Kamis, 13 Februari 2014

Buya Syafii: Waktu dan Masalah Kedaulatan



Waktu dan Masalah Kedaulatan
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

MENGAPA kemunculan seorang Tri Rismaharini (Wali Kota Surabaya) atau seorang Joko Widodo (mantan Wali Kota Solo, sekarang Gubernur DKI Jakarta) demikian fenomenal dan memikat perhatian publik secara luas?

Jawabannya sederhana tanpa memerlukan banyak teori: karena keduanya dinilai memberikan contoh sebagai pemimpin yang prorakyat dan menjalankan tugas dengan bahasa hati. Setidak-tidaknya demikianlah kesan publik terhadap keduanya sampai hari ini.

Adapun ke depan, sekiranya keduanya diberi posisi yang lebih tinggi, apakah idealisme mereka masih bisa bertahan, kita tidak tahu. Godaan terhadap orang yang berkuasa pasti muncul dari segala penjuru, di semua lini, termasuk dari lingkungan pengusaha hitam, jika tidak waspada. Kewaspadaan ini harus disiapkan sejak dini dengan bersenjatakan mata rajawali, bukan mata kelelawar yang redup pada siang hari. Tidak banyak elite Indonesia yang kebal terhadap godaan benda dan kekuasaan.

Terpaku dan terpukaunya mata publik terhadap kedua tokoh itu tidaklah terlalu mengherankan. Bukankah ratusan pejabat publik yang lain di seluruh Nusantara lebih banyak disibukkan dengan urusan politik kekuasaan, di samping memikirkan bagaimana cara melunasi utang dana kampanye yang bisa menelan miliaran rupiah? Termasuk janji-janji mereka kepada cukong yang mahir ”berjudi” dalam mendukung politisi yang sedang bersaing, demi melebarkan sayap bisnis mereka, jika pihak yang didukung memenangi persaingan.

Semua ini bukan lagi rahasia, tetapi sudah menjadi pengetahuan orang banyak. Tri dan Jokowi dinilai relatif bersih sekalipun pasti juga telah mengeluarkan dana untuk jadi pemenang. Saya katakan relatif karena keduanya tidak mungkin bebas 100 persen dari dunia percukongan.

Dalam pusaran politik

Apa yang disebut politik uang adalah riil. Dalam suasana perlombaan terhadap kekuasaan yang sedang berjalan sekarang, kesetiaan pada idealisme sudah lama menguap ke langit tinggi. Maka, jika tuan dan puan sudah bosan dengan politik, itu masuk akal. Akan tetapi, larut dalam kebosanan sangat berbahaya karena bisa melumpuhkan perjalanan bangsa yang sebenarnya ingin menegakkan sistem demokrasi yang sehat dan kuat.

Manusia, di mana pun di muka bumi, tidak mungkin terhindar dari pusaran politik. Tugas kita sebagai rakyat adalah berupaya dalam batas kemampuan kita masing-masing agar politik itu dijadikan kendaraan untuk kepentingan orang banyak, bukan untuk mengorbankan mereka.

Politik yang mengorbankan rakyat banyak adalah jenis politik kumuh dan biadab. Sebaliknya, politik yang bersih dan beradab pasti bertujuan mulia membela kepentingan yang lebih besar, jauh melampaui parameter hitung-hitungan untung-rugi jangka pendek. Indonesia merdeka benar-benar memerlukan terciptanya politik yang beradab ini dalam tempo yang dekat. Sebab, jika berlama-lama terseret dalam kebiadaban berkepanjangan, waktu pasti akan menjadi ancaman serius terhadap nasib kita semua.

Kita sungguh sedang berlomba dengan waktu dan waktu itu bisa sangat kejam. Kata peribahasa Arab: ”Waktu itu ibarat pedang; jika tidak pandai menggunakannya, leher tuan dan puan akan dipancungnya”.Terlambat berarti merelakan proses pembusukan politik yang sedang berjalan ini semakin membusuk serta bisa menggiring bangsa dan negara menggali kuburan masa depannya.

Situasi menjelang Pemilu 2014, dalam perspektif kedaulatan bangsa dan negara, sungguh mencemaskan. Apa yang disampaikan Bung Karno dalam pidato ”Nawaksara” pada saat kekuasaannya sedang berada di ujung tanduk pada 22 Juni 1966 patut dicermati: ”Berdaulat dan bebas dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan, dan berdikari dalam ekonomi.” Semua ranah itu kini berada di tikungan sejarah dan di bawah ancaman, asing atau agen domestiknya, sehingga bangsa dan negara ini nyaris kehilangan kedaulatan, kepribadian, dan kemandirian dalam makna yang sejati.

Berdaulat penuh

Kemerdekaan bangsa tanpa kedaulatan adalah kemerdekaan palsu yang hanya bisa dinikmati mereka yang mengidap mentalitas terjajah. Di luar tampaknya merdeka, tetapi jiwanya telah dicuci pihak asing agar perasaan kemerdekaannya tumpul tak berdaya. Proklamasi kemerdekaan Indonesia bertujuan membebaskan bangsa dan negara ini dari suasana batin manusia budak dan manusia terjajah itu.

Apakah sistem demokrasi kita bisa digerakkan ke arah tujuan yang ”berdaulat penuh” itu? Jika mau, pasti bisa. Syaratnya: ucapkan ”selamat tinggal pada mentalitas budak dan mentalitas terjajah”.

Dengan pemenuhan syarat ini, waktu insya Allah akan berpihak kepada bangsa dan negara tercinta ini bersamaan dengan pulihnya kedaulatan penuh. []

KOMPAS, 04 Februari 2014
Ahmad Syafii Maarif ; Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar