Selasa, 12 Juli 2016

Azyumardi: Rivalitas Saudi-Iran (2)



Rivalitas Saudi-Iran (2)
Oleh: Azyumardi Azra

Rivalitas Arab Saudi dengan Iran terus berlanjut; tidak hanya di Timur Tengah, tetapi juga di tempat-tempat lain dalam bentuk proxy war. Inilah perang yang tidak langsung terjadi di wilayah Saudi atau Iran, tetapi di tempat-tempat lain—negara ketiga. Proxy war  lazimnya terjadi di antara agen-agen atau kelompok dan milisi yang ‘mewakili’ Saudi atau Iran.

Proxy wars atau sedikitnya proxy conflicts yang melibatkan kekuatan-kekuatan bertentangan yang merepresentasi Saudi atau Iran di Timur Tengah terjadi di Palestina, Syria, Iraq, Bahrain dan Yaman. 

Konflik dan perang yang secara implisit melibatkan Iran atau Saudi terus berlanjut tanpa ada tanda-tanda akan berakhir secara cepat dan damai.Terjadi dan berlanjutnya proxy wars atau proxy conflict ini berakar dari ketidakstabilan dan kekacauan dalam politik di masing-masing negara. Keadaan ini memberi peluang masuknya kekuatan luar—dalam hal ini 

Saudi dan/atau Iran untuk kemudian memainkan ‘kartu’ masing-masing.Lihatlah konflik berkelanjutan antara Hamas dan Fatah di Palestina. Saudi memandang Hamas sebagai ancaman serius terhadap stabilitas politiknya. Hal yang sama juga terkait konflik dan perang di antara pemerintah Bashar Assad versus ISIS dan al-Qaidah di Syria. Di sini Saudi memainkan kartu sektarianisme Sunni versus sektarianisme Syi’i yang diwakili Assad. Presiden Syria ini gagal ditumbangkan al-Qaidah dan ISIS karena dibela pasukan Hizbullah, penganut Syi’ah Lebanon.

Konflik dan proxy wars juga terjadi di Iraq seusai tumbangnya Presiden Saddam Hussein berikutan operasi militer Amerika Serikat dan sekutunya pada 2003. Kaum Sunni Iraq bergerak atas bantuan tersembunyi Arab Saudi melawan rezim Syi’ah Iraq yang dibela Iran mati-matian.Proxy wars yang paling akhir di antara Saudi dan Iran terjadi di Yaman. 

Pemerintah Yaman yang kocar kacir menghadapi pemberontak Hauthi Syi’ah dalam waktu tidak terlalu lama menghasilkan koalisi militer negara-negara Arab di bawah pimpinan Saudi. Korban terus berjatuhan; tetapi tetap belum ada tanda-tanda meyakinkan berakhirnya perang di Yaman.

Potensi proxy wars juga terlihat jelas di Bahrain, meski kini relatif damai. Potensi itu terlihat dari kenyataan bahwa Bahrain memiliki sekitar 75 persen warga penganut Syiah. Mereka secara ideologi dan sentimen keagamaan jelas berorientasi ke Iran. Pada pihak lain, penguasa Bahrain, Raja Hamad al-Khalifa adalah penganut Sunni yang memiliki akar kekabilahan di Arab Saudi.

Dalam gejolak ‘Arab Spring’ 2011, Iran dan Saudi dengan segera terlibat dalam proxy wars di Bahrain. Iran dipandang berada di balik pergolakan warga Sunni yang menuntut reformasi politik. Pada pihak lain, Saudi segera mengirim pasukan ke Bahrain untuk membantu al-Khalifa menghadapi demonstrasi warga Syi’ah. Perang terbuka tidak meletus di antara kedua Saudi dan Iran terkait Bahrain; tetapi kelatenan bertahan—siap siap muncul sewaktu-waktu.

Rivalitas Saudi dan Iran jelas terjadi tidak hanya di Timur Tengah. Tetapi juga ke wilayah-wilayah Dunia Islam lain—termasuk Indonesia. Kontestasi untuk memenangkan pengaruh juga terjadi di wilayah-wilayah di mana kaum Muslimin merupakan minoritas. Saudi dan Iran berlomba memegang hegemoni di kalangan kaum Muslim di Eropa, Amerika Utara, Australia, Asia Timur dan Asia Tengah.

Pemerintah dan/atau institusi ‘swasta’ masing-masing negara itu sejak awal 1980an telah terlibat dalam penyebaran ideologi Wahabisme Saudi dan Syi’ah Iran. Mereka juga aktif mendirikan lembaga pendidikan dan riset yang merupakan bagian dari diplomasi publik masing-masing.

Melalui agen, kelompok dan lembaga, masing-masing negara ini juga berusaha mempengaruhi wacana di antara kaum Muslimin arus utama. Hasilnya, wacana dan kontra-wacana tentang Wahabisme atau Syi’ah muncul dan bertahan dalam kesadaran keagamaan sebagian masyarakat lokal.Apa yang dapat dilakukan terkait fenomena rivalitas Saudi dan Iran yang mempengaruhi dinamika politik dan agama di Timur Tengah dan juga di wilayah kaum Muslimin lain? Menarik menyimak usul yang diberikan Simon Mabon dalam Saudi Arabia and Iran: Power and Rivalry in the Middle East (London & New York: IB Tauris, 2016).

Pertama, Saudi dan Iran seyogyanya menyelesaikan masalah sekuriti dalam negeri masing-masing. Persepsi tentang adanya ancaman dari satu negara terhadap negara lain hanya memperkuat rasa insecurity, yang meningkatkan rivalitas dan konflik. Kedua, Saudi dan Iran sepatutnya mengembangkan toleransi lebih luas dalam hal perbedaan paham keagamaan. Toleransi timbal balik lebih besar di  antara Sunni Saudi dengan Syi’ah Iran pastilah dapat menurunkan tensi rivalitas.Ketiga, kedua negara sepatutnya meningkatkan kultur dan perilaku politik menahan diri (self restrain). Ketidakmampuan menahan diri ketika melihat hal-hal yang dipandang sebagai penyebaran ideologi masing hanya meningkatkan rivalitas di antara kedua negara.

Saudi dan Iran memang masih bergumul dengan upaya untuk bisa hidup bertetangga secara damai. Pemerintah kedua negara bertanggung jawab secara serius meredakan rivalitas, sehingga dapat menciptakan lingkungan dunia lebih damai, aman dan harmonis—menjadi rahmatan lil ‘alamin. []

REPUBLIKA, 30 June 2016
Azyumardi Azra ;   Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar