Rivalitas Saudi-Iran (2)
Oleh: Azyumardi Azra
Rivalitas Arab Saudi dengan Iran terus berlanjut; tidak hanya di
Timur Tengah, tetapi juga di tempat-tempat lain dalam bentuk proxy war. Inilah
perang yang tidak langsung terjadi di wilayah Saudi atau Iran, tetapi di
tempat-tempat lain—negara ketiga. Proxy war lazimnya terjadi di antara
agen-agen atau kelompok dan milisi yang ‘mewakili’ Saudi atau Iran.
Proxy wars atau sedikitnya proxy conflicts yang melibatkan
kekuatan-kekuatan bertentangan yang merepresentasi Saudi atau Iran di Timur
Tengah terjadi di Palestina, Syria, Iraq, Bahrain dan Yaman.
Konflik dan perang yang secara implisit melibatkan Iran atau Saudi
terus berlanjut tanpa ada tanda-tanda akan berakhir secara cepat dan
damai.Terjadi dan berlanjutnya proxy wars atau proxy conflict ini berakar dari
ketidakstabilan dan kekacauan dalam politik di masing-masing negara. Keadaan
ini memberi peluang masuknya kekuatan luar—dalam hal ini
Saudi dan/atau Iran untuk kemudian memainkan ‘kartu’ masing-masing.Lihatlah
konflik berkelanjutan antara Hamas dan Fatah di Palestina. Saudi memandang
Hamas sebagai ancaman serius terhadap stabilitas politiknya. Hal yang sama juga
terkait konflik dan perang di antara pemerintah Bashar Assad versus ISIS dan al-Qaidah
di Syria. Di sini Saudi memainkan kartu sektarianisme Sunni versus
sektarianisme Syi’i yang diwakili Assad. Presiden Syria ini gagal ditumbangkan
al-Qaidah dan ISIS karena dibela pasukan Hizbullah, penganut Syi’ah Lebanon.
Konflik dan proxy wars juga terjadi di Iraq seusai tumbangnya
Presiden Saddam Hussein berikutan operasi militer Amerika Serikat dan sekutunya
pada 2003. Kaum Sunni Iraq bergerak atas bantuan tersembunyi Arab Saudi melawan
rezim Syi’ah Iraq yang dibela Iran mati-matian.Proxy wars yang paling akhir di
antara Saudi dan Iran terjadi di Yaman.
Pemerintah Yaman yang kocar kacir menghadapi pemberontak Hauthi
Syi’ah dalam waktu tidak terlalu lama menghasilkan koalisi militer
negara-negara Arab di bawah pimpinan Saudi. Korban terus berjatuhan; tetapi
tetap belum ada tanda-tanda meyakinkan berakhirnya perang di Yaman.
Potensi proxy wars juga terlihat jelas di Bahrain, meski kini
relatif damai. Potensi itu terlihat dari kenyataan bahwa Bahrain memiliki
sekitar 75 persen warga penganut Syiah. Mereka secara ideologi dan sentimen
keagamaan jelas berorientasi ke Iran. Pada pihak lain, penguasa Bahrain, Raja
Hamad al-Khalifa adalah penganut Sunni yang memiliki akar kekabilahan di
Arab Saudi.
Dalam gejolak ‘Arab Spring’ 2011, Iran dan Saudi dengan segera
terlibat dalam proxy wars di Bahrain. Iran dipandang berada di balik pergolakan
warga Sunni yang menuntut reformasi politik. Pada pihak lain, Saudi segera
mengirim pasukan ke Bahrain untuk membantu al-Khalifa menghadapi demonstrasi
warga Syi’ah. Perang terbuka tidak meletus di antara kedua Saudi dan Iran
terkait Bahrain; tetapi kelatenan bertahan—siap siap muncul sewaktu-waktu.
Rivalitas Saudi dan Iran jelas terjadi tidak hanya di Timur
Tengah. Tetapi juga ke wilayah-wilayah Dunia Islam lain—termasuk Indonesia.
Kontestasi untuk memenangkan pengaruh juga terjadi di wilayah-wilayah di mana
kaum Muslimin merupakan minoritas. Saudi dan Iran berlomba memegang hegemoni di
kalangan kaum Muslim di Eropa, Amerika Utara, Australia, Asia Timur dan
Asia Tengah.
Pemerintah dan/atau institusi ‘swasta’ masing-masing negara itu
sejak awal 1980an telah terlibat dalam penyebaran ideologi Wahabisme Saudi dan
Syi’ah Iran. Mereka juga aktif mendirikan lembaga pendidikan dan riset yang
merupakan bagian dari diplomasi publik masing-masing.
Melalui agen, kelompok dan lembaga, masing-masing negara ini juga
berusaha mempengaruhi wacana di antara kaum Muslimin arus utama. Hasilnya,
wacana dan kontra-wacana tentang Wahabisme atau Syi’ah muncul dan bertahan
dalam kesadaran keagamaan sebagian masyarakat lokal.Apa yang dapat dilakukan
terkait fenomena rivalitas Saudi dan Iran yang mempengaruhi dinamika politik
dan agama di Timur Tengah dan juga di wilayah kaum Muslimin lain? Menarik
menyimak usul yang diberikan Simon Mabon dalam Saudi Arabia and Iran:
Power and Rivalry in the Middle East (London & New York: IB Tauris, 2016).
Pertama, Saudi dan Iran seyogyanya menyelesaikan masalah sekuriti
dalam negeri masing-masing. Persepsi tentang adanya ancaman dari satu negara
terhadap negara lain hanya memperkuat rasa insecurity, yang meningkatkan
rivalitas dan konflik. Kedua, Saudi dan Iran sepatutnya mengembangkan
toleransi lebih luas dalam hal perbedaan paham keagamaan. Toleransi timbal
balik lebih besar di antara Sunni Saudi dengan Syi’ah Iran pastilah dapat
menurunkan tensi rivalitas.Ketiga, kedua negara sepatutnya meningkatkan kultur
dan perilaku politik menahan diri (self restrain). Ketidakmampuan menahan diri
ketika melihat hal-hal yang dipandang sebagai penyebaran ideologi masing
hanya meningkatkan rivalitas di antara kedua negara.
Saudi dan Iran memang masih bergumul dengan upaya untuk bisa hidup
bertetangga secara damai. Pemerintah kedua negara bertanggung jawab secara
serius meredakan rivalitas, sehingga dapat menciptakan lingkungan dunia lebih
damai, aman dan harmonis—menjadi rahmatan lil ‘alamin. []
REPUBLIKA, 30 June 2016
Azyumardi Azra ; Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta; Anggota Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar