Selasa, 11 Februari 2014

(Ngaji of the Day) Melepas Kopyah Menjatuhkan Murûah



Melepas Kopyah Menjatuhkan Murûah

Apa Murûah?

Secara bahasa murûah memiliki arti istiqâmah (konsisten). Secara istilah ada beberapa definisi, antara lain: memelihara tingkah laku sehari-hari dengan melakukan hal-hal yang baik, sehingga tidak tampak sesuatu yang tidak baik pada dirinya dan tidak mendapat celaan dari orang lain.

Diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda:

مَن عَامَلَ النَّاسَ فَلَمْ يَظْلِمْهُمْ ، وَحَدَّثَهُمْ فَلَمْ يَكْذِبْهُمْ ، وَوَعَدَهُمْ فَلَمْ يُخْلِفْهُمْ ، فَهُوَ مِمَّنْ كَمُلَتْ
مُرُوءَتُهُ وَظَهَرَتْ عَدَالَتُهُ وَوَجَبَتْ أُخُوَّتُهُ

Artinya: “Barangsiapa bergaul dengan orang lain lalu dia tidak berbuat aniaya; dia berbicara lalu tidak berdusta; dia berjanji lalu menepatinya, maka dia tergolong orang yang sempurna murûahnya, jelas sifat adilnya dan layak untuk dijadikan saudara.

Ada lagi yang mendefinisikan murûah dengan “berperangai atau bersikap layaknya orang yang setingkat/sekelompok dengannya, pada masa dan tempat/lingkungan di mana ia berada.”

Murûah perlu diberi embel-embel atau dibatasi dengan “masa dan lingkungan di mana seseorang berada”, sebab murûah itu sangat erat kaitannya dengan budaya atau kebiasaan (urf). Sedangkan kebiasaan (urf) jarang sekali bisa diberi batasan yang jelas, tapi lebih tergantung pada masing-masing individu, masa dan tempat/ lingkungan masyarakatnya.

Pendapat lain mendefinisikan murûah dengan menjaga diri dari perbuatan hina yang tidak mengandung dosa.

(Imam al-Mawardi dalam Adab ad-Dunya wa ad-Dîn, I/401, Sayid Muhammad Syatha ad-Dimyati dalam I’ânatu ath-Tâlibîn, IV/318 dan Mughni al-Muhtâj ilâ Ma’rifati Alfâdz al-Minhâj, XIX/359 [disarikan] )

Murûah dan Akal yang Sempurna

Bukanlah yang dimaksud dengan murûah hanya memperhatikan penampilan lahiriah. Murûah yang sejati ialah rela mengorbankan apa yang dimiliki untuk kepentingan orang banyak dan menjauhkan diri dari sebab-sebab yang menjatuhkan pada kehinaan, sebagaimana yang disampaikan para ahli hikmah.

Seseorang yang memiliki murûah senantiasa mengekang hawa nafsunya dan menempatkan hak pada tempatnya. Demikian ini bisa diraih oleh orang yang memiliki akal yang sempurna, dan dengan akalnya itulah dia mempunyai keistimewaan yang tidak dimiilki oleh mahluk lain yang tidak berakal. (Syekh Abdur Rauf al-Manawi dalam Faidhu al-Qadîr, IV/719 [disarikan] )

Hadits dan berbagai Komentar tentang Murûah

Diriwayatkan dari Sahabat Umar dari Nabi e bahwa beliau bertanya kepada seseorang dari Bani Tsaqif: ”Apakah murûah itu?”. Orang itu menjawab: “Kesalehan dalam agama, meningkatkan kesejahteraan, kedermawanan diri dan menjalin tali persaudaraan”. Lalu Nabi bersabda: ”Begitulah murûah dalam pandangan kita sebagaimana dalam hikmah keluarga Dawud”.

Sutu ketika, para Sahabat berdiskusi tentang murûah di sisi Nabi e, lalu beliau bersabda:

أَمَّا مُرُوءَتُنَا فَأَنْ نَغْفِرَ لِمَنْ ظَلَمَنَا ، وَنُعْطِيَ مَنْ حَرَمَنَا وَنَصِلَ مَنْ قَطَعَنَا ، وَنُعْطِيَ مَنْ حَرَمَنَا

Artinya: “Adapun murûah kita adalah memaafkan orang mendzalimi kita, memberi kepada orang yang tidak memberi kita dan menyambung persaudaraan dengan orang yang memutus persaudaraan dengan kita”.

Al-Ahnaf pernah ditanya mengenai murûah, beliau menjawab: “Memahami urusan agama, berbakti kepada kedua orang tua dan tabah atas ujian”.

Imam Ibnu Syihab az-Zuhri juga pernah ditanya mengenai murûah, beliau menjawab: “Menjauhi keragu-raguan, memperbaiki harta benda dan memenuhi kebutuhan keluarga.” (al-Âdâb asy-Syar’iyah, II/318-319)

Contoh-contoh Perbuatan yang Merusak Murûah

Perbuatan-perbuatan yang menjatuhkan harga diri itu berbeda-beda tergantung masing-masing individu, kondisi dan lingkungannya. Di suatu daerah perbuatan tertentu bisa diangap menjatuhkan harga diri, di daerah lain bisa jadi tidak. Di samping itu, sering atau tidaknya melakukan perbuatan yang menjatuhkan harga diri juga menjadi peninjauan. Artinya, ada perbuatan tertentu yang bila dilakukan satu kali saja sudah dianggap menjatuhkan harga diri; adapula perbuatan lain yang tidak dianggap menjatuhkan harga diri bila bila hanya dilakukan hanya satu kali.

Orang-orang yang bukan orang pasaran jika makan di pasar, berjalan-jalan dengan tidak memakai kopyah atau melepas baju (selain aurat) sudah dianggap menjatuhkan murûah. Mencium atau meraba-raba bagian sensitif tubuh istrinya di hadapan khalayak ramai, sering bermain catur, suka melucu, berjoget, mendengarkan lagi-lagu nyanyian, semuanya itu dapat menjatuhkan murûah.

Orang-orang yang tidak menjaga murûahnya persaksiannya tidak diterima, karena dia tidak memiliki rasa malu, orang yang tidak punya rasa malu akan berbicara seenaknya.

(Mughni al-Muhtâj ilâ Ma’rifati Alfâdz al-Minhâj, XIX/359-360, Sayid Muhammad Syatha ad-Dimyati dalam I‘ânatu ath-Tâlibîn, IV/318-319 [disarikan] )

Penulis : Ahmad Muzakki Kholil
Sumber : Buletin Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan – Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar