Kembali Fitri, Kembali pada Peradaban
Oleh: Said Aqil Siraj
Puasa Ramadhan telah berakhir dan Idul Fitri kembali menyapa kita.
Idul Fitri bermakna hari kembali sucinya jiwa umat Muslim setelah bergulat
dengan puasa dan rangkaian ibadah sebulan penuh selama Ramadhan. Di negeri
kita, perayaan Idul Fitri memiliki kekhasan tersendiri, yakni sering
diistilahkan dengan "Lebaran" yang tidak saja menjadi milik umat
Muslim secara eksklusif, tetapi juga telah menjadi kultur bangsa yang unik.
Tepatlah di momen ini, kita perlu mengudarakan kembali refleksi
terhadap makna tamaddun yang berarti keperadaban. Sebuah model masyarakat yang
hendak dicitakan oleh Islam dan telah diteladankan oleh Nabi Muhammad.
Masyarakat yang berperadaban berarti masyarakat yang menjunjung
tinggi akhlak dan martabat serta mengelola pluralitas menjadi kekuatan yang
positif. Cita-cita inilah menjadi titik sentral misi kerasulan Nabi Muhammad
lewat sabdanya, "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak
manusia menjadi lebih mulia."
Budaya keperadaban
Pejuang-pejuang kebangsaan Indonesia sejak dahulu semuanya
mempelajari dan mempraktikkan budaya jujur, adil, arif-bijaksana, tertib, dan
disiplin, moderat dan rendah hati. Unsur-unsur budaya beradab tersebut
dipraktikkan dengan pengalaman jatuh-bangun untuk membangun diri dan bangsa
menjadi insan beradab, bermartabat, dan terhormat.
Transformasi berkeadaban dan bermartabat itu dilakukan melalui
interaksi yang santun dan dialog yang produktif dalam masyarakat yang plural.
Di mulai dari pemahaman perorangan, keluarga, dan masyarakat tentang perlunya
cinta kasih antara sesama, memupuk rasa keindahan, empati dalam penderitaan dan
kegelisahan orang lain, menghormati hukum dan keadilan, memiliki pandangan
positif untuk hidup bersama, mempunyai tanggung jawab dalam pengabdian, serta
memiliki harapan yang optimis dalam kehidupan.
Keadaban ini jelas bergayut dengan kesadaran terhadap kemajemukan.
Masyarakat majemuk dapat dipahami sebagai masyarakat yang terdiri dari berbagai
kelompok dan strata sosial, ekonomi, suku, bahasa, budaya, dan agama. Di dalam
masyarakat majemuk, setiap orang dapat bergabung dengan kelompok yang ada,
tanpa adanya rintangan-rintangan yang sistemik yang mengakibatkan terhalangnya
hak untuk berkelompok dengan kelompok tertentu.
Dari sejarahnya, masyarakat Indonesia yang beradab dan bermartabat
sudah pernah lahir sebagai kekuatan dunia dalam kerajaan-kerajaan, seperti
Sriwijaya, Majapahit, dan kesultanan-kesultanan Islam sejak abad ke-9 sampai
abad ke-15. Realitas sejarah mengesankan kepada generasi sekarang bahwa bobot
dan kualitas berkeadaban dan bermartabat itu lahir dari rahim masyarakat yang
majemuk.
Moto Bhinneka Tunggal Ika merupakan cantelan dalam berkehidupan
bermasyarakat yang beradab dan bermartabat. Moto ini adalah cita-cita adiluhung
bangsa Indonesia untuk terciptanya masyarakat yang beradab dan bermartabat.
Upaya untuk mencapai kualitas hidup yang optimal untuk menjadi
lebih sejahtera, berkeadilan, dan berkemakmuran, niscaya akan membawa
masyarakat dapat duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan bangsa-bangsa
lain di dunia.
Untuk itulah, diperlukan infrastruktur harmonisasi sosial dalam
kehidupan bersama. Menghormati pluralitas harus sejalan dengan menghormati
peradaban dan martabat. Tidak ada artinya pluralitas kalau yang dipertahankan
adalah budaya primitif, keterbelakangan, dan hanya asal berbeda dengan alasan
kemurnian penghormatan budaya lokal atau hak asasi manusia tanpa mempertimbangkan
hak manusia lainnya dalam sistem kehidupan bersama.
Sikap sadar kemajemukan berarti pula sikap sadar terhadap
multikultural. Artinya, sikap ini menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam
kesederajatan. Konsep tersebut mengajak masyarakat dalam arus perubahan sosial,
sistem tata nilai kehidupan dengan menjunjung tinggi toleransi, kerukunan dan
perdamaian, serta menghindari sejauh mungkin konflik atau kekerasan meskipun terdapat
perbedaan sistem sosial di dalamnya.
Konsep multikultural tidaklah hanya disamakan dengan konsep
keanekaragaman yang hanya menggambarkan bahwa kita beragam secara agama, suku
bangsa, atau kebudayaan yang menjadi ciri khas masyarakat majemuk. Yang terpenting,
multikultural lebih menekankan adanya saling menghargai dan rasa memiliki dalam
kesederajatan serta meningkatkan solidaritas yang menuntut kita untuk melupakan
upaya-upaya penguatan identitas. Kehidupan multikultural adalah landasan
kesadaran akan keberadaan diri tanpa merendahkan yang lain.
Bumi kedamaian
Bangsa Indonesia sendiri adalah bangsa yang hidup dalam suasana
pluralitas dan multikultural sehingga terbiasa dengan berbagai perbedaan, serta
menerima perbedaan tersebut dengan prinsip hidup berdampingan secara damai.
Jangan sampai dalam mengarungi arus modernisasi dan derap
perubahan sosial yang cepat, kedamaian yang sudah berlangsung lama itu
terganggu dengan munculnya konflik-konflik sosial, radikalisme, atau terorisme
dengan semangat buta pembelaan etnik dan agama sehingga integritas
keindonesiaan dan kerukunan, terutama kerukunan umat beragama yang pernah
dibanggakan bahkan diakui oleh bangsa lain, menjadi luntur.
Kebinekaan merupakan kekayaan. Keberadaan dan perbedaan agama
jelas sebagai rahmat yang harus disyukuri. Agama datang untuk kehidupan, demi
membangun kehidupan yang tenang, aman, dan damai. Namun, jika kehidupan ini
dijadikan sebagai industri kekerasan, tentu hidup manusia tidak akan aman.
Karena itu, perlu dikembalikan menjadi industri kecintaan yang
diharapkan tercipta suatu kedamaian. Ada dua pilihan hidup di dunia ini. Untuk
menjadikan rahmat atau dihancurkan oleh globalisme. Supaya kita menjadi rahmat,
kita harus saling mengakui pluralitas. Di antara tanda-tanda kebesaran Tuhan,
penciptaan dunia ini dan perbedaan lidah dan bahasa kita, kita harus
mengembalikan integrasi dan kerja sama sesama kita.
Bumi ini diciptakan untuk kita semua. Semua berhak hidup di
bumi ini. Kita harus berpacu untuk memuliakan manusia demi keberlangsungan
hidup mereka. Justru yang harus kita lawan adalah kezaliman dan kekerasan
karena hanya akan melawan kefitrian. Nah, momentum Idul Fitri kali ini dapat
dijadikan sebagai peneguhan kembali dari kita semua demi membangun hidup yang
harmonis dan penuh tenggang rasa dalam berbangsa dan bernegara. []
KOMPAS, 05 Juli 2016
Said Aqil Siraj ; Ketua Umum PBNU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar