Demitologisasi
Perang Ramadhan
Oleh:
Azyumardi Azra
Ramadhan
1437 lalu agaknya merupakan bulan puasa di mana paling banyak Muslim yang tewas
dalam kekerasan yang dilakukan kelompok radikal teroris—tepatnya ISIS—di di
negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim sejak dari Turki, Iraq, Syria.
Bangladesh, Arab Saudi, Yaman, sampai Indonesia. Terdapat pula cukup banyak
non-Muslim yang menjadi korban di tempat-tempat tertentu Amerika Serikat
dan Eropa dalam serangan bom bunuh diri yang dilakukan atas nama ISIS atau
diklaim ISIS sendiri sebagai aksi mereka.
Bulan
Ramadhan yang seharusnya menjadi momen pengendalian diri dari hawa nafsu
angkara murka, justru dijadikan segelintir Muslim ekstrim dan teroristik
sebagai waktu ‘paling tepat’ untuk menghancurkan Muslimin lain—yang berbeda
paham, namun merupakan arus utama. Menurut beberapa laporan, korban serangan
kelompok ISIS di berbagai tempat di Dunia Muslim lebih dari 800 jiwa.
Kekerasan
ISIS mulai sejak hari pertama Ramadhan (6 Juni) ketika ISIS mengeksekusi
sekitar 65 orang—kebanyakan mahasiswa—di Mosul, Irak. Kemudian, sepekan
Ramadhan, bom bunuh diri dilakukan Omar Mateen atas nama ISIS di klub malam gay
di Orlando, Florida, AS, pada 12 Juni yang menewaskan tidak kurang 49
orang.
Selanjutnya
29 Juni, bom meledak di bandara Ataturk Istanbul, Turki, yang menewaskan 49
orang. Menjelang Idul Fitri bom bunuh diri yang dibawa anggota ISIS di
Baghdad, Iraq, menewaskan sekitar 290 orang; di Dakha, Bangladesh mematikan
sekitar 30 orang (kebanyakan warga asing); di Madinah, Jeddah dan Qatif (semua
di Arab Saudi) membunuh tujuh orang—dan terakhir di Surakarta, Indonesia,
menwaskan satu orang—pembawa bom itu sendiri.
Kenapa
aksi teror justru meningkat dalam masa Ramadhan? Salah satu penyebab utamanya
adalah semacam ‘mitologisasi’ terhadap ‘perang’ yang pernah dimenangkan kaum
Muslim dalam bulan Ramadhan. Mitologisasi itu dilakukan orang atau kelompok
ekstrim terhadap Perang Badr yang dilakukan Nabi Muhammad SAW melawan kaum
kafir Quraysh. Dalam Perang Badr, 17 Ramadhan 624, laskar Muslim yang berjumlah
313 orang berhasil mengalahkan kafirun Quraysh yang berjumlah tiga kali lipat,
sekitar 1.000 orang.
Dalam
mitologisasi ini, orang dan kelompok ekstrim melupakan kenyataan bahwa Perang
Badr merupakan ‘perang eksistensial’ bagi kaum Muslimin menghadapi orang kafir
Quraysh yang ingin menghancurkan mereka. Perang Badr jelas bukan perang sesama
Muslim.
Tetapi,
realitas Perang Badr berbeda dengan pandangan dan sikap orang dan kelompok
ekstrim. Mereka menggunakan motif Perang Badr untuk menyerang dan menghancurkan
Muslim lain yang berbeda sikap politik dan paham keagamaan dengan mereka.
Dengan begitu mereka telah mempelintir kenyataan terkait Perang Badr sesuai
kepentingan politik mereka sendiri.
Meski
demikian, mitologisasi yang sudah dipelintir itu berlanjutnya dengan adanya
sejumlah perang lain yang terjadi sekitar Ramadhan dan pascaramadhan. Dalam
perang-perang Ramadhan itu, balatentara Muslimin berhasil mengalahkan
musuh.
Perang
Ramadhan tersebut, antara lain; Perang Khandak (627M); Perang Tabuk (630);
penaklukan pulau Rhodes, Yunani (653); perang Andalusia, Spanyol, di bawah
pimpinan Tariq bin Ziyad dengan mengalahkan Raja Roderick (710); perang
‘lailatul qadar’ di bawah komando Sultan Saladin membebaskan Baytul Maqdis dari
kekuasaan Crusaders (Salib, 4 Juli 1187); Perang Ayn Jalut, dengan
mengalahkan pasukan Mongol (1260); dan di masa moderen-kontemporer, Perang
Ramadhan antara Mesir-Syria melawan Israel (1967).
Dalam
mitologisasi tersebut, orang-orang Muslim ekstrim-radikal yang merasa sangat
yakin bahwa perang yang mereka lakukan dalam bulan Ramadhan betul-betul
merupakan ‘perang suci’ yang diredhai Allah SWT. Atas dasar ini mereka yakin
dapat memenangkan perang yang mereka lakukan.
Dalam
konteks mitologisasi ini, sebelum Ramadhan 1437, jurubicara ISIS secara terbuka
menyatakan peningkatan aksi ‘perang’ sepanjang bulan puasa. Mereka menegaskan,
telah mendapat ‘izin’ dari Allah untuk memerangi orang-orang yang memusuhi
mereka, baik Muslim maupun non-Muslim.
ISIS
menyatakan, mereka khususnya mengintensifkan ‘Perang Badr’ pada 17 Ramadhan (23
Juni 2016). Dengan menyebut tanggal ini, ISIS sekali melanjutkan mitologisasi
yang menyesatkan tentang Perang Badr.Mengingat mitologisasi yang telah salah
arah, ISIS dan/atau kelompok ektrim dan radikal lain telah membajak memori
kolektif historis kaum Muslim tentang Perang Badr yang sesungguhnya seperti
dilakukan Nabi Muhammad SAW. Jika hal ini berlanjut, distorsi dan penyesatan
sejarah Islam juga terus berlanjut.
Karena
itu, perlu demitologisasi terhadap mitologisasi yang dilakukan ISIS terhadap
Perang Badr. Demitologisasi itu terutama berpusat pada pelurusan sejarah
sekitar Perang Badr—sekali lagi adalah perang eksistensial Muslim menghadapi
usaha genosida oleh golongan kafir Quraysh. Dengan demitologisasi, umat Muslim
umumnya terhindar daripada penggunaan Ramadhan untuk pemuasan nafsu
angkara murka membunuh manusia lain—baik Muslim maupun non-Muslim. []
REPUBLIKA,
13 Juli 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Anggota Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar