Memakan
Bangkai Teman
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Terdapat
peringatan sangat keras di dalam Alquran bagi orang beriman agar menjauhi sikap
prasangka buruk dan berbuat gibah, yaitu membicarakan kejelekan teman sendiri
dari belakang. Coba simak Alquran surat 49: 12. "Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah sikap suka
berprasangka karena sebagian prasangka itu tidak selalu benar dan medatangkan
dosa. Jangan pula kamu mencari-cari kesalahan orang lain serta saling
menggunjingkan teman, membicarakan hal-hal yang kamu pandang buruk di saat
temanmu tidak di tempat. Yang demikian itu, bukankah sama halnya kamu menikmati
bangkai temanmu, yang tentu saja menjijikkan?"
Di sini
Alquran menggunakan ungkapan sangat keras. Mencari-cari kesalahan teman lalu
dijadikan bahan gunjingan itu tak ubahnya memmakan bangkai temannya.
Mengapa?
Karena ketika bergunjing itu mungkin sekali merasa enak dan asyik layaknya
orang lapar memperoleh makanan untuk disantap. Lalu, mengapa bangkai? Karena
mungkin sekali apa yang digunjingkan itu tidak benar, mengandung fitnah,
sementara orang yang dijadikan sasaran tidak bisa membela diri karena tidak
berada di tempat, sehingga tak berdaya bagaikan mayat atau bangkai.
Kalau
saja yang berbuat gibah sadar pasti merasa jijik karena yang tengah dinikmati
itu oleh Alquran diidentikkan dengan bangkai. Berprasangka buruk (suuzan)
adalah pangkal fitnah.
Orang
membangun cerita negatif tentang orang lain, padahal itu hanya imajinasi yang
muncul dari rasa iri dan dengki. Jika cerita itu sampai ke orang lain atau yang
bersangkutan, sangat mungkin akan berkembang lebih jauh lagi menjadi kebencian,
permusuhan, dan perkelahian.
Akibat
yang ditimbulkan dari fitnah skalanya bisa lebih besar dan lebih berbahaya dari
pembunuhan. Fitnah ini mudah sekali menyelinap melalui jargon dan mekanisme
demokrasi, misalnya saja di saat menjelang pilkada atau pemilu.
Antar
calon dan pendukungnya tidak segan-segan mengintip, mencari-cari dan mengorek
kekurangan lawan. Jika ditemukan, kekurangan yang lalu dibesar-besarkan.
Hal-hal gang sifatnya pribadi lalu dibuka secara terbuka ke publik.
Yang
lebih bahaya lagi, jika ternyata tidak ditemukan kesalahan, maka diciptakan
berita bohong untuk menjatuhkannya. Makanya dalam masyarakat muncul kesan kuat,
politik itu kotor, penuh kebohongan, dan saling membunuh lawannya. Kata politik
dan demokrasi yang pada dasarnya bagus serta mulia, lalu ternodai menjadi
kotor.
Munculnya
teknologi komunikasi yang semakin canggih seperti handphone, masyarakat begitu
cepat menyebarkan berita gosip dan fitnah. Hanya dengan copy paste sebuah
berita yang kadang bernada fitnah menyudutkan seseorang atau kelompok, bisa
tersebar hanya dalam hitungan menit, menyebar ke ratusan ribu orang.
Ada lagi
fitnah itu ditampilkan menggunakan bahasa gambar atau foto yang sudah diubah
dan dimanipulasi. Foto wajah dan tubuh orang lain namun dimanipulasi seakan
orang yang sama, dimaksudkan untuk memperolok.
Di samping
fungsinya yang positif untuk menjaga pertemanan dan berbagi ilmu, media sosial
juga banyak disalahgunakan untuk membunuh karakter seseorang (character assassination).
Semua ini jelas tidak sejalan dengan etika Alquran. Persoalannya memang tidak
mudah bagaimana mengendalikan dan mencegah lalu lintas informasi yang merusak.
Oleh
karenanya menjadi sangat penting dan mendesak membangun daya tahan dimulai dari
keluarga. Masing-masing saling mengingatkan yang lain untuk menjaga lisan.
Berbicaralah
yang baik-baik, atau pilihlah diam untuk menjaga lisan, begitu sabda Rasulullah
saw. Bahkan saya ketemu beberapa keluarga yang sangat pelit menonton televisi
karena dinilainya tidak mendidik bagi anak-anak dan remaja. []
TRIBUNNEWS,
24 Juni 2016
Prof Dr Komaruddin Hidayat | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar