menerima tawaran perundingan mereka. Maka segera saja pihak Belanda menyetujui dan ingin sesegera mungkin melaksanakannya.

Diponegoro pada awalnya menyetujui, namun beberapa hari kemudian ia membatalkan rencananya. Karena akan menghadapi bulan Ramadhan, Diponegoro kemudian menyatakan menunda keputusannya untuk berunding dengan Belanda. Diponegoro ingin menggunakan Bulan Ramadhan untuk sepenuhnya beribadah kepada Allah dan mengesampingkan kegiatan politik. Bagi Diponegoro, Bulan puasa terlalu mulia untuk digunakan sebagai waktu berbagi kekuasaan dengan Belanda. Ia menginginkan agar perundingan dilaksanakan setelah bulan Ramadhan selesai. Rupanya Diponegoro tidak ingin mencampuradukkan antara kegiatan dunaiwi dan ukhrowi pada bulan Ramadhan.

Belanda pun menyetujuinya, hingga perundingan baru dilaksanakan beberapa waktu setelah lebaran Idul Fitri. Namun rupanya Belanda berlaku licik dengan menyiapkan penyergapan terhadap Pangeran Diponegoro. karena tidak mengadakan persiapan peperangan, maka kelicikan Belanda dalam perundingan inilah yang mengakhiri Perang Jawa (Perang Diponegoro) dalam gelar perang besar. Selanjutnya Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado dan kemudian dipindahkan ke Ujung Pandang (Makassar) dan meninggal di Makassar pada tanggal 8 Januari 1855 M. []

Syaifullah Amin,
Disadur dari buku "Peperangan Kerajaan di Nusantara" karya Capt. R.P. Suyono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar