Jaga Wibawa Presiden
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Presiden suatu negara adalah warga negara nomor satu di negara
itu. Mobil resmi yang dipakainya juga dengan plat nomor satu. Apalagi jika
dipilih secara langsung dalam sebuah pemilu, perhatian publik terhadap seorang
presiden akan menjadi sangat besar. Ucapan, tindakan, dan seluruh kebijakannya
pasti akan mendapat perhatian secara luas.
Semua jenis media akan mengutip apa pun bunyi pernyataan seorang
presiden karena memang hal itu harus diketahui oleh seluruh rakyat. Di sinilah
kehati-hatian dan kecermatan ucapan pejabat puncak sangat diperlukan. Oleh
sebab itu para pembantu dan stafnya tidak boleh salah memberikan masukan
kepadanya, termasuk dalam bentuk angka-angka statistik yang harus akurat.
Presiden Joko Widodo pada minggu-minggu terakhir banyak mendapat
sorotan atas pernyataannya, setidaknya dalam dua kasus: perda (peraturan
daerah) dan harga daging. Dikatakan misalnya ada sejumlah 3.143 perda
yang harus dibatalkan kementerian dalam negeri karena menghambat investasi
untuk kepentingan pembangunan ekonomi daerah yang bersangkutan. Jika angka ini
akurat, pernyataan itu harus didukung agar daerah-daerah itu tidak mempersulit
dirinya untuk maju dan berkembang. Tetapi apakah angka yang masuk kepada
presiden memang sejumlah itu, kita belum tahu betul. Ini tentu meresahkan
daerah-daerah yang merasa bahwa perdanya tidak dalam kategori itu.
Kita tidak keberatan pembatalan beberapa perda yang jelas-jelas
mengganggu pembangunan, karena sejak digulirkannya otonomi daerah secara
besar-besaran sebagai buah dari gerakan reformasi telah memunculkan raja-raja
lokal sebagai bupati, wali kota, atau pun gubernur. Tetapi hanya segelintir di
antara mereka yang punya kemauan dan komptensi untuk membangun daerahnya dengan
perencanaan yang matang dan terarah.
Selebihnya hanya berfikir untuk kepentingan dirinya, bukan untuk
rakyatnya, apalagi jika mereka telah banyak berutang kepada penyandang dana
ketika pilkada. Akibatnya, berlakulah di sini permainan kongkalingkong yang
biadab antara penguasa/calon penguasa dan pengusaha.Laporan tentang
kongkalingkong ini sudah umum diketahui karena sudah bersifat masif. Tadi Zuhur
(22 Juni 2016) mantan Kajati di suatu provinsi bercerita begini: “Sekitar lima
tahun yang lalu saya ditemui seorang calon bupati yang dengan bangga
mengenalkan cukongnya yang akan mendanainya sampai Rp 5 miliar dalam
pilkada.
Kajati lalu bertanya, apakah dalam usia calon yang sudah agak tua
ini masih berani bertaruh semacam itu? Muka sang cukong jadi merah-padam.
Akhirnya calon bupati itu membatalkan niatnya yang penuh risiko itu.” Ini
contoh kecil, angka yang mencapai puluhan miliar terjadi di berbagai
daerah.
Coba tuan dan puan bayangkan, dari 514 kabupaten/kota, hanya amat
sedikit yang sudah melaksanakan prinsip-prinsip apa yang sering disebut good governance (tata
kelola pemerintahan yang baik). Di antara prinsip itu adalah: keterbukaan,
pertanggungjawaban, pengawasan, profesionalisme, wawasan ke depan, partisipasi
masyarakat secara luas dalam kiprah pembangunan, dll. Butir-butir ini
sungguh bagus, tetapi alangkah sulitnya dilaksanakan, kecuali oleh pemangku
kepentingan yang punya wawasan ke depan dan punya niat baik untuk membela
rakyat.
Perda-perda yang tidak layak memang harus dibatalkan, tetapi tidak
boleh dengan cara sembrono, agar Indonesia sebagai negara hukum tidak
tercedera. Di sinilah fungsi M.A. (Mahkamah Agung) dan M.K. (Mahkamah
Konstitusi) mesti terlibat, sesuai dengan wilayah wewenangnya masing-masing.
Isu lain yang juga tidak kurang menggegerkan adalah pernyataan
presiden agar harga daging sebelum bulan Ramadhan diturunkan menjadi Rp 80 ribu
per kg karena memang harganya sudah sangat meroket pada tingkat sekitar Rp
120 ribu-Rp 130 ribu per kg. Tetapi pernyataan ini mendapat protes luas dari
para peternak, juragan sapi, kambing, atau kerbau, karena di pasar harga
semurah itu tidak mungkin dilakukan, kecuali mereka mau bangkrut.
Modal dasar mereka mungkin sudah di atas Rp 100 ribu per
kg. Jadi, jika mereka dipaksa untuk menjual dagingnya Rp 80 ribu per kg
sama saja dengan menggorok leher mereka.
Fakta semacam inilah yang harus dipertimbangkan oleh presiden
sebelum membuat pernyataan yang memang menyenangkan para konsumen, tetapi tidak
realistik. Ke depan memang harga daging itu tidak boleh dibiarkan menggila
seperti sekarang, tetapi buatlah kebijakan harga yang masuk akal sebelum
disampaikan kepada publik. Sebab, manakala pernyataan seorang presiden
dilecehkan oleh kenyataan di lapangan bisa wibawanya akan tergerus. Karenanya,
kehati-hatian dan kecermatan amat diperlukan.
Para pembantu presiden tidak boleh menyodorkan angka-angka yang
tidak masuk akal kepada kepala negara, sekali lagi wibawanya wajib dijaga. []
REPUBLIKA, 28 June 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua
Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar