Rabu, 05 Februari 2014

(Ngaji of the Day) Pers Sebagai Pasar bagi Agama



Pers Sebagai Pasar bagi Agama

“Sebuah perang, senjatanya pena!” tulis Dr. Muhammad Ismail Muqaddam dalam bukunya, Audatul-Hijâb. Psikiater religius di Mesir itu bercerita panjang lebar mengenai gencarnya serangan media massa terhadap ajaran aurat dan ruang perempuan dalam Islam.

Memang, ada beberapa aspek ajaran Islam yang hampir selalu menjadi sasaran tembak media massa, seperti hijab, poligami, politik Islam, jihad, kisas-had, dan lain sebagainya. Hal itu, karena gaya hidup dan opini dunia memang sedang berada di bawah pengaruh hebat dunia Barat. Akibatnya, ajaran-ajaran yang bertentangan dengan misi Barat senantiasa menjadi wilayah sasaran dalam perang pena tersebut.

Televisi, radio, koran, majalah, internet dan media-media yang lain, secara sengaja atau tidak, umumnya telah menjadi pemasar gaya hidup dan opini yang dimiliki oleh bangsa-bangsa yang sedang mencengkramkan hegemoni di dunia. Ini sebetulnya fenomena alamiah, sebab umat manusia memang cenderung meniru hal-hal yang dimiliki oleh kelompok/bangsa yang sedang menghegemoni.

Kehidupan dan pemahaman terhadap agama, secara otomatis, juga menjadi sasaran hegemoni atau minimal mengalami imbas buruk dari perang tersebut. Dr. Thaha Abdul Fattah, pakar Ushuluddin di Universitas Islam Madinah, menyatakan: “Saat ini, kita banyak menemukan siaran-siaran yang memasarkan akidah dan aliran-aliran sesat, baik secara teoritis maupun praktis. Bahkan, siaran-siaran itu senantiasa berjuang keras untuk memberikan pemahaman bahwa dalam Islam, agama bukanlah dunia. Ironisnya, yang berangkat dari ketidaktahuan akan hakikat Islam ini, telah meracuni banyak kaum terdidik di negeri-negeri Islam, akibat dari pengaruh materialisme dan sekularisme.”

Pernyataan ini, sebagaimana sebelumnya, juga memiliki keyakinan kuat bahwa dunia pers seringkali menjadi corong untuk menanamkan pemahaman yang salah tentang agama. Ada yang secara khusus memiliki misi untuk itu, ada pula yang hanya sekadar terikut oleh trend opini dan gaya hidup yang sedang dominan.

Dulu, di Abad Keempat Hijriah, di masa Abbasiyah, kelompok intelektual yang tergabung dalam Ikhwanus Shafa, aktif menerbitkan risalah sampai sekitar 50 edisi. Melalui gerakan intelektual bawah tanah, mereka ingin mempengaruhi masyarakat dengan paham-pahamkeagamaan yang dihegemoni oleh pikiran-pikiran filsafat. Bersama dengan karya filsuf-filsuf lain, risalah Ikhwanus Shafa ditengarai memiliki pengaruh besar dalam membawa umat Islam memuja filsafat dan menjadi penganut aristotalian. Hal ini tidak hanya terjadi di Basrah, tempat kemunculan Ikhwanus Shafa, tapi juga di pusat-pusat keilmuan yang lain. Hingga akhirnya, Imam al-Ghazali merobohkan pengaruh itu melalui karya beliau Tahâfutul-Falâsifah.

Oleh karena itu, para pakar dakwah, seperti tidak pernah lupa menyelipkan pesan akan pentingnya dunia pers sebagai alat dakwah. Ibarat sebuah pertempuran: menangkis pedang dengan pedang; melumpuhkan rudal dengan rudal; dan kalau mungkin berbalik menyerang dengan senjata yang digunakan lawan. “Hiya silâhun dzu haddain (media massa adalah pisau bermata dua),” tegas Abdul Aziz bin Baz, tokoh ulama Wahabi di Makkah dalam fatwanya.

Dulu, Rasulullah r menggunakan para penyair Muslim sebagai senjata untuk menangkis sajak-sajak orang-orang kafir yang mengejek beliau dan menghina agama Islam, juga untuk menyerang orang-orang kafir dan segala kesesatan mereka. Saat itu, dalam tradisi Arab, sajak (syair) memang merupakan media paling kuat untuk mempengaruhi opini masyarakat. Orang Arab pada saat itu belum memiliki tradisi menulis, tapi mereka memiliki tradisi yang sangat mengakar dalam menghafal sajak para pujangga. Sehingga, para raja dan penguasa Arab-Persia di masa Pertengahan, umumnya, memiliki para penyair istana. Mereka bertugas menggubah sajak-sajak pujaan dan menyuarakan kehebatan penguasa kepada rakyatnya. Fungsi ini mirip sekali dengan media massa yang dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu saat ini. Media massa diterbitkan untuk menyuarakan visi-misi dari pemiliknya.

Jadi, para penyair dari kalangan Sahabat, seperti Abdullah bi Rawwahah, Hassan bin Tsabit, Amir bin al-Akwa’ dan Kaab bin Zuhair, memiliki posisi strategis di jagat opini, sebagaimana posisi strategis yang dimiliki oleh para insan pers pada masa modern ini. Saat itu, sajak adalah propaganda. Sajak adalah media massa (wasâilul-i’lâm). Sajak juga merupakan sarana untuk mempengaruhi opini publik dan melumpuhkan mental lawan, baik dalam perang fisik maupun perang pemikiran. Sajak merupakan media alternatif dakwah yang mendampingi cara-cara tabligh dan uswah yang diberikan oleh Rasulullah.

Pada masa ini, akar syair di jagat opini sudah tak sekuat di Arab tempo dulu. Peranannya diganti oleh pers dengan pengaruh yang mungkin jauh lebih kuat dan mengakar. Maka, oleh karena itu, para aktivis dan pemerhati dakwah senantiasa mengingatkan pentingnya menyuarakan dakwah melalui media massa. Abul A’la al-Maududi, pemuka ulama Pakistan, adalah salah satu tokoh yang sangat masyhur mengenai manhajnya dalam menjadikan media massa sebagai sarana dakwah. Buah pikirannya tentang Islam sebagai jalan hidup banyak memberikan pengaruh di Pakistan, India dan belahan dunia lain, berkat media massa dan tulisan-tulisan bukunya.

Penggunaan media massa merupakan sarana yang sesuai dengan tiga landasan umum dakwah yang ditetapkan oleh al-Qur’an, yaitu al-hikmah (hujah-hujah yang kuat) , al-mauizhah al-hasanah (nasehat bijak) dan al-mujâdalah bil-latî hiya ahsan (melumpuhkan pemikiran lawan dengan cara yang baik). Tiga hal ini sangat cocok untuk dipakai sebagai landasan dakwah dengan menggunakan media cetak, tulis, audio, visual maupun teknologi informasi.

Media-media informasi itu dibutuhkan untuk mendampingi pendidikan pesantren, madrasah dan sekolah-sekolah agama, majelis taklim, pengajian dan semacamnya, dalam memberikan pemahaman keagamaan yang benar terhadap masyarakat. Sebab, banyak sekali sasaran yang tidak mampu dijangkau oleh lembaga pendidikan, tapi dapat dijangkau dengan mudah oleh media-media informasi semacam koran, majalah, radio, televisi, juga teknologi informasi.

Dakwah tak hanya butuh semangat, tapi juga piranti yang tepat dan sesuai dengan obyeknya. Dan, di era informasi ini, tentu saja pers muncul sebagai piranti yang harus betul-betul diperhitungkan. Dunia pers adalah pasar yang menantang untuk menawarkan agama. []

Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan – Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar