Senin, 24 Februari 2014

BamSoet: Agresivitas Pemberantasan Korupsi dan Klaim SBY




Agresivitas Pemberantasan Korupsi dan Klaim SBY

Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI
Fraksi Partai Golkar
 

GELEMBUNG dana talangan Bank Century yang tidak bisa dipertanggungjawabkan pemerintah dan Bank Indonesia (BI) otomatis mereduksi klaim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengenai agresivitas pemberantasan korupsi di masa kepresidenannya.  Progres pemberantasan korupsi sekarang ini sangat maju lebih karena faktor keberanian dan indepedensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ceritanya akan berbeda jika institusi dan kepemimpinan KPK bisa dikooptasi oleh kekuasaan seperti era kepemimpinan KPK sebelumnya.  Semua orang ingat bahwa sampai di penghujung tahun 2011, terjadi stagnasi atas proses hukum kasus Bank Century. Sama sekali tak ada kemajuan. Saat itu, beberapa kalangan sampai membuat anekdot dengan bertanya ‘Apa Kabar Kasus Bank Century’? Soalnya, sejak usai paripurna DPR Maret 2010 hingga Desember tahun 2011, tidak ada orang penting yang dijerat KPK.

Sejak kepemipinan baru KPK mulai bekerja pada 2012, proses hukum mega skandal ini mulai terlihat progresnya. Selain menetapkan status tersangka terhadap dua mantan deputi gubernur BI, KPK juga memeriksa ulang mantan Menteri Keuangan/Ketua KSSK Sri Mulyani dan Wakil Presiden Boediono dalam kapasitasnya sebagai mantan Gubernur BI/anggota KSSK. Bahkan Pemeriksaan Boediono justru mengungkap masalah baru, karena tidak ada yang mau bertanggungjawab atas terjadinya gelembung dana talangan Bank Century sampai Rp 6 triliun lebih.

Selain kasus Bank Century, dewan kepemimpinan KPK terkini pun akhirnya berani mengakhiri kejanggalan dalam proses hukum kasus suap pemilihan Deputi Gubernur BI pada 2004. Sebelumnya, kasus ini dinilai khalayak aneh, karena penerima suap dihukum, sementara pemberi suapnya tak pernah diajukan untuk menjalani proses hukum. Sejumlah politisi yang didakwa menerima suap sudah divonis pengadilan Tipikor sejak Mei 2010.

Selama hampir dua tahun, pihak penyuap dalam kasus ini tak tersentuh. Baru pada akhir Januari 2012, KPK menetapkan Miranda Swaray Goeltom sebagai tersangka dalam kasus ini. Jelang akhir September 2012, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis tiga tahun penjara kepada Miranda.

Kejanggalan proses hukum kasus suap pemilihan Deputi Gubernur BI 2004 bisa terjadi karena KPK mendapat tekanan dari oknum penguasa. Tekanan itu tak bisa dielak karena KPK saat itu dicurigai tidak independen. Demikian juga alasan dibalik stagnasi proses hukum kasus Bank Century. Artinya, agresivitas pemberantasan korupsi sangat bergantung pada independensi dan keberanian KPK. Peran pemerintah relative minim.

Maka, kalau kasus penggelembungan dana talangan Century itu bisa dipertanggungjawabkan pemerintahan SBY-Boediono, baru sebagian saja klaim SBY itu terpenuhi . Sebagaimana diketahui, Ketika memberi sambutan pada acara Penandatanganan Komitmen Bersama Peningkatan Akuntabilitas Keuangan Negara di Auditorium BPK RI, Rabu (22/1), SBY mengklaim, di masa pemerintahannya, kampanye anti korupsibegitu agresif. SBY bahkan menyebut agresivitas pemberantan korupsi seperti sekarang ini tak pernah terjadi pada kepemimpinan presiden-presiden sebelumnya.

Karena alasan itu, SBY menegaskan bahwa meski pemberitaan mengenai korupsi mendapat tempat paling besar di media saat ini, bukan berarti di pemerintahan sebelumnya tidak pernah terjadi korupsi. “Karena yang terjadi sebenarnya, dulu koruptor bisa bersembunyi dari tangan hukum, saat ini sudah tidak bisa melakukannya lagi,” kata SBY.

Benar bahwa korupsi selalu terjadi di setiap era pemerintahan sebelumnya. Namun, setelah Orde Baru mewariskan mega skandal Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI), baru di era kepresidenan SBY-lah terjadi sejumlah mega skandal bernuansa korupsi. Dari skandal Bank Century, skandal penganggaran proyek Hambalang, hingga skandal suap pengaturan impor daging Sapi serta skandal suap dalam kasus yang melibatkan mantan Kepala SKK Migas. Belum lagi skandal terkait grasi untuk terpidana narkoba Meirika Franola alias Ola, serta skandal kebijakan turun-naik harga gas elpiji tabung 12 kilogram pada awal 2014 ini.
Kartel Pangan
 
Maka, untuk menyempurnakan akurasi klaim SBY itu, KPK perlu lebih agresif mengejar Sengman Tjahya. Bisa dipastikan bahwa jika nantinya pisau penyelidikan kasus suap impor daging sapi dipertajam saat KPK memeriksa Sengman, akan terungkap praktik kartel impor bahan pangan kebutuhan pokok rakyat. Seperti diketahui, pengendali kartel impor daging sapi adalah sosok perempuan berjuluk Bunda Putri dan pengusaha properti asal Palembang bernama Sengman Tjahya itu. Keduanya mengklaim dekat dengan presiden. Bahkan Bunda Putri bisa menentukan jabatan seseorang di sebuah kementerian.

Sejak identitas mereka disebutkan di pengadilan Tipikor yang menyidangkan para terdakwa kasus suap impor daging sapi, keduanya belum diperiksa KPK. Sengman pernah dipanggil, tetapi belum sekali pun memenuhi panggilan KPK. Pendekatan hukum terhadap Bunda Putri pun belum jelas pentahapannya. Dia seperti dibiarkan bersembunyi  karena diduga ada yang memberinya ‘imunitas’. Padahal, mencari wanita ini mestinya sangat mudah karena dia berstatus istri seorang pejabat di Kementerian Pertanian.

Agenda Pemeriksaan Sengman oleh KPK dalam kasus suap impor daging sapi bisa dijadikan pintu masuk untuk membongkar praktik kartel pangan.  Kepedulian dan keberanian KPK mengeliminasi kratel pangan akan meringankan beban berat kehidupan rakyat akibat tingginya harga aneka kebutuhan pokok.

Menyusul pengungkapan perannya dalam kasus suap impor daging sapi, sudah bermunculan cerita tentang sepak terjang Sengman dalam dunia bisnis. Sengman memang dikenal sebagai pebisnis properti. Namun, beberapa tahun belakangan ini, Sengman dan kawan-kawannya juga fokus pada bisnis impor bahan pangan. Ketika terjadi kelangkaan komoditi kedelai, muncul dugaan bahwa kelangkaan terjadi akibat ulah kartel kedelai.

Februari 2013 lalu, Komite Ekonomi Nasional (KEN) menyatakan ada indikasi kartel pangan di Indonesia, termasuk kartel kedelai. KPPU juga mengaku punya indikasi peran kartel dalam pengadaan kedelai dan impor komoditi bawang putih. Artinya, sudah tiga komoditi yang dikuasakan Kemendag kepada kartel, meliputi daging sapi, kedelai dan bawang putih.

Maka, pada proses pemeriksaan Sengman, ada baiknya penyidik KPK juga menanyakan pengetahuan Sengman tentang impor komoditi pangan lainnya. Diyakini bahwa pengendali kartel bahan pangan bukan komisaris atau direksi perseroan yang ditunjuk Kemendag sebagai pelaksana impor. Pengendali kartel pastinya sosok tertentu yang sangat dekat dengan kekuasaan. Dan, figur seperti Sengman serta Bunda Putri memenuhi persyaratan sebagai pengendali sepak terjang kartel bahan pangan karena kedekatan mereka dengan penguasa.

Bukankah sosok Bunda Putri mengaku bisa memengaruhi arah kebijakan kabinet? Sedangkan Sengman, kepada Menteri Pertanian, mengaku dekat dengan Presiden. Kalau tidak powerfull, siapa pun tak mungkin bisa membentuk kartel. Sebab, untuk membangun kartel, tumpukan uang sogok saja tak cukup. Anda harus di-back up oleh pusat kekuasaan yang titahnya harus ditaati, tanpa reserve.

Rakyat sudah memberikan apresiasi atas keberanian KPK membongkar praktik korupsi dalam proses perizinan di sektor industri minyak dan gas. Setelah kasus suap kepala SKK Migas, KPK juga diharapkan memperluas jangkauan penyelidikan pada kasus lain di sektor Migas yang selama ini belum tersentuh penegak hukum.

Namun, kasus lain yang juga sangat penting untuk ditangani adalah praktil kartel dalam impor bahan pangan. Sangat penting karena kasus ini menyangkut perut lebih dari 200 juta rakyat Indonesia. Jangan lupa, kartel bahan pangan eksis karena akses dari penguasa. []


Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar